9. The One with The Sidekick

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Turunin di lobi," perintah Baginda Zeus seraya mem-pause diskusi yang sound mahapenting mengenai ekspor belasan ribu kaleng sarden dan tuna in salt water ke Singapura dan Malaysia dalam waktu dekat sebelum liburan Natal dan tahun baru, menjauhkan telepon genggam dari mukanya.

Mobil berhenti di depan lobi mal, aku janjian sama Karin di Starbucks buat ngasih oleh-oleh.

Bulan madu pura-puranya sudah berakhir dua hari yang lalu. Alhamdulillah nggak ada yang terluka dan kami berdua kembali dalam keadaan utuh seperti sediakala, hampir mustahil mengingat sisa hari kemarin kami seperti sudah siap saling bunuh. Pantai Hawaii dan cewek-cewek berbikini hampir nggak sanggup bikin tawa Helemano Hiu berderai lagi, apa lagi penyebabnya kalau bukan intimidasi keluarganya nun jauh di Indonesia. Mereka mau cucu, bukan hanya pernikahan. Strategi mengulur waktu yang beberapa saat lalu terdengar masuk akal (ingat, kan, pas malam pertama dia bilang nggak mau ngapa-ngapain kecuali aku tambah tinggi?) bisa dipastikan nggak akan mempan lagi tanpa rencana yang lebih jitu. Kami sudah salah langkah dari awal. Hiu curiga saudara-saudaranya ada yang mengadu bahwa kami nggak cukup mesra. Kami nggak pernah berciuman meski ditinggalkan berdua. It's a big deal buat mereka. Kalau saja kami lebih sungguh-sungguh dalam berpura-pura, orang tuanya nggak akan panik dan menolak menunggu cinta tumbuh di antara kami seperti janji manis mereka saat membujukku menikah dengan putranya yang setengah raksasa.

Aku stres.

Daya imajinasiku lenyap. Sejak menikah, nggak ada perabotan yang mau mengajakku bicara meski aku sendirian. Tadinya kukira karena aku lagi di Hawaii, roaming segala macem, atau perabotannya nggak berbahasa Indonesia, tapi salah. Aku sudah di Jakarta pun, mereka tetap membisu. I have nothing to talk to.

Celakanya, Hiu kayaknya nggak punya masalah tidur dengan perempuan yang nggak dia cintai. Yang masalah buatnya sepertinya cuma tinggi dan berat badanku. Makanya dia nggak pernah absen mengingatkanku makan dan minum susu supaya tambah tinggi, tapi suatu ketika dia bilang ada gaya bercinta yang nggak akan membuatku terbunuh.

Tidurku nggak pernah nyenyak sejak saat itu, selelah apa pun kami beraktivitas mengeksplor alam dan pusat perbelanjaan seharian. Selain itu, kayaknya aku mulai tertekan secara psikologis. Aku sering mimpi buruk. Bayi-bayi selalu mengerumuniku di setiap mimpi buruk itu, mereka merangkak-rangkak, merayapi kakiku dan bikin aku ketakutan setengah mati. Sebelumnya aku nggak ada masalah sama bayi. Aku suka bayi, kadang aku bahkan memegangnya, atau menganggapnya imut, tapi bayi-bayi dalam mimpiku ini semuanya berewokan dan mukanya persis sekali sama muka Hiu. Kadang ada yang bawa papan surfing, sedang panjat tebing, ada juga yang merokok. Semalam ada yang menyeruduk seperti banteng dan melemparku dari atas tempat tidur.

Pintu mobil nggak kunjung dibuka dari sentral, si juragan kaleng sarden masih asyik ngasih arahan ini itu lewat telepon genggamnya, sopirnya cuma mau dapat perintah langsung dari dia. Dari omongannya, kayaknya dia sibuk sekali pagi ini, tapi bersikeras nganter aku duluan ke mal buat mastiin aku benar-benar ke mal, bukan pulang ke rumah papi.

"Ingat, pukul empat sore kamu harus sudah siap di rumah. Jangan lupa waktu. Jangan telat. Jangan pulang sendiri. Telepon Nahokai, dia bakal arrange sopir buat kamu. Kalau setengah lima kita belum nyampai rumah papa, dia nggak akan bisa nemuin kita. Pesawatnya take off jam enam petang"—Hiu membunyikan jari di depan mukaku—"are you listening to me?"

Aku menoleh padanya dengan tampang malas.

"I take that as a yes," katanya masa bodoh. "Ingat, jangan cerita macam-macam pada siapa pun mengenai kondisi kita, lebih sedikit yang tahu, lebih baik. Aku bakal segera ngatur pertemuan dengan dokter yang kubilang tempo hari. Terus ... pastiin sekali lagi jam berapa kita mesti ke rumah mami papimu malam ini, ya?"

"Kakak udah ngingetin hal yang sama di meja makan tadi pagi, aku juga udah ngasih tahu makan malam di rumahku biasanya dimulai jam delapan—"

"Just ... call and ask them," potongnya, memasang lagi telepon genggam tadi di telinganya, kemudian memberiku isyarat dengan menggedik ke arah pintu. Orang tajir pakai bluetooth earphone, kek, apa, dasar orang kaya tradisional. Akunya juga males berlama-lama sama dia, tapi aku mulai ngerti kebiasaannya yang satu ini: ngomong lagi setelah sebelumnya ngusir-ngusir ngerasa urusannya udah selesai, seperti sekarang ini. "Aku nggak tahan sama kamu lama-lama, kalau memang bisa bilang iya, tinggal bilang iya, kenapa, sih?"

"Yaudah kalau nggak tahan ceraiin aja," kataku, pelan, tapi cukup bisa didengar kalau kupingnya nggak berambut seperti wajahnya.

"I wish I could," balasnya. Paling tidak, aku mendapat satu informasi lagi tentang suamiku sendiri: kupingnya bersih.

Aku melompat turun dari Mercy-nya yang superlicin.

Sebagai istrinya, kini aku tinggal bersamanya di rumah mewah hadiah pernikahan kakek yang menurutku sangat berlebihan. Mami menjemputku di bandara, tapi Hiu nggak mengizinkanku pulang sebelum melihat di mana kami akan tinggal. Tadinya aku hampir menangis saat berpisah dengan mami di bandara, tapi kesedihan itu segera teralihkan oleh perasaan takjub dan terkesan. Sepanjang Nahokai menjelaskan ruang demi ruang dalam rumah itu, mulutku tidak bisa menutup. Daguku terus jatuh. Aku kayak cewek kampungan yang baru nyadar siapa pria yang dinikahinya. Padahal, aku bukan anak orang miskin, lho. Rumahku sudah cukup besar, tapi rumah yang kutempati bersama Hiu jauh lebih besar lagi. Kami bisa menampung 50 orang gelandangan di Jakarta di rumah itu dan bakal tetap punya privasi.

Semuanya ada di sana. Literally. Kalau aku harus tinggal di rumah selama sebulan penuh, aku nggak akan mati bosan. He got private gym in the house. Setidaknya ada lima alat olahraga di dalam sana (semuanya besar-besar, jadi kurasa ruangan ini bakal jadi ruangan kekuasaannya) dan dari ruangan yang dikelilingi kaca tebal sebagai dindingnya itu, semua kegiatan di kolam renang dan jacuzzi di halaman belakang terlihat dari sana. Aku sudah menonton dua film di mini theater nggak jauh dari kamarku, aku punya feeling ini akan jadi ruang me time-ku, soalnya kakek melengkapinya dengan mesin pembuat popcorn karamel dan penjual permen kunyah otomatis seperti di kantin gedung bioskop, hanya lebih kecil. Yippie!

Dapurnya jelas luas, didominasi warna putih dengan dekorasi pot-pot tulip ungu yang terbuat dari keramik, dilengkapi peralatan dapur yang masih baru dan mengilap. Di salah satu pintu yang iseng kubuka di dalam dapur, aku menemukan stocking room penuh makanan kaleng produksi Pabrik Helemano dan bahan makanan lain yang bakal mubazir kalau cuma buat ngasih makan orang yang tinggal di sini selama setahun ke depan. Kulkasnya lebih lengkap daripada minimarket 24 jam. Ada mini bar di ruang pertemuan, sekaligus kamar kerja Hiu. Tentu saja ada ruang baca, ruang karaoke, dan meja biliard. Aku juga punya di rumah. Nggak jauh dari kolam renang, berdiri sebuah bungalow untuk spa dan sauna pribadi. All items inside, are brand new.

"We're in serious trouble," gumam Hiu yang kayaknya sama kagetnya denganku, dia bilang jangan senang dulu, dia nggak sekaya itu.

Nggak sekaya itu apaan. Oke lah rumah itu pemberian kakeknya yang mendambakan cucu, tapi begitu tahu ada garasi di basement rumahnya, ia memindahkan tujuh mobil, dan dua moge sekaligus pada hari berikutnya. Selebihnya dia mengeluh berapa banyak pegawai yang harus ia rekrut untuk mengurus rumah sebesar itu.

Makanya aku setuju dengannya, hadiah itu berlebihan.

Soal Karin, dia temen deketku dari bimbel SMA, tapi kami nggak satu sekolah. Calon dokter hewan lho dia. Papanya juga dokter hewan, kliniknya sudah buka sejak tahun 90-an. Karin nggak bisa datang ke pernikahanku di Bali karena nggak bisa ninggalin klinik. Ayahnya habis stroke sebulan lalu. Aku menemaninya menunggui Dokter Seno selama tiga hari beliau dirawat di HCU, saat itu aku bahkan belum tahu kondisi keuangan papiku, apalagi meramalkan nasibku bakal kayak gini. So, yes, kayaknya nggak afdol kalau aku nggak menyeret satu-satunya sahabatku ke dalam kerumitan ini.

Jelas, Karin marah karena dipikirnya aku nggak ngasih tahu apa-apa soal hubunganku dengan pengusaha makanan kalengan yang namanya tersohor seantero Asia Tenggara itu. Menurut Karin, salah satu produk makanan kaleng untuk anjing dan kucing yang diproduksi PT. Helemano Maju Makmur (ya, emang gitu banget nama perusahaannya) adalah yang terbaik dan terlaris sepanjang karir papanya mengelola klinik hewan. Dia juga menuntut diadakannya bridal shower karena sebagai sahabatku, dia berharap diberi tugas mengurus segalanya. Namun, aku menolak. Bukannya aku nggak mau hura-hura pesta lajang sekali seumur hidup seperti selebritas yang mau kawin, sekaligus buat menuhin feed IG-ku, tapi Ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Malah kalau bisa aku ingin perayaan seminim mungkin.

Karin muncul di pintu kedai tepat saat aku menjemput Butterbeer Frappuccino dan Chicken Pot Pie dari meja barista.

Kayak biasanya aja, tanpa memedulikan kondisi kedai, cewek yang penampilannya agak tomboi itu menjerit melihatku di kejauhan. Sayangnya aku masih megang baki, kalau enggak, aku bakal ngelakuin hal yang sama. Kangen banget sama kesayanganku itu. Karin nyaris melompat-lompat menghampiriku.

"Kangen bangeeet!" katanya, langsung cipika-cipiki.

"Gue juga kangen, pesen dulu, gih."

"Ntar aja, ayok-ayok-ayok, duduk dulu!" Karin merebut baki di tanganku dan berjalan mendahului, seolah kalau dia yang bawain kami bakal lebih cepet nyampe. Dia juga selalu merasa lebih kuat dariku, jadi kalau misal shopping bareng, dia bakal maksa membawakan semua barang, termasuk punyaku. Kata mami, penyebab aku ngerasa nggak butuh-butuh amat punya cowok adalah karena Karin selalu ada buatku.

Bakiku diletakkan di tengah meja. Karin duduk di seberangku, langsung menopang dagu dengan dua tangan. Senyumnya dimanis-manisin, alisnya naik turun.

"Apaan, sih?" tanyaku, geli sama kelakuannya.

"Kok, apaan? Cerita, dong, gimana rasanya udah nggak perawan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro