8. The One with Bonnie Thought Hiu is Silly

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

For the record, aku bukan terpaku karena nggak tahu bahwa untuk punya anak hanya perlu rahim dan sperma.

Aku takjub karena dia mengatakannya dengan begitu santai dan enteng kayak orang lagi nimba air, tapi airnya nggak ada, jadi embernya dinaikin kembali dari kedalaman sumur dalam keadaan kosong. Aku nggak tahu kenapa aku pakai ember kosong dan sumur untuk perumpamaan, aku bahan belum pernah menimba air. Namun, caranya bicara tentang rahim dan sperma terdengar seenteng itu.

Bagaimana dengan cinta?

"Maksud Kakak ... Kakak mau ... tidur denganku meski Kakak ... nggak ... cinta?" tanyaku terbata.

"Maksudmu kamu menikah denganku dan berpikir kita hanya akan bangun pagi, sarapan, minum teh, aku pergi bekerja, kamu jalan-jalan, arisan, ketemu cuma 'selamat pagi, Mama. Selamat pagi, Papa', kayak di mainan rumah-rumahan zaman kamu masih balita?"

"Ya enggak ..., tapi aku nggak berpikir akan ada pembicaraan mengenai anak," membayangkan proses pembuatan dengannya pun aku sulit.

"We're going to have sex and have babies. Kupikir kita bisa menunggu, tapi mereka sepertinya nggak peduli tentang kesiapan, ini, dan itu. They want us to try immediately. Secara usia ... menurut mereka kamu sudah cukup dewasa."

Ya Tuhan.

Kalau aku jambangan, aku pasti udah pecah berantakan.

Ada satu meme yang berkelebat di kepalaku waktu Hiu menyerocos tentang seks dan pernikahan. Aku melihatnya di page lelucon dewasa. Foto Jason Momoa dan istrinya Lisa Bonet, bersanding dengan foto colokan charger yang ukurannya besar sekali dan lubang colokan yang terlalu kecil. Ludahku tertelan dengan susah payah, aku tahu ini agak porno, tapi tenggorokanku tiba-tiba tercekat dan aku pengin muntah sampai mataku berkaca-kaca.

"What about ... love?" aku bertanya gamang.

"Listen, Bonita, cinta itu nggak seperti yang kamu baca di dongeng-dongeng Putri Disney, atau di novel-novel, cinta itu menyakitkan, penuh intrik, dan pengkhianatan—"

"Itu karena Kakak pernah dikhianati," aku menyela.

Dia langsung diam, tapi kalau kalian berpikir dia menelan kata-kataku lalu hatinya tersentuh, berarti kita sama-sama nggak kenal siapa pengusaha sarden kalengan Helemano Hiu ini. Dengan senyum sinis, dia menyerang balik, "Memangnya kamu pernah jatuh cinta?"

Aku nggak sempat mengarang cerita bohong.

Hiu bangkit dari duduknya, lalu berpindah di sisi tempat tidur di mana kami berdua akhirnya bisa berhadap-hadapan. Satu alisnya naik, menanti jawaban. Sementara dia makin yakin dengan tebakannya, aku makin gugup dan hanya cuping hidungku yang mengembang dan mengempis. "Makanya kamu naif dalam persoalan cinta, kamu belum pernah jatuh cinta, iya, kan?" tuduhnya keji.

Aku udah mangap lagi sebenernya mau membantah dengan segala muslihat yang sayangnya nggak terpikirkan, tapi dia malah putar bola mata duluan seolah bilang, apa pun yang kukatakan adalah omong kosong. Untung aku nggak jadi bohong, dia bakal tahu. Mungkin dia memang sudah jauh lebih paham karena usianya yang sudah renta.

"Kalau kamu bilang kamu pernah jatuh cinta, aku dan seluruh isi jagat raya ini menyangsikannya. Kamu harus lihat mukamu di cermin, nggak ada perempuan yang pernah jatuh cinta bertampang sepertimu. Kamu menikahi seseorang kayak lagi main rumah-rumahan sama temenmu, orang yang mengerti cinta pasti paham apa arti pernikahan. Orang yang berani nanya ke orang lain tentang cinta paling enggak tahu betapa besar yang mereka korbankan untuk menjalani pernikahan dengan orang yang nggak kamu cintai. Kamu seperti putri pemimpi yang tersesat, Thumbellina, dan jujur aja ... aku kasihan sama kamu."

Ya Tuhan, aku benci dia.

Aku yang merasa tersinggung sekarang. Aku yang tahu soal cintanya yang kandas, mestinya dia ada di posisiku, merasa dipermalukan. Seharusnya dia nggak bisa mengupasku demikian mudah karena aku nggak punya masa lalu untuk dipermalukan. Aku memang belum pernah jatuh cinta, aku belum sempat karena keduluan patah hati. Dan dia benar sekali. Kalau aku paham betapa pentingnya cinta, aku nggak akan berada di sini.

Aku benci, benci, benci karena dia benar.

"Let's not talk about love," katanya dengan nada iba. Saat ia berpaling, air mataku menetes. "Itu terlalu rumit dibicarakan oleh dua orang yang merasa terpaksa hidup bersama satu sama lain. Aku nggak bilang aku membencimu, kamu yang membenciku. Aku justru kasihan padamu. Kalau waktu itu kamu menolak, aku tetap akan membantu keluargamu dengan pinjaman dari kakekku. Tapi, kita sudah telanjur di sini, Thumb—" Hiu tertegun melihat air mataku. Aku menyusutnya dengan cepat, kemudian dia nggak melanjutkan panggilan ledekan yang katanya panggilan sayang itu. Dia memanggilku dengan benar, "—Bonita."

"Aku ... nggak mau," kataku.

Hiu menatapku lagi.

"Aku mau cerai aja," isakku.

Dia sama sekali nggak terkejut dengan ucapanku, "Kita nggak akan bercerai, paling enggak sampai kakekku meninggal. Kalau kita cerai sekarang, dia bisa langsung meninggal pagi-pagi sekali."

Kuseka air mataku, suaraku masih bergetar karena isak tangis yang kutahan, "Bukannya itu yang Kakak mau?"

Hiu menghela napas. "Jangan sembarangan. Aku menyayanginya. Aku menikahimu salah satunya karena itu. Kalau kamu berpikir aku mengharapkannya meninggal entah untuk apa, kamu sudah kelewat batas. Dengar, aku ke sini buat ngasih tahu satu kenyataan yang dari awal aku curiga nggak kamu pikirkan sama sekali. Ternyata benar."

"Aku nggak mau tidur sama orang yang nggak kucintai," ratapku memohon belas kasihan.

"Aku tahu—"

"Memangnya Kakak mau?"

"Well ... cowok itu kadang beda sama cewek, Tinkerbell"—rahangnya menggeretak—"maksudku ... Bonnie, terutama soal begini-begini. Selama aku nggak sedang menjaga kesetiaan dengan seorang pun, it's better than ... you know ... spending too much time with your hand."

Kusahut bantal di sampingku dan kusambit tempurung kepalanya, "Jangan bercanda!"

Sempat-sempatnya dia ngomong begitu. Menyebalkan!

"Aku nggak bercanda," Hiu memungut bantal dari lantai, meletakkannya kembali ke atas tempat tidur. Padahal aku sudah menghindar mengira dia akan membalas perlakuanku. "Oke. Aku sudah mengira kamu akan menolak, aku juga ke sini karena aku punya tawaran kerja sama," katanya serius. "Aku nggak mau cerai, apalagi sekarang. Begini-begini, di keluargaku hampir nggak pernah ada perceraian, tapi jangan khawatir, kalau itu maumu ... kita akan bercerai pada saatnya nanti. Hanya saja ... aku nggak ingin terlihat tidak berjuang, orang tuaku pasti bakal sangat kecewa. Mereka sudah sangat ingin menimang cucu ...."

Aku hanya diam mendengarkan.

"Kita akan mencoba dua cara, atau lebih tepatnya ... kita punya dua cara untuk melepaskan diri. Mau dengar?"

Kepalaku mengangguk, kugeser dudukku dari tengah tempat tidur ke sisinya. Pandangan kami bertemu di pantulan sebuah cermin di dinding.

Kedua bola mata Hiu yang hitam kelam menatapku dalam-dalam, "Yang pertama ...," katanya dengan suaranya yang tajam, bertenaga, tapi ditekan sehingga ada kesan lembut di telinga. "Kita berpura-pura sudah berusaha sekuat tenaga, kita harus meyakinkan semua orang bahwa kita saling mencintai, kita berusaha mendapatkan anak, aku punya kawan dokter yang bisa membantu kita meyakinkan orang tua kita bahwa keberuntungan tidak berpihak pada kita berdua, pokoknya ... kita bikin mereka percaya bahwa kita sudah memenuhi keinginan mereka, tapi gagal."

Oh, ya, aku paham. Gampang. Aku tinggal melihat beberapa telenovela, drama korea, dan sinetron untuk menjiwainya. Atau membaca, ya, aku bisa membaca-baca tentang kasus serupa, banyak sekali cerita begituan bertebaran di novel-novel percintaan. Sungguh konyol, apa orang ini yakin itu akan berhasil?

"Masalahnya ... aku anak tunggal, kakek dan papaku ingin aku punya sebelas orang anak," sambung Hiu.

"Se—sebelas ...."

"Sebelas."

Aku meneguk ludah. "Lalu ... pilihan keduanya?"

"Kamu tahu? Orang Hawaii berkemauan keras, sekuat baja, kami benci dibohongi, kami akan melakukan segala daya dan upaya untuk membuktikan bahwa seseorang itu jujur, atau mempermainkan kami. Kamu nggak bisa membohongi darah Hawaiian. Kalau perlu ... mereka akan menunggui kita."

Aku meneguk ludah. "Maksudnya?"

"Kalau mereka tidak yakin dengan cerita perjuangan kita yang gagal, mereka mungkin akan meminta kita membuktikannya dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka akan tinggal di rumah kita, menguping, mengintip, sampai akhirnya untuk lepas dari semua ini ... yang bisa kita lakukan hanya memberi mereka apa yang mereka inginkan. Kamu paham?"

Aku menggeleng.

"Kita harus tetap bikin anak. Tidak perlu sebelas, satu aja cukup."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro