3. The One with The Honey Moon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hawaii

"Masa? Tidak mungkin!"

Kurasa hal selanjutnya yang harus dikampanyekan orang sedunia setelah #nofatshaming adalah #noshortpeopleshaming.

Hiu tertawa terbahak-bahak sementara pamannya yang tinggal di dekat pantai dan sedang berkunjung ke hotel tempat kami menginap mengelilingiku sambil menyesap jus nanas dengan vodka dan es. Aku ingin menggigitnya sampai puas, tapi mereka semuanya tinggi dan berbulu, tidak suka pakai baju, sebagian bahkan tidak malu-malu telanjang bulat dan berbaring di atas pasir pantai. Selain itu aku sudah terlalu capek untuk protes.

Sesudah terbang belasan jam di samping orang yang nggak kusukai, kupikir aku bakal dibiarin tidur dulu di kasur barang semalam. Nyatanya karena perbedaan waktu, kami sampai di sana siang hari, panas, aku keringetan, dan kami dijemput rombongan yang menyambut dengan kalungan bunga dan tarian hula-hula. Gara-gara minuman pertama yang kusesap begitu menginjakkan kaki di Hawaii ternyata mengandung alkohol, aku muntah-muntah di ice bucket dalam limo jemputan, dan Hiu memarahiku habis-habisan.

Tentu saja dia marahnya waktu nggak ada orang yang ngeliat. Pas ada orang, sih, dia biasa aja. Mesra juga enggak, sih, tapi nggak sadis kayak kalau kami berduaan. Secara verbal tuh aku udah dianiaya lah, masa nama panggilanku selama 2x24 jam kami jadi suami istri jumlahnya udah lebih banyak dari jumlah julukanku selama 22 tahun?! Menurutku ini termasuk domestic abuse, kan, ya? Menurutku, sih, iya, aku bakal mencatat atau merekam kalau dia begitu lagi, siapa tahu nanti aku butuh. Seseorang harus memahami bahwa sangat menyakitkan buat seorang gadis berumur 22 tahun yang dipanggil Dora, aku bisa saja depresi, lho, dan itu nggak main-main.

Sekarang dia sedang mengulang kisah (yang menurutnya) lucu saat seorang kakek-kakek bule menawariku permen di pesawat dan kutolak. Kakek itu menunjuknya dan bilang, tenang saja, papamu nggak akan marah, Anak Cantik. Kupikir mamalia laut itu bakal malu, kan, ya, dianggap papaku, eh malah sebaliknya. Dia ngetawain aku karena kakek itu mikir aku kayak anak SMP sampe ditawarin permen. Aku memang pucat dan gemetaran, dikiranya aku ketakutan pertama kali naik pesawat. Coba aja dia baru lulus kuliah, belum pernah jatuh cinta, nggak kepikiran nikah, tahu-tahu disuruh terbang belasan jam ke negara tak dikenal buat bulan madu. Kayak mimpi, tapi mimpi buruk.

Kayaknya kisah tolol itu udah diunggah sama dia, deh, di akun medsosnya, buktinya IG-ku ada DM dari Karin, Kak Donnie, dan Mami nanyain itu bener enggak, itu bener enggak, aku belum ngecek 'itu bener enggak' tuh maksudnya kejadian permen itu, apa bukan, karena males aja. Bukan apa-apa, soalnya emang kejadian awkward-nya tuh bukan cuma itu. Kalau sekali, sih, bisa kuanggap lucu ya, siapa, sih, yang nggak seneng dianggap masih muda? Tapi, ya, nggak dianggep anak SMP juga kali, masa aku nyaris diusir dari restoran hotel yang udah di-reserve sama mama mertua buat makan malam terakhir sebelum honeymoon? Dikira aku remaja nyasar yang main duduk di meja pesanan, padahal aku turun duluan gara-gara males nungguin Hiu selesai nerima telepon. Pegawai hotel yang kenal deket sama keluarga Helemano itu sampe harus nunggu verifikasi dari Hiu sebelum ngasih aku air putih dan roti bawang. Habisnya aku marah, aku dikasih vocer ulang tahun yang ada gambar Helo Kitty-nya. Aku pengin nangis. Pengin pulang. Harusnya kemarin aku pikir panjang sebelum menjawab pertanyaan Papi. Aku cuma kasihan sama Papi, tapi aku yakin kalau aku nolak, Papi nggak akan maksa. Aku hanya nggak menyangka begitu aku bilang oke, semuanya seolah sudah diatur sedemikian rupa seperti di drama-drama Korea. Keluargaku memang bukan orang miskin, kami cukup berada, tapi mungkin perhitunganku nggak sama dengan kalkulator keluarga Helemano. Udah kayak Thanos, dalam sekali jentik, semuanya sudah siap sedia.

"Bonnie," panggil suara wanita sambil mencolek pelan pundakku.

Aku baru saja meloloskan diri dari beberapa paman Hiu yang rebutan mau dengerin kisah lucu selama perjalanan kami dari Jakarta ke Honolulu. Kalau aku bukan istrinya, aku yakin mereka beneran bakal nyubitin pipiku.

"Kamu bawa bikini?" tanya Vrancessa, istri sepupu Hiu yang tampak luar biasa hot mengenakan two pieces summer bikini, dalam bahasa Inggris. Aku menggeleng, dan wajahnya pun meredup prihatin. "Jangan terlalu diambil hati, ya? Hiu memang suka bercanda. Dia sebenarnya baik, kok, dia pasti akan bikin kamu jadi istri yang paling bahagia."

Aku menyengir.

Yah, bukan salah permohonan Papi aja, sih, kenapa aku bilang iya, sebenarnya aku sempat merasa iba pada nasib percintaan Helemano Hiu yang sampe sekarang masih susah kuingat nama lengkapnya.

Vrancessa mendekatiku, blus putih tipis yang dikenakannya melambai ke belakang membuat tubuh indahnya terpapar. Meski sama-sama perempuan, aku tersipu malu. Mungkin aku memang kayak anak SMP kalau di mata perempuan-perempuan Hawaii, mereka semua pakai bikini, tak terkecuali, sedangkan aku pake dress warna biru-kuning yang di bagian dadanya ada renda-rendanya. Di Jakarta beginian kayaknya lucu, imut, tapi seksi, di sini aku merasa kayak anak di bawah umur yang lagi main sama orang dewasa.

"Rasanya nggak percaya ... pernikahan itu tetap dilaksanakan," ucap Vrancessa gamang, dia menyentuh pergelangan tanganku. "Aku ingin kamu tahu," bisiknya. "Aku lebih senang melihatmu bersanding dengan Hiu, dibanding perempuan itu."

"Perempuan itu?"

"Iya, Anka, mantan pacar yang kabur membawa uangnya—"

Jadi mereka sudah akan menikah?

"Tak satu pun dari kami yang menyukainya, entah apa yang dilihat Hiu darinya. Perempuan itu menguasainya, membutakannya, dia seperti ada di bawah pengaruh hipnotis!" Vrancessa menjelaskan dengan berapi-api. "Sekarang, setelah ratu ilmu hitam itu pergi, uang hilang berapa pun tak ada artinya—"

Ratu ilmu hitam, aku tertawa kecil.

"Dia memang seperti ratu ilmu hitam," Vrancessa ikut tertawa. "Aku senang kamu bisa tertawa, kamu kelihatannya sangat tertekan. Para pria di sini suka bercanda, tapi mereka semua sangat baik dan menghargai wanita. Jangan khawatir, kamu pasti akan bisa menaklukkan Hiu segera, sebelum kamu menyadarinya. Nah, yuk, kita beli bikini. Nggak ada yang nggak pake bikini di pantai Hawaii, aku yang traktir!"

Aku mengikuti Vrancessa, sementara dia terus menyerocos. "Hiu nggak sering menjalin asmara, dia terlalu sibuk bekerja, dan melakukan hal-hal yang bikin dia senang. Aku sudah mengenal Hiu dan sepupunya, yang sekarang sudah jadi suamiku, saling kenal sejak kami masih anak-anak. Kami mengenalkannya dengan banyak gadis, sangat sedikit yang pas di hatinya. Dia suka gadis-gadis lucu yang senang tertawa, tidak harus punya kegemaran yang sama dengannya, tapi percaya atau tidak ... Hiu senang mengencani gadis-gadis mungil."

Gigiku sampai kering karena keseringan menyengir. Mungkin Vrancessa cuma ingin menghibur, tapi sejujurnya aku nggak peduli gadis macam apa yang suka dikencani monster dasar laut itu, aku tidak mau mati muda.

"Nggak ada yang tahu bagaimana Hiu kenal dan jatuh cinta pada Anka, tahu-tahu mereka merancang pernikahan. Mamanya sangat tidak setuju, lalu mereka bikin perjanjian ...."

"Perjanjian?"

"Ya, kalau dia gagal menikah ... dia harus mau menikah dengan siapa pun yang dijodohkan dengannya. Kami punya cukup banyak nama gadis yang kira-kira akan dinikahkan dengan Hiu, tapi tak satu pun tebakan itu benar. Kamu harus tahu, keluarga kami sangat suka kejutan, dan tak seorang pun tak suka dengan gadis-gadis manis yang baru pertama jatuh cinta, lalu menikah. Kebanyakan dari kami menikahi kekasih sejak remaja, atau orang-orang yang sejak kecil dirancang untuk berjodoh oleh orang tua kami."

Aku mengangguk-angguk. "Di negaraku, orang sudah berhenti saling menjodohkan, kami tidak suka diatur-atur lagi, apalagi soal siapa yang kami nikahi," sindirku. "Aku sendiri ingin sekali menikah dengan orang yang kucintai."

"Oh, kami juga," seru Vrancessa, sepertinya dia nggak bisa nangkep nada sinis dalam ucapanku. "Siapa bilang kami tidak saling mencintai meski dijodohkan? Kalau kami tidak suka, kami bebas berkata tidak. Apa di tempatmu juga begitu?"

Aku cuma bisa tersenyum sambil menelan ludah.

Tentu saja di tempatku tidak begitu, entah dengan orang lain, nyatanya aku tetap menikah dengan orang yang tak kucintai.

"Jangan khawatir, cinta akan datang, asal kamu menemukan orang yang tepat, Bonita," imbuh Vrancessa di depan toko peralatan olahraga air. "Ayo, sekarang kita pilih dulu hadiah bridal shower yang nggak pernah kuberikan karena kita belum saling mengenal sebelum kalian menikah. Kamu boleh pilih yang mana saja ... ehm ... atau mungkin aku yang akan memilihkannya untukmu, ya? Ayo kita pilih yang seksi."

"Tapi, menurutku ini terlalu seksi," bisikku saat kami keluar dari toko menuju tepi pantai.

"Kamu kelihatan manis, diamlah, Hiu pasti suka," kata Vrancessa agak galak, dia menarik paper bag berisi dress yang sebelumnya kupakai. Aku menjerit karena sekarang tubuhku yang cuma pakai cawat dan beha bisa disaksikan ratusan pengunjung pantai. Kedua kakiku melekat jadi satu, sedangkan dua tanganku menutup dada dan bagian itu. Bukannya kasihan, Vrancessa justru memanggil Hiu dan membawa paper bag-ku menjauh.

Astaga ..., dia mendekat.

"Ayo, sudah lapar belum?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Enak aja belum laper udah jam segini. Harusnya kamu udah makan empat kali biar badanmu tambah tinggi. Cepetan! Yang lain sudah nunggu," katanya judes. Aku sudah siap-siap mengekorinya sewaktu dia berbalik dengan tiba-tiba. "By the way, baju renang barumu bagus juga, Shizuka. Udah bilang makasih belum sama Tante Vrancessa?"

Dasar brengsek.

Aku nggak percaya aku sempat iba pada nasib kisah cintanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro