7. The One with The Sexual Content

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tok, tok, tok."

Aku diem aja. Itu tok-tok-tok bukan suara pintu diketuk, tapi suara mulut Hiu. Dia begitu karena sebelumnya pernah nyelonong masuk waktu aku ganti baju, katanya udah ketuk pintu. Habis itu aku diceramahin, dia bilang nggak apa-apa, kan, udah suami-istri, pokoknya semua kalau dia yang salah bilangnya nggak apa-apa udah suami istri, tapi waktu aku ngilangin kacamatanya di pantai dia bilang aku bocah nggak ngerti tanggung jawab.

"Tok, tok, tok."

"Apaan, sih?!"

Giginya keliatan mengintip dari sela-sela brewok. Aku mendengkus, putar bola mata, dan kembali berkutat dengan macem-macem buah tangan buat orang rumah. Kami nggak sekamar boboknya, tapi ada connecting door. Tadinya beda lantai, terus suatu hari aku nangis karena capek bolak-balik tiap ada tamu, sejam kemudian kamar sebelah dibuka.

Aku nggak bilang acara honeymoon di Hawaii ini buruk, kok, aku menikmatinya. Kulitku aja sampe gosong saking senengnya main voli pantai meski dua kali mukaku kena bola. Yang kena kedua aku udah mau nangis karena pas kena batang idung, tapi tengsin. Untung aja Hiu manggil nyuruh aku mandi sore jadi aku punya alasan buat ngompres mukaku. Yang lain sorak sorai dibilang aku dibelain, padahal mah dia mau ngeledek aja. Mana ada, sih, istri lagi main dipanggil buat mandi sore?

Seperti biasa sebelum masuk kamarku, dia pasti ngedarin pandangan ke segala arah sambil agak ngendus-ngendus kayak paranormal. Siang ini lagi-lagi dia nggak pake baju, sarapan tadi juga nggak pake baju. Aku yakin item-item di atas supnya pagi tadi itu bulu ketek, bukan wijen. Dinding kaca kamar mandi yang kulirik memantulkan bayangan tubuh besarnya yang berdiri di balik badanku dengan dua tangan di punggung, sedang ngintip-ngintip apa yang kukerjain di atas tempat tidur.

"Mau apa, sih?" tanyaku risih.

"Udah semua barangnya?" dia bales nanya sambil naruh tangannya ke atas kepalaku. Aku berkelit. "Aku mau ngecek, panas nggak kepalanya. Soalnya beberapa hari ini, kan, kamu panasan terus, di rumah mana pernah. Kamu jarang keluar, kan, anaknya?"

"Siapa bilang?"

"Mamimu yang bilang. Ngomongnya biasa aja, nggak usah ngotot!"

Siapa juga yang nggak ngotot kalau tiap ngomong isinya ledekan melulu, kalau kita salah dikit seisi dunia bakal tahu. Lagian aku masih kesal sama kejadian waktu itu (terutama karena dia nggak mengada-ada soal biji beri di gigiku). Yang bikin aku mau ngomong lagi ya karena dia beneran ngasih kartu kredit unlimited, tapi belanjanya dikasih waktu. Udah kayak dapet uang kaget aja. Vrancessa aja ngatain dia keterlaluan. Dia nggak peduli, katanya biar aku belajar menghargai waktu dan uang. Kayak aku nggak punya orang tua aja yang ngajarin begituan.

"We need to talk about us, mumpung di sini," katanya.

Aku diam, berarti aku setuju. Kami memang harus bicara. Sejak kemarin mami nanyain terus bagaimana progress hubunganku sama dia. Aku, sih, masih selalu berhasil mengalihkan pembicaraan, tapi ini nggak akan mungkin berlangsung terus-menerus. Karena pernikahan sudah terjadi, mereka nggak akan menganggapnya main-main.

"Mamimu udah nelepon belum, Thumbelina?" tanyanya, sebenernya udah bagus, hati-hati dan sopan, tapi kenapa, sih, mesti pake dilengkapi dengan ledekan?

"Bisa nggak, sih, manggil aku pake nama aja?" aku menggerutu.

"Nggak bisa. Anggap aja itu panggilan sayang," katanya enteng banget kayak jemuran kering.

"Panggilan sayang kenapa menghina?"

"Makanya disebutnya panggilan sayang, soalnya meski menghina, tapi sebenarnya sayang. Udah cep"—bibirku dikuncupin pake jari-jarinya—"Jadi mamimu udah telepon belum selama di sini?"

Mataku memejam, aku menarik napas panjang-panjang sampai dadaku membusung. Begitu bibirku dilepas, gigiku langsung maju buat menggigit jarinya. Bukannya kena, aku malah kena jitak. Sementara aku nahan sakit, cowok itu duduk di tepi kasur tepat di sebelahku. Kalau dia ijo, aku pasti bakal manggil dia Hulk, tapi harus kuakui, aku suka sekali warna kulit kecokelatan yang didapatnya dari berjemur pagi sampe sore. Dan setelah kulihat-lihat, setiap abis rapiin brewok, dia ganteng juga. Aku nggak suka cowok gondrong, tapi dia pantes. Biasanya selain di pantai, rambut itu bakal dirapiin jadi konde di atas kepalanya. Aku menghadap dinding kamar, dia menghadap pintu. Kujawab dengan anggukan begitu mukanya menoleh padaku.

"Terus, kamu mau ngomong apa sama dia?"

"Ya, banyak."

"Banyak itu apa aja, Annabeeel?"

"Ya, soal apa dulu, kan, ngebahasnya banyak. Kalau soal pabrik Papi, uang yang dari Kakek Adisaloma udah dipake buat beli mesin baru, Kak Donnie udah mulai bisa handle job desc Tante Jovanka yang penipu itu. Kalau Mami, sih, nanyain aku minum vitamin yang dibawain dia, atau enggak setiap malam sebelum tidur—"

Hiu mendengus, lalu memasang jari telunjuk di depan bibirnya sendiri menyuruhku diam. Aku pun diam. "Aku nggak butuh informasi-informasi kayak gitu," katanya.

Bibirku mencebik. Nggak butuh kenapa nanya?

"Bukan nanya-nanya yang macem gitu maksudku. Nanyain kita, misalnya. Ada enggak?"

Aku berdeham. "Ada."

Hiu dengan sigap mengubah posisi duduknya. "Dengar ya, kurasa udah saatnya kita membicarakan ini dengan serius. Aku nggak tahu gimana mereka ngebujuk kamu buat mau nikah sama aku, tapi mereka nggak main-main. Mereka serius. Awalnya kupikir ini juga cuma buat kakekku yang sakit-sakitan, tapi—"

"Bukannya biar undangan pernikahan Kakak tetep kepake, ya?" tanyaku sinis.

Mata Hiu mencelang. Kayaknya aku udah berhasil bikin dia gelagapan, meskipun mukanya nggak keliatan gugup juga, sih, kayak kalau aku yang gelagapan. Cuma alisnya aja yang makin nempel di antara matanya. Dengan tenang, dia menaikkan dagunya sambil nanya, "Siapa yang ngasih tahu gitu?"

Aku cuma menggerakkan bahu, "Tapi bener, kan?"

"Aku nggak mau ngomongin itu, suatu hari kalau kamu sudah dewasa—"

"Aku sudah dewasa!"

"Suatu hari kalau kamu sudah KELIHATAN dewasa, kamu pasti paham tanpa aku cerita. Sekarang aku cerita juga percuma, nasi udah jadi bubur. Kamu pikir cuma hilang duit buat persiapan pernikahan, ngaruh buatku dan keluargaku? Ini lebih daripada itu."

"Kakak sendiri?" aku menyela, kusingkirkan barang-barang yang sudah kurapikan. "Apa yang bikin Kakak mau menikah dengan orang yang nggak disukai?"

"Sudah kubilang, ini bukan hanya soal pernikahan," keluh Hiu, seolah bicara denganku bikin dia letih jiwa dan raga. "Ini soal ambisi mereka buat punya cucu!"

"Kalau tahu ini bukan hanya soal pernikahan, kalau ini bukan hanya soal nyenengin Kakek yang sedang sakit, kenapa Kakak mau? Aku, sih, udah jelas, kupikir dengan begini aku bisa bantu papiku, bagaimana dengan Kakak?"

"Aku sudah 34 tahun."

Aku mengernyit.

"Inilah kenapa kubilang kamu belum dewasa buat mengerti. When you're the only son, usiamu sudah cukup untuk membuktikan kamu pria yang sempurna, kamu nggak punya banyak pilihan. Aku ngajak kamu ngomong gini, pelan-pelan, biar kamu paham sama situasinya. Aku nggak bercanda waktu kubilang mereka suka padamu karena kamu masih muda, kamu bisa melahirkan banyak cucu buat mereka. Aku ke sini karena aku tahu benar kamu kesal, kamu nggak ingin berada di sini, kamu benci keadaan ini, makanya kita harus tetap bekerja sama. Mereka pikir ... aku ada di pihak mereka, kami sedang mencari cara supaya kamu mau ... tidur denganku."

Napasku tertahan, "Tidur ...? Aku? Sama Kakak?"

Hiu meletakkan tangannya di bahuku, "Dorami ... gini ... kalau mereka mau punya cucu," katanya sabar. "Itu artinya kamu harus melahirkan. Kalau kamu mau melahirkan, itu berarti sebelumnya kita harus ...."

"AKU PAHAM!" jeritku jengkel. "Terus, kenapa mesti nanya aku segala? Bukannya Kakak juga nggak mau? Kan, Kakak yang bilang ... aku belum cukup dewasa untuk mengerti. Kenapa baru beda menit udah beda lagi pembahasannya?"

"Well ... go protest your mom and dad. Or my mom and dad, aku udah berusaha, tapi kayaknya anak cowok yang nggak bisa menemukan pasangan sendiri nggak punya hak lagi buat didengerin pendapatnya. They won't stop with marriage dan mereka menyepakati ini selama kita bulan madu ke Hawaii. Mereka mau kita bisa ngasih mereka cucu."

"Apa?"

"Mereka nggak mau hanya berpuas diri dengan pernikahan. Mereka mau punya cucu. Penerus."

"Tapi, kan, nggak bisa ... kita, kan, Kakak, kan ... nggak mencintaiku. Iya, kan?"

"Oh, well ... it's just ... sex."

"Apa?"

"Untuk punya anak, kamu nggak butuh cinta, Cinderella, kamu hanya butuh rahim dan sperma." Hiu terdiam sedetik menyadari aku sedang terpaku menatapnya. "Oh, ya ampun, inilah kenapa kita butuh bicara serius," gumamnya. "Kamu masih tinggal di istana kecilmu yang nyaman, didorong dari jendela, dan aku harus menangkapmu. Suka, atau tidak suka."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro