12. The One With The Fake Kiss

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kass-kiss melulu dari kemarin, Kak," kataku jahil, habis emang. Kayaknya emang dia aja yang pengin nyium aku. Jablai kali. "Bilang aja Kakak yang kepingin."

"Kalau aku memang kepingin, memangnya kenapa?" tantangnya telak. Aku nelen ludah di-skakmat gitu. "Kalau aku bilang, kamu harus mau tidur sama aku sekarang juga, kamu juga mesti mau harusnya. Kamu, kan, istriku, habis belanjain uangku sampe tujuh puluh juta sekali jalan ke mal lagi, ciuman doang mah aku nggak perlu nyari-nyari alesan."

Mukaku merah. Sialan, bener, kan, namanya makan siang nggak ada yang gratisan, apalagi kartu kredit unlimited. Ya ampun, gimana nolaknya? Mana mahal banget lagi harga ciumanku, tujuh puluh lima juta. Kalau aku disuruh ganti mesti jual apa? Jual ginjal juga palingan punyaku kecil, orang lain nggak ada yang pake ukuran segini.

"Makanya kalau ngomong jangan asal-asalan," katanya sambil membunyikan klakson buat satpam yang membukakan pintu gerbang dari dalam ruangannya. Satpam itu keluar hanya buat menunduk dan tersenyum. "Kalau aku masih kayak gini, artinya aku masih menghargai keinginanmu. Aku nggak mau maksa—"

"Tapi aku denger, kok, waktu Kakak ngobrol sama mama di telepon pas malam pertama," sambarku nekat. "Kakak bilang Kakak nggak mau sama aku karena badanku kecil kayak anak SMP. Nggak usah sok doyan, deh, Kak."

Nah, kan, dia gelagapan, dikira aku nggak denger percakapannya yang menyakitkan waktu itu. "Ya nyatanya kamu emang keciiil banget, tapi sekarang, kan, makan sama minum susunya udah banyakan. Bentar lagi juga gede. Lagian tadi, kan, kamu yang nuduh aku sebenernya kepingin nyium, sekarang malah ngatain sok doyan. Gimana, sih, kamu? Udah cepetan menurut kamu mesti gimana, mama pasti nungguin, tuh."

Mesin mobil dimatikan.

"Ya udah terserah Kakak," kataku malu.

"Rela nggak bibirnya dicium?"

"Kemarin katanya nggak mau nyium soalnya aku belum dewasaaa," sindirku lagi, salah sendiri kalau ngomong suka nggak diayak. Gitu ngatain orang asal-asalan.

Hiu mendengus keras sambil melepaskan sabuk pengaman. Sama sekali nggak membantah kata-kataku, si gondrong membuka pintu, keluar, lalu berjalan melingkari moncong mobil sembari mengikat rambutnya dengan seutas karet. Dia menungguku mengikutinya keluar dan berjalan menyusulnya menuju rumah orang tuanya yang nggak kalah besar dari rumah hadiah kakek untuk kami. Aku kayak mau main sinetron Indonesia aja kalo liat pilar-pilar rumah segede paha Zeus gini.

"Nggak mau karena aku belum dewasa, atau karena itu ciuman pertamaku, Kak?" aku terus menggodanya sambil berusaha menyamakan langkah. "Jangan-jangan Kakak mau nyari momen yang pas, ya, supaya ciuman pertamaku berkesan? Kan, aku nggak boleh nyium orang lain, udah nikahnya sama Kakak. Nanti dikira aku niat selingkuuuh."

Tepat di depan pintu setelah memencet bel, Hiu berbalik. Aku mundur selangkah gara-gara kaget. "Berisik!" katanya sambil menunduk dan menunjuk hidungku. Matanya memelotot. Nggak melotot aja udah serem, aku bergidik. Kalau jarinya yang nunjuk idungku itu dientakkan sedikit aja, mungkin hidungku bisa patah. "Iya, aku nggak enak karena itu ciuman pertamamu, tapi terus kupikir-pikir, emang kenapa kalau ciuman pertama? Emang aku mau nunggu ciuman pertamamu nggak jadi pertama lagi gimana caranya?"

Waktu aku lagi merem-merem diserang secara beruntun sama cerocosan suamiku yang tampangnya preman tapi mulutnya bawel banget, sekonyong-konyong, tanpa didahului suara langkah kaki (tembok rumah setebel itu emang mustahil kedengeran, sih) atau suara pintu terbuka (ini masih mungkin bunyi, soalnya pintu segede itu pas dibuka harusnya anginnya berasa. Tapi terus aku ingat, di depanku ada Hiu yang lebarnya hampir sama kayak lebar pintu itu), terdengar seseorang bicara, "Aduh, aduuuh ... pengantin baru ini mesra betuuul di depan rumah orang aja bercumbu ...."

Hiu yang udah melotot, makin melotot. Mungkin dari sudut pandang orang di balik punggungnya, Hiu yang lagi nunduk sambil nunjuk-nunjuk hidungku jadi terlihat seolah kami sedang berciuman. Aku berpikir kilat, menggunakan teknik Drama Korea, ini bisa kami manfaatin untuk membuat mama mertuaku percaya dengan bualan anaknya. Tanpa meminta persetujuan Hiu, kuletakkan kedua tanganku di bahunya seolah-olah kami memang habis cium-ciuman. Untungnya, Hiu memahami apa yang kulakukan. Seraya berpura-pura menghapus sesuatu dari bibirnya, ia memutar dan tersenyum lebar.

"Halo, Mama," sapanya, tak lupa sambil merangkulku mesra. "Maaf, Ma, habis si nyonya kecil ini bawelnya minta ampun, jadi kucium aja."

Ewww ....

Mereka ketawa-tawa, aku tersipu-sipu malu.

Sesudah puas pamer kemesraan palsu di depan mamanya, Hiu meninggalkanku ke kamar lamanya untuk mengambil beberapa barang yang harus dibawanya ke rumah baru. Di halaman belakang rumah besar Helemano, aku duduk berduaan dengan perempuan yang masih cantik di ujung 50-an itu. Dia bilang, suaminya akan bergabung sebentar lagi.

"Kenapa Papa nggak jadi pergi, Ma?" tanyaku selayaknya menantu yang manis sementara Nyonya Helemano, alias mama mertuaku, meracik dua cangkir teh. Dengan susu buatku, dengan lemon untuknya sendiri.

"Karena mau ketemu kalian, Sayang. Kalau kalian meleset dikit, kita baru bisa ketemu seminggu lagi. Jadi mending ditunda aja perginya," jelas si nyonya kaya dengan suara lembut, dan merdu.

Nyonya Helemano inilah sebenarnya pewaris langsung hampir semua aset dan kekayaan Kakek Adisaloma yang baik hati. Pabrik makanan kaleng Helemano yang didirikan oleh Herman Amakuale Helemano—ayahnya Hiu—hanya salah satu perusahaan dalam kerajaan bisnis Adisaloma. Hiu mendapatkan darah Hawaiian-nya dari sang ayah. Ibu dan kakek Adisaloma orang Indonesia asli.

Jadi nama Hiu itu sebenernya cuma terdiri dari satu kata doang. Nama lengkapnya yang terdiri dari kata Adisaloma dan Helemano adalah nama keluarga ayah dan kakeknya. Irit banget ngasih nama anak sendiri, ya? Padahal holang kaya. Kan, bisa ditambahin satu kata lagi biar Hiu punya panggilan alternatif. Kayak aku gitu, aku bisa minta dipanggil Bonnie atau Nina. Siapa tau suatu saat dibutuhkan buat pesen kopi di Starbucks waktu stalking pacar yang mencurigakan, atau bikin nama email yang variatif.

"Gimana bulan madunya?" tanya mama mertua sebelum menyeruput teh sambil senyum-senyum (emang bisa? Bisa, kok, entah dia senyum beneran atau enggak, tapi matanya itu mata tersenyum).

"Asyik," jawabku pendek, ikut-ikutan minum sekalian mikir kalau-kalau dia nanya macem-macem.

"Seru, ya, Hawaii?" si mama meletakkan cangkir di atas meja. Kemudian dengan anggun mencapit dua buah Eclaire bergantian untuk kami masing-masing. "Mama harap keluarga Hiu di sana nggak gangguin waktu berduaan kalian. Soalnya ... zaman Mama bulan madu dulu ... hampir nggak pernah ada waktu benar-benar berdua."

Aku menyengir sok imut. Ya, sama, sih, Ma. Bedanya, aku nggak keberatan.

"Mereka excited banget ketemu kamu, katanya kamu lucu, cocok banget sama Hiu. Mama maklum kok kalau kamu canggung dan jadi nggak bisa mesra-mesraan, tapi mereka tuh budayanya beda sama kita ... it's okay to show affection di sana."

Aku ngangguk-ngangguk doang. Eclaire ini juara banget, jangan-jangan yang bikin Chef Reynold.

"Mama juga mau minta maaf."

"Hm?" mulutku berhenti ngunyah, setetes krim hampir jatuh dari bibirku, tapi aku buru-buru menjilatnya. Sayang soalnya enak banget. Minta maaf kenapa lagi, nih?

"Soal Mama pengin cepet-cepet punya cucu," bisik si Mama, herannya dia makan Eclaire-nya rapi banget sama sekali nggak cemong. "Mama tahu dulu pernah janji mau ngasih kalian waktu buat saling kenal dulu, menumbuhkan cinta dulu, tapi, kan, setelah kalian bulan madu ... harusnya nggak perlu waktu terlalu lama, cinta udah bisa tumbuh, kan?"

Aku cuma bisa mengulum senyum, nggak manis, tapi asem.

"Apalagi kata Hiu kalian udah ...," si mama memberi jeda sendiri dengan senyum penuh arti. Untung aku tahu artinya, jadi nggak perlu nanya. "Jadi gimana kelihatannya? Kalau dalam satu, dua bulan ini nggak ada tanda-tanda ... gimana kalau langsung aja?"

Hah?

Kali ini aku nggak paham arti alisnya yang naik sebelah.

"Periksa ke dokter kandungan," katanya memperjelas. Aku tersedak kunyahan Eclaire yang baru akan kutelan. "Atau ke spesialis infertil. Siapa tahu mereka punya solusi supaya kalian bisa cepat punya keturunan. Bayi tabung biasanya nggak disarankan untuk pasangan yang baru nikah, tapi bisa kita desak kalau kita mau. Tapi, seharusnya nggak perlu, ya? Hiu masih muda, dia pasti sehat karena banyak olahraga juga. Bonnie juga sedang dalam usia sangat produktif. Pasti kalian bisa secepatnya punya baby. Iya, kan?"

Mungkin sekarang ini mukaku udah membiru. Sejak si mama mertua bawa-bawa dokter kandungan, aku sudah nahan napas dan lupa balikin lagi.

"Mama tahu kamu pasti belum sepenuhnya siap, tapi percayalah ... itu proses yang alamiah buat seorang perempuan. Mama, dan mami kamu, juga semua perempuan di dunia ini mengalaminya. Jadi jangan khawatir, ya? Kalau Hiu sibuk, nanti Mama yang anter. Mama cariin obgyn yang paling bagus. Hiu memang nyuruh Mama jangan buru-buru, kasihan kamu, tapi Bonnie sendiri sudah siap, kan? Iya, kan?"

Aku masih syok, Ma. Nggak bisa jawab.

"Ma ...," suara Hiu terdengar dari dalam rumah. "Barang-barangku udah siap semua, Papa mana? Aku nggak bisa lama-lama, nih, maminya Bonnie nungguin."

Alhamdulillah. Hiu udah balik.

Aku akhirnya bisa ambil napas meskipun habis itu batuk-batuk.

Hiu muncul di halaman belakang dan seketika mematung melihatku megap-megap berusaha bernapas. Detik berikutnya, sambil berkacak pinggang, bolongan hidungnya yang udah besar-besar semakin mekar saat dia mengembuskan napas kuat-kuat dan beralih pada mamanya dengan tatapan tajam. "Nah, kan? Mama nggak dengerin omonganku, ya? Udah dibilangin anaknya susah paham, mesti pelan-pelan. Jangan langsung ngomong macam-macam."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro