4. The One with Hiu Being Overprotective... Kind of...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ketiga di Hawaii aku udah kayak anak pantai.

Lelahku karena perjalanan jauh sudah lama hilang, dan meskipun hampir setiap pagi, siang, sore, malam kami berenang, berjemur, makan-makan, dan jalan-jalan ke sana kemari pulangnya tulang-tulang serasa mau rontok, paginya aku selalu bisa bangun pagi segar bugar kayak di iklan-iklan obat penenang.

Beneran kayak di surga, sih. Cowoknya juga kece-kece banget, sayang nggak satu pun ada yang melirikku. Jangankan melirik, kalau keliatan terlalu dekat sama pantai aja aku langsung diteriakin pake toa dari tower lifeguard, diimbau supaya anak-anak diawasi orang tua mereka. Dua kali pesan cocktail saat makan malam, aku dipaksa nunjukin kartu identitas. Si ikan hiu mana mau belain, dia mah kerjaannya ketawa-ketawa doang. Disangka orang dia papaku, om-ku, pakdeku, diiyain semua.

Di Indonesia, aku jarang main ke pantai. Palingan liburan keluarga di Bali beberapa tahun sekali, itu juga nggak banyak berjemur-jemur kayak di sini. Berasa bule aku di sini dikit-dikit berjemur udah kayak rebon. Lagian di sini panasnya nggak bikin sakit kepala, coba aja di Jakarta pulang kuliah jemputan telat dikit, pasti puyeng. Di kulit juga kalau matahari pantai tuh anget, naro bir dingin kelupaan bentar aja udah jadi teh anget, tapi kalau kelamaan berjemur ya sama aja, sih. Ini kulitku udah mulai merah-merah, pada beberapa bagian mulai sakit kalau dipegang. Vrancessa bilang aku harus pakai sunscreen banyak-banyak. Hiu juga cuek-cuek gitu nggak pernah lupa pake tabir surya, jadi orang yang liat nggak keburu ngira dia ikan paus terdampar ngegeletak di pinggir pantai badan segede rumah gitu.

Pagi ini aku sengaja bangun lebih pagi dan duluan turun ke restoran untuk sarapan sebelum si buto ijo pupus menggetarkan seisi kamar hotelku dengan gedoran pintunya. Pertama kali dia membangunkanku, aku langsung melompat dan berlindung di bawah meja karena kupikir ada gempa. Namanya juga di daerah pantai, takutnya kalau ada gempa terus tsunami. Nggak bisa banget alusan dikit, paling enggak kayak kalau ada orang kek. Kayak gini kata Mami disuruh belajar mencintai. Jantungan iya.

Aku memilih tempat duduk di dekat jendela, lalu minta diambilkan toast, dan fruit platter. Sebelum duduk, aku udah menuang segelas kopi dengan banyak susu.

Hari ini aku mau jalan sama Vrancessa, mau beli baju baru lagi. Nanti malam mau ada pesta ulang tahun salah satu sepupu Hiu, namanya Anekelea. Aku udah pernah ketemu sama dia dan ceweknya. Ceweknya mirip-mirip Vrancessa gitu lah, cantik, berkulit cokelat terbakar matahari, berambut hitam ikal, bodinya seksi, tinggi, pokoknya nggak ada yang kayak aku di sini. Anyway, Vrancessa semalam ke kamarku ngecek gaun yang kubawa dari rumah, tapi nggak ada yang lolos QC sama dia. Katanya Anekelea ulang tahun ke-33, bukan sweet seventeen-an. Makanya nanti kita mau shopping.

Pas aku lagi asyik-asyik ngaduk kopi susu sambil bayangin Hiu lagi gedor-gedor pintu nggak ada yang nyaut, tau-tau sinar matahari yang semula menyiramiku meredup. Aku mendongak. Kirain mendung ....

"Bilang, dong, kalau udah duluan," ternyata si Bos Kaleng Sarden cemberut nutupin sinar matahari dari jendela, lalu naro semangkuk sereal dan susu di depanku. Aku mengernyit heran. Sesangar itu, gondrong digerai habis keramas, pake singlet item dan celana pendek yang mengekspos bulu-bulu kaki tebalnya, makan sereal dan susu? Tapi kok di taruh di depanku? Habis itu bukannya duduk, malah mau jalan balik ke arah dapur.

"Kok, ini nggak dimakan dulu?" tanyaku sewaktu dia kembali dengan lima gulung omelet jamur, lima buah sosis sapi, beberapa lembar bacons, dua telur mata sapi, setumpuk kentang tumbuk, dan segelas besar susu almon. Toast dan fruit platter-ku juga sudah diantar.

"Kamu yang makan," katanya cuek kayak biasa, lalu dua gulung omelet jamur tadi masuk ke mulutnya sekaligus. Dia yang makan, aku yang langsung kenyang. "Kulihat tiap sarapan kamu cuma makan sedikit. Minum susu yang banyak biar cepet gede. Jangan malah minum kopi, nanti napas kamu bau naga."

"Biarin! Napas-napas aku sendiri."

"Eits ... napas kamu sendiri gimana? Napasmu, kan, nanti yang nyium aku juga kalau kamu udah akil balig."

Nggak pake mikir dua kali, kusambar selembar napkins dan kulempar ke arahnya. Tanpa susah payah, dia menghindar dan kain yang kulempar tadi jatuh ke lantai. Omelet terakhir masuk mulutnya sambil kepalanya geleng-geleng meremehkan. Aku menggeram, lalu berdiri berniat mungut napkins tadi, tapi keduluan mas-mas berambut pirang yang berdiri nggak jauh dari meja kami.

"Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanyanya dengan mulut penuh. "Dimakan tuh serealnya, jangan buang-buang makanan."

"Mau pergi cari gaun sama Vrancessa," jawabku. Merengut. "Nggak mau. Yang ngambil, kan, Kakak, kalau nggak kumakan, bukan aku, dong, yang salah."

"Nanti ayamnya mati, lho."

Aku udah nggak tahan lagi. Kusepak tulang keringnya di balik meja dengan kekuatan penuh. Tapi, dia cuma mengekeh, lanjut melahap sebatang sosis besar cuma dalam satu gigitan. Bergerak aja enggak, apalagi kesakitan. Malah aku yang meringis. Kayaknya jempol kakiku retak.

"Makan nggak serealnya," katanya dengan nada mengancam. "Kalau nggak dimakan, nggak boleh jalan sama Vrancessa, apalagi beli baju buat nanti malam. Pake aja itu dress motif Doraemon, atau Pikachu."

Tentu saja aku nggak punya dress Doraemon atau Pikachu! "Emang aku minta izin apa kok nggak dibolehin segala? Ya udah, kalau nggak boleh, nanti malem aku di hotel aja. Kan, Kakak juga yang bingung ke sana sendirian," lagi ngomel-ngomel gitu, eh mulutku dijejelin sosis, dong, ya ampun udah nggak ada harga dirinya aku lama-lama, "Blueh! Beh! Beh!"

Kali ini dia nggak ketawa kayak biasanya kalau berhasil ngerjain aku, "Istri itu kalau ngomong ada batasnya. Kalau suami nggak ngasih kamu jalan, ya, kamu nggak jalan. Kalau ada apa-apa siapa yang tanggung jawab nanti, hm?"

"Terus suami nggak ada batasnya gitu?"

"Emang aku ngelanggar batas apaan? Aku, kan, bawain kamu sereal, dengan alasan yang baik. Nyuruh kamu banyak makan biar cepet gede, emang badanmu satu setengah meter aja mesti jinjit. Harus banyak olahraga sama minum susu, siapa tahu masih bisa nambah tiga, atau lima sentimeter biar genap. Udah cepet dimakan, atau nggak boleh beli baju."

Kalimat terakhirnya itu emang kayak ngomong sama anak kecil, tapi mukanya serem banget kayak mau makan orang beneran. Alisnya, kan, tebel banget tuh, hampir nggak ada jaraknya di atas hidung, nah, kalau marah jaraknya menghilang sama sekali. Nyaliku langsung ciut. Kalau Vrancessa nggak manggil, mungkin aku udah makan sereal sambil nangis.

"Duh, pengantin baru manis banget pagi-pagi sarapan berdua," sapanya sambil berjalan mendekat. Vrancessa hari ini kelihatan segar, rambutnya diekor kuda. Kausnya agak kekecilan, pusarnya yang berhias batu zamrud berkilauan terus berusaha mengintip dari baliknya. Roknya juga sama, kayak bukan ukurannya. Kalau aku pakai kayak gitu bakal seksi juga, atau malah kayak anak TK yang belum punya rasa khawatir celana dalamnya bakal kelihatan karena roknya kependekan, ya?

"Udah sarapan?" tanya Hiu sambil berdiri menyambut dan nyium pipi Vrancessa. Waktu mereka bersisian, perbedaan tinggi mereka ideal banget. Serasi. Kalau mereka menikah, Vrancessa nggak perlu merasa terancam bakal terbunuh.

"Mau dibawa ke mana, sih? Nggak usah belanja yang aneh-aneh, ya," pesan Hiu seraya kembali duduk. "Jangan dipaksain pakai baju yang kamu pakai, nanti malah dikira orang inappropriate lagi, ngedandanin bocah terlalu seksi."

Sabar ... sabar ....

"Apaan, sih," Vrancessa tertawa kecil sambil melirikku, ekspresinya nggak enak. "Jangan kelewatan kalau bercanda. Jangan sampai suatu hari kamu nyesel karena nggak serius pada saat yang dibutuhkan."

Hiu dikasih tahu gitu cuma ngedecap aja.

"Jangan lupa nanti pukul delapan kalian udah harus nyampe sana. Kalau enggak, Anekelea bisa ngambek. Yuk, jalan sekarang, Bonnie, makannya udah selesai?"

Aku baru mau jawab, tapi keduluan. "Tunggu dia habisin serealnya dulu."

"Pasti kamu yang usil," tebak Vrancessa tepat. "Jangan diambil hati ya, Bonnie. Kamu tuh mungil, manis, seksi ... nggak usah didengerin yang bilang kamu harus tambah tinggi segala macem." Cewek tinggi itu menjauhkan mangkuk sereal dariku, lalu badannya merapat padaku. Di telingaku, dia berbisik dengan suara yang tetap bisa didengar Hiu. "Kalau Hiu godain kamu terus gini, ntar juga lama-lama dia nggak tahan sendiri."

Sambil bersihin saus di piringnya dengan selembar bacon, Hiu membuat-buat suara kentut dengan bibir tebalnya, kemudian menghabisi potongan terakhir menu sarapan yang harusnya buat tiga orang. "Kalau ada apa-apa, telepon," pungkasnya usai mengunyah. Jari telunjuk tangan kirinya menunjuk mukaku. "Kalau mamimu nelepon, jangan bilang kamu jalan-jalan tanpa aku, ngerti?"

Aku mengangguk.

"Kalau udah ada baju yang mau dibeli, foto dulu, lalu kirim ke aku. Kamu cuma beli baju yang kubilang boleh kamu beli, kalau enggak ... aku yakin Vrancessa bakal pilihin baju yang cuma bagus buat dia doang."

"Oh come on ... kamu suaminya, apa bapaknya, sih, bawel banget gitu?" protes Vrancessa bete.

Sebelum beranjak dari meja dan ninggalin kami berdua, Hiu bilang, "Kalau belanja bajunya sama kamu, aku bapaknya. Puas?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro