6. The One with The Berry Seed Stucks in Bonnie's Teeth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ha?

Maksudnya ciuman, tuh, ciuman dari mulut ke mulut, gitu?

Buset. Ngeri amat mesti ciuman di alam terbuka begini, kayak bule aja. Kalau buat orang timur kayak kita, kan, ciuman itu something personal, ya, kalau bisa dilakukan di tempat tersembunyi. Lah ini, kok, dipaksa-paksa, dijadiin tontonan pula. Aku, sih, nggak nge-judge budaya negara yang berbeda, udah biasa lihat bule ciuman berserak di jalan, tapi nggak semua orang bisa kayak gitu. Aku mundur sedikit ke balik lengan Hiu.

"Udah, dong, Om, jangan bikin dia malu. Anaknya langsung ngumpet, nih," kata Hiu, tertawa terbahak-bahak secara berlebihan seolah-olah ia tidak berada di pihakku yang lagi panas dingin ditodong ngasih pertunjukan tak senonoh.

"Kenapa harus malu?" Satu suara ikut menimbrung. Kakek-kakek di atas kursi roda. "Kalian, kan, suami istri. Apalagi baru menikah, kalau benar kata orang-orang kalian tidak pernah tampak mesra, itu bahaya. Kunci dari hubungan yang langgeng adalah kemesraan, dan banyak-banyak berciuman. Kemesraan itu harus dipupuk, dibiasakan. Aku dan Mathilda dulu tidak pernah meninggalkan sisi masing-masing tanpa berciuman!"

Tawa berderai-derai. Aku juga mencoba tertawa, tapi malah seperti tercekik.

Dan sekarang, lebih dari separuh jumlah tamu turut mengerubungiku dan Hiu.

"Well, kami berciuman, iya, kan, Sayang?" tanya Hiu, melepaskan gandengan tangannya dariku dan memindahkannya ke bahu. Aku tak punya pilihan selain kembali maju, kemudian bahuku dalam lengannya digoyangnya pelan (pelan menurut ukurannya). Aku melirik padanya dan menyadari baru kali ini aku melihatnya gugup. Senyumnya masih lebar, terlalu lebar. Giginya jadi terlihat besar-besar. Bahkan pada pernikahan kami, ia tampak tenang dan santai.

"Kapan?" tanya seseorang di antara kerumunan.

"Di mana?" sahut yang lain.

"Tunjukkan! Tunjukkan!" seru sisanya mirip rombongan demo penuntut hak. Aku ampe heran, kalau mau liat orang cipokan, kenapa nggak nonton film Hollywood aja, sih?

"Ayo Hiu ... bener nggak itu istrimu." Entah siapa lagi yang kurang ajar begitu, aku susah nelen ludah gara-gara lihat muka Hiu langsung biru pucat diteriaki sedemikian rupa.

Baru terlintas di benakku, gawat kalau harga dirinya kesinggung. Dia bisa mengambil tindakan gegabah, persis seperti waktu disuruh janji harus mau nikahin siapa aja kalau hubungan asmaranya lagi-lagi kandas. Tahu-tahu, dia menoleh, menatapku seperti meminta izin.

"What? No," kataku tanpa suara.

Hiu cepat-cepat memunggungi kerumunan. "It's just a kiss," bisiknya. "Inget janjimu di mobil tadi?"

Aku mengembuskan napas, berlindung di depan tubuhnya. Lemas, yang kutanyain malah, "Apa kartunya unlimited?"

"Seriously?" Dia langsung memekik tertahan. Gigi-giginya menggeretak. Alisnya mencuat seperti petir, lalu pupilnya mengecil. Serem banget mukanya dari dekat gini, nyaliku langsung ciut. "Kamu masih negosiasi di saat seperti ini?"

"Habis ... ini ciuman pertamaku," aku masih mencoba meminta belas kasihannya.

Dia terdiam sedetik. Detik berikutnya, gurat-gurat kemarahan di mukanya mengendur, tapi aku malah semakin takut kalau dia habis kesabaran. Kuintip di balik badannya, orang-orang yang kurang kerjaan masih menunggu dengan sabar. Seseorang menyeletuk setelah memergokiku mengintip, "Come on, newly weds, we don't have all day ...."

"Penting banget, ya, buktiin beginian?"

"Kamu lihat Vrancessa dan suaminya, kan?"

Aku menjulurkan ujung lidah seperti orang mau muntah membayangkan betapa sering suami istri itu bertukar saliva. Tapi setelah kupikir-pikir, emangnya aku mau mengharapkan ciuman pertama sama siapa? Aku, kan, udah nikah. "Okay, It's just a kiss," gumamku pasrah. Timbang nggak kelar-kelar, aku memejamkan mata.

Napasku tertahan. Embusan hangat terasa semakin dekat membelai pipiku. Pejam mataku merapat, degup jantungku mengencang tak beraturan. Yawla ... ngeri amat kayak film horor mau ciuman sama suami sendiri. Dia ngapain, sih, malah lama banget cuma napas-napasin mukaku doang? Giliran udah, ternyata bibirnya nempel di pipi, bukan di bibir.

Bukannya kecewa, tapi kalau cium pipi doang, kan, nggak usah gontok-gontokan kayak barusan. Buang-buang energi aja.

Jadinya kayak aku ngarep lebih, kan, kalau begini?

"Selebihnya rahasiaaa," seru Hiu dibarengi tawa membahananya yang khas, sambil tolak-tolak pinggang segala, disambut sorakan penonton yang lantas bubar karena kecewa. "Memangnya mereka pikir bisa seenaknya nyuruh-nyuruh orang ngasih tontonan kayak gitu? Kebiasaan om-omku kalau mau ngerjain orang," katanya saat berbalik ke arahku.

Rupanya aku masih mengerutkan alis tanpa kusadari. Saat berhadapan, alis Hiu naik sebelah menyadarinya. Aku bertanya tanpa diminta, "Apa karena kubilang ini ciuman pertamaku?"

"Huh?"

"Kakak nggak jadi nyium aku, apa karena kubilang ini ciuman pertamaku?"

"Why are you so angry?" tanyanya. "Bilang, dong, kalau mau dicium beneran."

"Enak aja!" aku pura-pura meludah. "Aku cuman penasaran aja. Tadi Kakak kayaknya udah ngotot banget sampe serem gitu. Kakak sengaja ya nakut-nakutin aku gitu? Kakak mau pernikahan ini didasari rasa takut, gitu?"

"Nope," jawabnya pendek.

"Kalau dari pertama Kakak bilang kita nggak akan ciuman bibir, aku nggak usah mikir macem-macem, tahu, nggak? Niat banget, sih, bikin orang stres?"

Si Hiu Kaleng Sarden mengekeh. "Lagian kamu mau aja, bukannya protes. Seniat itu biar dibekalin kartu kredit unlimited, iya? Atau jangan-jangan ... kamu sebenernya nggak keberatan aku yang jadi partner ciuman pertamamu? Hm?"

Aku refleks putar bola mata sampai Kuwait. Ketinggian kayaknya menganggapnya semulia itu mau nyelametin ciuman pertamaku segala.

"Oh ... terus kalau bukan aku, memangnya mau dikasih ke siapa ciuman pertamanya, ha?" Hiu menunduk mengadu jidatnya dengan jidatku. Aku mundur, menghindar. "Udah niat mau selingkuh?" cecarnya nggak masuk akal.

"Aku, kan, nggak ngomong apa-apa ...."

"Terus apa maksudnya"—menirukanku memutar bola mata—"Inget, ya, meskipun kita belum ngapa-ngapain, suka nggak suka, kita berdua sudah terikat perkawinan. Kalau kamu mau lepas dari ikatan, kamu boleh bilang kapan saja langsung, jangan jadi pengecut. Kalau kamu mau main-main, aku nggak akan maafin kamu. Aku benci pengkhianat."

"Kalau tahu Kakak pasti jadi ciuman pertamaku, kenapa tadi mesti pura-pura mau ngelakuin terus nggak jadi?" tanyaku berani, padahal dibanding sebelum-sebelumnya, nada bicaranya tadi terdengar serius bukan main.

"Karena aku nggak mau jadi tontonan," katanya, memasukkan dua tangannya ke kantung celana dengan gelisah. Berkali-kali, matanya melirik ke belakang punggungku, tempat semua orang mulai berpindah ke meja makan untuk makan malam. "Udah. Nggak usah ngajak berantem terus. Ayo ke sana, makan malamnya udah mau mulai. Perutku lapar."

Aku menepis tangannya, masih berusaha mendesak karena belum puas. "Cuma itu?"

"Kamu mau denger aku jawab apa?" dia terdengar mulai lelah.

"Nggak tahu, apa yang Kakak pikirin aja, bukan apa yang mau aku dengar."

"Apa yang kupikirin? Oke. Dengar, ya ... aku ... LA ... PAR," katanya, nggak ada hubungannya sama sekali. "Kamu harus belajar untuk tahu ... kapan kamu mesti mendahulukan perutku dibanding kemarahanmu, karena aku suamimu. Itu bisa kamu jadiin jawaban dari pertanyaanmu."

Huh?

"Nggak paham?"

Kepalanya menggeleng samar, lidahnya menjilat bibir dalam gerakan lambat. Seseorang memanggil namanya jauh di balik badanku, dia melambai, dan kembali memandangiku. Kemudian sambil mengembuskan napas lelah, ia melipat tangannya di depan dada, "Salah satu tugas utama istri aja kamu belum paham benar, itu kenapa aku nggak jadi nyium kamu tadi. I don't kiss a kid—"

"I am. Not. A. Kid," tandasku tegas.

"You act like a kid," katanya. "Kamu menyetujui pernikahan ini karena kamu masih berjiwa anak-anak. Kamu nggak sepenuhnya paham pernikahan itu berlaku seumur hidup. Waktu kudengar kamu menyetujui perjodohan yang dibikin kakekku, aku tahu apa yang bakal kuhadapi. Aku punya banyak sekali PR sampai kamu siap suatu hari nanti. So if you think I'd want to kiss you cuma karena ditekan oleh saudara-saudaraku yang suka menggoda ... hmmm ...."—dia mengurangi volume suaranya—"you can only dream."

Lidahku kelu.

Aku kehilangan kata-kata. Takjub aja gitu, ada orang kepedean ampe meluap kayak air bah gini. Siapa juga, sih, yang pengin cipokan sama dia?

"Lanina Bonita," panggilnya dengan suara rendah dan dalam yang membuat ketertegunanku buyar. Aku mengerjapkan mata gara-gara buku-buku jarinya tahu-tahu sudah menyentuh daguku, ibu jarinya memulas belah bibir bawahku. Pelan. Lembut. Jantungku mau copot. Detik itu aku yakin dia akan menciumku dan menjilat kata-kata yang barusan dilepehkannya. Kupikir, aku akan membiarkan si Raja Ikan melakukannya supaya nanti aku bisa memakainya untuk bahan ejekan saat diperlukan, tepat sebelum ia bertanya dengan hidung mengkerut, "Kamu barusan makan apa?"

"Fruit pie ...," jawabku bingung. "Kenapa?"

"Ih," kernyitnya jijik, melambaikan tangannya di udara seperti menyipakkan air. "Ada biji beri di sela-sela gigimu. Paling enggak, bersihin gigi dulu kalau berharap akan ada ciuman. Pantes umur segini belum pernah ada yang nyium."

Lalu meninggalkanku sendirian ke meja makan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro