5. The One with The First Compromise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hiu menungguku di depan pintu.

Rambutnya disanggul, brewoknya dirapiin meski nggak sampe bersih. Cuma bajunya ya singlet-singlet juga, sama sopanan dikit pake celana panjang. Waktu akhirnya aku berhasil memasang bulu mata palsu dengan bantuan tutorial Youtube dan keluar kamar, dia udah hampir ketiduran. Dia punya ponsel, tapi hampir nggak pernah digunakannya untuk mengisi waktu. Dia cuma pakai ponsel beneran buat yang perlu-perlu aja, selebihnya, dia lebih senang mengobrol, olahraga, berjemur, dan mengganggu kehidupanku, tentu saja.

"Lama banget, sih, Thumbellina, nggak ada bedanya juga," gerutunya, lalu berdiri dengan malas. "Kirain kondean apa gimana lama banget. Udah bedakan belum, sih?"

"UDAH!" pekikku jengkel.

Oh, ternyata dia nggak singletan doang malam ini. Sambil jalan di depanku, dia mengenakan blazer senada warna turqoise lembut menuju hijau muda yang bikin aku nggak bisa berhenti membandingkannya dengan terumbu karang. Besar, bergelombang, dan hijau.

Jalannya cepat sekali (renangnya juga, pantes dia jadi juragan sarden). Padahal jalan biasa, tapi satu langkahnya sama dengan tiga langkahku. Makanya aku kewalahan. Kuikutin ngos-ngosan, kulempengin aja dipelototin.

"Ayo, jalaaan."

Tuh, kan, ngerasa dia ... aku nggak ada dekat di belakangnya.

"Ya, ini jalan, emang merayap," kubilang. "Males, ah, buru-buru nanti keringetan."

"Ya, kan, di mobil bisa dilap. Buruan."

Buruan-buruan. Lu aja sono buruan sama jenggot lu yang rock n roll. Kesel lama-lama dibiarin jadi semena-mena.

"Apa?" serunya, tau aku ngedumel tapi nggak ada suaranya. Dia sengaja berhenti lama sampai aku melewatinya, lalu berjalan santai di belakangku. Baru dapet dua langkah, tau-tau dia udah di sisiku. Aku diem aja tanganku direbut terus dimasukin ke dalam lengannya. "Kelamaan, kalau nggak bisa ngikutin, gelantungan aja, ya?"

Oke, cukup. Aku menarik kembali tanganku untuk menyambar lengannya. Sebelum dia sadar apa yang kulakukan, gigi-gigiku sudah tertanam dalam-dalam di sana. Dia menjerit-jerit, "Eee—eh ehhh! Iya, iya, iya. Udah cukup!"

"Orang becanda ada batasnya, ya," kataku dengan suara agak kencang, nggak peduli kami jadi tontonan gara-gara teriak-teriak. Hiu mengusap-usap bekas gigitan dan noda lipstik di lengan blazernya. Aku agak menyesal melihatnya meringis antara kesakitan dan malu, apalagi noda itu nggak akan bisa ilang kecuali dicuci.

"Sakit?" tanyaku prihatin.

Dia mengangguk.

"Sukurin!"

Bohong, deng. Aku nggak menyesal.

Kami tiba di rumah the birthday boy beberapa menit sebelum pukul delapan. Hiu sama sekali enggak bicara sepanjang perjalanan. Aku enggak tahu dia marah atau malah takut karena aku bisa begitu nekat, tapi kayaknya kalau takut enggak juga, sih, mana ada orang takut sengaja ngerem mendadak waktu orang yang ditakutin lagi gincuan.

Mesin mobil sudah sepenuhnya mati. Raksasa hijau itu meraih sesuatu dari jok belakang yang ternyata isinya kado. Aku mau keluar duluan, tapi rasanya canggung setelah enggak saling bicara beberapa saat. Sebelum aku mempertimbangkan untuk meminta maaf, dia buka suara duluan. "Nanti di dalam dengerin apa yang kubilang. Jangan jauh-jauh kalau enggak mau ditanyain macem-macem. Apa pun yang kubilang ... kamu ikutin."

Aku membuang muka ke luar jendela.

"Hey." Hiu menusuk lenganku dengan ujung jari telunjuknya. Aku mengibasnya dengan tanganku. "Deal?" tanyanya.

"Apa untungnya buatku ngikutin apa maunya Kakak kalau Kakak aja gangguin aku terus?"

"Entahlah ...," dia menggerakkan bahu. Alisnya naik sebelah pura-pura berpikir. "Perusahaan papimu nggak jadi bangkrut itu termasuk keuntungan apa bukan?"

"Ini, sih, intimidasi namanya," desahku, melepas sabuk pengaman.

"Aku cuma ngingetin aja. Ini rumah pamanku, nggak mustahil nanti dia cerita-cerita apa yang dia lihat ke orang rumah. Bukannya aku mau pura-pura apa gimana, tapi males aja mesti ngarang-ngarang cerita kalau ditanya-tanya."

"Ya itu namanya pura-pura, Kak. Yang natural aja. Emang kalau orang nikah nggak boleh berantem?"

Hiu sepertinya baru menyadari sesuatu. "Bener juga kamu," katanya dengan senyum cemerlang yang sedetik kemudian hilang tak berbekas. "Tapi nggak pas honeymoon juga ributnya sampe nggak bisa ditahan pas acara keluarga! Ayo, besok kita mulai belanja buat oleh-oleh, nanti kukasih uang jajan yang banyak kalau kamu nurut."

Hmh ... oke lah. Kalau duit siapa yang nolak? "Banyak itu sebanyak apa?" tanyaku. Aku dibukain pintu segala tumben-tumbenan.

"Nanti kamu boleh bawa kartu kreditku," janjinya, sudut-sudut bibirku langsung menjauh satu sama lain. Dia geleng-geleng memandangi muka pengenku yang nggak segan-segan itu, nggak peduli sedetik sebelum dia nyebut-nyebut kartu kredit kutekuk-tekuk. Habis ... udah banyak banget yang pengin kubeli waktu lihat-lihat di mal tadi bareng Vrancessa.

"Nggak harus difotoin dulu yang mau kubeli?" tanyaku, sama aja bohong kalau belanjanya mesti kayak tadi siang. Semua ditolak, yang di-approve cuma satu-dua. Vrancessa juga, sih, milihin bajunya kurang bahan semua. Untungnya apa yang Hiu pilih malah nggak jauh-jauh dari seleraku. Aku juga ngerasa kurang nyaman kalau berpakaian kelewat seksi, nggak ada juga yang mau dipamerin.

Begitu dia menggeleng, aku sepakat malam ini kami gencatan senjata.

Aku jalan bersisian dengannya, menggandeng lengannya kayak istri-istri lain yang hadir dalam pesta sederhana malam itu sambil berharap semoga janjinya nggak kaleng-kaleng. Saat dia memencet bel, aku bahkan dengan luwes menggandeng tangannya erat-erat. Besok aku mau beli boot yang tadi kuincar, kelihatannya bakal lucu buat nonton konser NCT bareng Karin tahun depan. Kalau kartunya unlimited, mungkin aku bakal nyari tas tangan buat Mami juga. Kira-kira dia bakal ngasih limit belanja berapa, ya?

Kami dipersilakan masuk.

Rumahnya nggak terlalu besar, tapi halamannya luas. Dari luar kelihatannya sepi, nggak ada tanda-tanda keramaian. Di dalam rumah pun nggak jauh berbeda, hanya beberapa pramusaji tampak sibuk keluar masuk. Sebaki kue di tangan mereka menguarkan aroma manis buah beri, aku menyetop salah satu di antaranya dan menyomot sebuah. "I like berries," kataku sebelum Hiu mengatakan sesuatu.

Pesta digelar di halaman belakang, tak jauh dari kolam renang yang dipasangi pagar sebagai pengaman. Di dekat kolam, sekelompok pria memainkan musik Hawaiian yang enak sekali buat berdansa. Katanya orang Hawaii suka menari. Refleks, aku menoleh ke arah suamiku yang sedang tebar senyum dan sapa ke saudara-saudaranya sambil sesekali mengenalkanku. Tahu-tahu aku geli sendiri ngebayangin dia nari Hula pakai rok daun palem dan kutang batok kelapa.

Tapi, kalau dia perform tarian Haka, lain lagi ceritanya. Bisa-bisa tanah yang dientaknya bisa retak semua.

"Hey, Hiu! Kemari, Nak!" Seseorang memanggil.

Seperti kebanyakan rumah yang kukunjungi selama kami di Honolulu dan Kauai, halamannya selalu ideal untuk pesta outdoor dan barbecue. Pohon-pohon Pritchardia yang berpasang-pasangan di seputar halaman dipasangi ayunan, Hiu biasa tidur siang di ayunan semacam itu di dekat kamar resort sehabis berenang di pantai. Setiap kali temannya datang, mereka akan diam-diam menggulingkannya hingga jatuh dan tertawa-tawa. It works every time. Dia selalu nyenyak tidur di bawah pohon. Aku pernah nyoba sekali, tapi badanku terlalu kecil, jadi aku kesulitan bangun lagi.

Kami mendekati sebagian besar tamu yang terdiri dari orang-orang tua. Salah satunya Paman Namakaeha yang senang sekali mendengar lelucon-lelucon Hiu tentangku pada jumpa pertama kami yang lalu. "Itu anaknya, manis sekali, bukan?" katanya sambil menunjuk ke arahku.

Aku meringis sesampainya di tengah mereka. Entah kenapa aku merasa gugup dan terancam, tapi bukan dalam artian marabahaya. Maksudku gimana, ya, susah jelasinnya, seolah bakal ada sesuatu yang tak nyaman bakal terjadi. Kayak kalau kita pergi ke kampung halaman dan kita tahu bakal menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang bikin insecure. Aku tahu aku harusnya nggak khawatir, pertanyaan tersulit dan paling menyebalkan sudah kulewati. Aku sudah menikah, what can possibly go wrong?

"Namakaeha bilang ... kalian pasangan yang tidak romantis," celetuk bibi-bibi berambut abu-abu dengan anting batu merah menyolok hampir sepanjang lehernya.

Hiu tertawa seolah hal itu mustahil.

"Kami nggak pernah melihat kalian berciuman," kata yang lain. "Apa di negaramu suami istri tidak berciuman—siapa namanya—Bonita?"

"Dia hanya pemalu," kata Hiu membela diri.

"Oh, ya? Kamu nggak perlu malu di sini, ayo cepat berciuman. Kami nggak bisa hadir di pernikahan kalian karena sangat mendadak, sekarang kalian harus memberi kami pertunjukan itu."

Eeeh???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro