13. The One with Hiu Feeling Touched

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untung mamiku chat nanyain udah sampe mana.

Kami jadi punya alasan untuk mohon diri sebab aku udah nggak tahan pengin ngambek sama kutu kupret gimbal satu ini. Tadi, sih, aku udah nyicil (ngambeknya), tiap kali Mama-Papa nggak ngeliat, aku melengos. Disuruh ngambilin merica, kukasih garam. Akibatnya dia melet-melet keasinan. Sukurin, masa pengusaha ikan kalengan nggak ngerti mana garam, mana merica? Tapi, rasanya belum puas. Pokoknya aku mau mogok ngomong aja, mau mogok makan takutnya mami masak rendang jengkol suka-sukaanku.

Jujur. Aku syok, sih.

Dalam sebulan dua bulan kalau sperma Hiu dan telurku nggak jadi bayi, aku mau dibawa ke obgyn, sampe ahli infertilitas segala. Ngeri amat? Kayak aku tuh umurnya udah mau lima puluh terus belum punya anak, aku, kan, masih muda. Siapa tahu Tuhan belum yakin aku mampu ngasuh anak, makanya belum dikasih. Ini maksudnya kalau kasus ini dilihat dari sudut pandang mama-papa mertua, ya, bukan beneran. Kalau beneran mah mana bisa dikasih, orang anuan aja belum.

"Kamu nggak usah khawatir, nanti aku yang pikirin caranya sampai kamu siap. Apa pun yang mamaku bilang, kamu iyain aja. Biar cepet. Pokoknya, kalau udah urusan sama mertua, paling bener iyain aja. Nanti di rumahmu juga aku bakal gitu. Yang penting kamu sama aku harus kompak dan nggak ada yang ditutup-tutupin," katanya panjang lebar sambil masang sabuk pengaman.

Aku langsung meradang, nggak jadi mogok ngomong. "Yang diem-diem ngomong sama mamanya kalau kita udah gituan bukan aku, ya, Kak. Sekarang sok-sok bilang harus kompak, nggak ada yang ditutup-tutupin. Emang Kakak ada diskusi sama aku dulu sebelumnya? Kalau aku dibawa ke obgyn, terus hamil beneran gimana?"

"Maksudnya?" Mesin mobil diidupin, lalu sambil mundur keluar dari parkiran, dia ketawa-ketawa. "Ya kamu mau dibawa ke obgyn seratus kali kalau nggak kuapa-apain ya nggak akan hamil, dong, Oneeeng."

"Maksudku bukan itu!" jeritku gemas.

"Terus maksudmu gimana? Coba jelasin ke aku maksudmu gimana?" tanyanya sembari membunyikan klakson sebagai tanda terima kasih buat satpam yang bukain pintu gerbang. "There's no need to be upset right now, pinter-pinternya kita aja berkelit nantinya. Lagipula kalau mama-papaku nggak sabar, dan minta aku poligami, atau nyeraiin kamu ... bukannya kamu seneng? Tadi pagi kamu bilang, ceraiin aja kalau udah nggak tahan?"

Tuh, kan. Memang mending mogok ngomong kalau sama dia mah. Enak aja poligami-poligami. Kalau dia mau poligami, aku juga mau poliandri pokoknya!

"Hm? Gimana? Jadi tuh kamu sebenernya pengin dicerain, atau sebaliknya? Dijawab, dong ...."

Aku makin buang muka. Dari kaca di sampingku, aku bisa melihat pantulan wajahnya lagi senyum-senyum meledek. Emang kudu hati-hati banget ngomong sama dia. Soalnya dia tuh waktu dikatain kayak yang diem aja, tapi nanti-nanti omongan kita bakal dipakai buat menyerang balik. Kayak gini ini, kan, harusnya aku yang kesel. Ya, tapi emang aku yang kesel, sih ... malah makin kesel ini. Dia bisa nggak, sih, menerima kekesalanku dengan penyesalan gitu?

Tentu aja nggak bisa. Dia, kan, nggak cinta, buat apa dia menyesal udah ngecewain seseorang yang nggak ada artinya buat dia? Rasanya sakit banget kayak mau nangis ditantangin begitu, tapi nggak bisa jawab, dan aku nggak mau nangis di depannya. Makanya sekalian aja aku nanya gini, "Kalau aku mau diceraiin, emang kalian tetep mau bantu keluargaku?"

Senyum di bibir Hiu seketika menghilang, tapi sama kayak aku tadi, dia nggak bisa langsung menjawab. Baru setelah kupikir aku sudah berhasil membuatnya sakit hati, dia menoleh padaku, dan bertanya, "Serius, nih?"

Aku membalas tatapannya sekilas sebelum dia kembali menatap lurus ke depan. Sampai kami tiba di rumahku, aku nggak pernah menjawab pertanyaannya. Itu berarti kami saling mendiamkan lebih dari satu jam lamanya. Aku membuka sabuk pengaman lebih dulu karena ada yang harus kuambil sebelum masuk, tapi Hiu nggak kunjung membuka kunci pintu. Kenapa dia mesti mempersulit keadaan, sih?

"Bukain pintunya, Kak," kataku pelan.

"Kalau kamu serius, aku bisa atur semuanya," dia bilang, alih-alih mengabulkan permintaanku membukakan pintu.

Dadaku langsung sesak waktu dia ngomong gitu. Baru sesudahnya, pintu bisa dibuka. Tapi, aku malah nggak membukanya. Aku nggak bisa turun menjumpai Mami Papi dengan perasaan kayak gini. Mau ditahan kayak apa, mau aku nggak sayang sama dia, kok, ulu hatiku sakit sekali sampai sekujur tubuhku nyaris gemetar menahannya. Susah payah kutahan, akhirnya aku meneteskan air mata.

"Bonnie?" panggilnya, baru kali ini dia memanggil namaku dengan baik dan benar saat kami cuma berduaan.

"Kenapa Kakak nyakitin aku terus?" tanyaku, suaraku nggak stabil.

"Aku nyakitin kamu terus?" ulangnya, seolah aku memutarbalikkan fakta. "Bukan aku yang nyebut-nyebut soal perceraian," katanya pelan sekali. "Bukan aku yang nggak mau hamil—"

"Kakak bukannya nggak mau hamil, emang nggak mungkin hamil," bentakku, air mata keduaku kembali jatuh membasahi pipi. Aku tahu nggak seharusnya aku nyolot gitu, aku paham maksud ucapannya, tapi aku jengkeeel banget sampai mau meledak.

"You're the one who's hurting me," imbuhnya. Lagi-lagi dari pantulan cermin, aku melihatnya mendenguskan napas lewat hidung dengan sangat kuat sampai-sampai boneka kepala goyang di dashboard geleng-geleng lagi setelah mesin mati.

Tunggu. Aku nyakitin dia?

"Cuma karena kita nggak saling mencintai, bukan lantas ucapanmu nggak bisa nyakitin orang lain, Bonnie," katanya, aku bisa melihatnya mengetatkan rahang sebelum membuka kuncian pintu di sampingnya, dan terkesan nggak mau memperpanjang perdebatan.

Aku cuma bisa menunduk.

Hiu menoleh ke belakang untuk mengambil sebuah kotak bersarung kulit senada dengan interior mobil mewahnya. Dia meletakkan kotak yang ternyata berisi tisu itu di pangkuanku. Aku mengambil beberapa lembar, menyusut air mata dan ingusku, baru bilang makasih (harusnya aku nggak usah bilang makasih, ya? Udah kebiasaan soalnya)

Setelah beberapa saat, Hiu berdeham. "Aku keluarin barang-barangnya, kamu siap-siap. Jangan sampai Mami lihat kamu nangis," katanya—secara mengejutkan—dengan nada lembut.

Kalau nggak mengalaminya sendiri, aku nggak akan paham kalau ada yang bilang pernikahan itu penuh kompromi dan kepalsuan. Mungkin om-om dan tanteku, bahkan orang tuaku sendiri juga ada yang berantem di mobil tepat di depan rumah orang, tapi masuk sudah dalam keadaan tampak bahagia, ceria, seolah nggak ada masalah apa-apa. Aku bahkan masih kebingungan, bagian mana aku menyakitinya kalau dia nggak mencintaiku—belum sempat kepikiran bahwa aku berulang kali sakit hati gara-gara ucapannya, meski aku juga nggak punya rasa apa-apa padanya—kami sudah berdiri di depan pintu dan tanganku ada dalam genggamannya.

Jadi aku juga akan berpura-pura di depan keluargaku, di depan mami-papiku yang dua minggu lalu masih melepasku ke Hawaii dengan berbagai pesan supaya aku bertahan. Padahal kalau aku memperlihatkan kebusukan rumah tangga ini, Mami mungkin akan memikirkan cara lain, tapi entah mengapa aku juga nggak mau mereka memikirkan cara lain itu. Aku yakin Hiu juga begitu. Kami seperti berpegangan pada sesuatu yang sebenarnya ingin kami lepaskan. Kami memberinya harapan, sebab bagaimanapun ... ini sebuah pernikahan.

Sesudah acara bagi-bagi oleh-oleh dan basa-basinya kelar, Mami langsung ngajak kami semua pindah ke meja makan.

"Mami masih masak semuanya sendiri?" Hiu bertanya takjub, meja makan memang penuh hidangan istimewa. Tentu saja nggak kayak gini kondisinya sehari-hari, walaupun kami cukup mampu sebelum perusahaan Papi kena krisis ekonomi.

Aku dan Kak Donnie lihat-lihatan sementara Mami tersipu-sipu. Memang nggak salah, sih, Mami nyiapin semuanya sendiri, dia yang bikin list menu, ngasih resep, nyicipin, tapi eksekutornya tetep si bibi dan putrinya yang udah tahunan tinggal dan bantu-bantu di rumah. Mami punya urusan yang lebih penting, yakni ngawasin aku, dan Kak Donnie. Papi berusaha menuhin semuanya, dan buat Papi nggak ada yang lebih penting buat diurusin Mami selain anak-anak.

"Di sini, rumah adalah daerah kekuasaan Mami," kata Papi bangga. "Di rumah kamu gimana?"

Hiu mengulum senyum, tapi bukannya menjawab, Hiu malah menatapku.

"Kamu bisa masak?" tanyanya sekonyong-konyong saat menerima uluran piring berisi nasi dariku. Aku kelabakan ditanyain begitu setelah sebelumnya kami bersitegang di mobil. Untungnya dia lantas menjawab pertanyaan Papi, dan membiarkanku duduk dengan tenang. "Saya bahkan nggak tahu siapa yang masak di rumah."

Oh.

Ya, rumahnya kayak istana begitu, mungkin dia bahkan nggak tahu di mana letak dapurnya. Mungkin dia tinggal dial up dari kamarnya, lalu room service datang memenuhi kebutuhannya, persis di hotel-hotel.

"It's okay, Mami juga nggak masak sendiri semuanya, kok," Mami akhirnya jujur supaya Hiu nggak ngerasa teralienasi setelah kami tahu bahwa selama 34 tahun hidupnya, dia nggak tahu siapa yang masakin dia makanan. And to be honest, untuk pertama kali dalam hidupku, aku melihatnya tampak insecure. "Tapi pasti Mami kamu yang ngatur semuanya. Anak-anak nggak selalu tahu, but it's women's nature. Nanti Bonnie juga harus gitu. Ya, kan, Bon?"

Hah? Aku batuk-batuk.

Mami nih nggak pake ancang-ancang dulu pula mau konfirmasi kayak gitu, aku lagi ngunyah langsung tersedak. Orang tersedak gini tuh ada yang mati, lho, sembarangan si Mami. Aku pelototin, Mami malah angkat alis dua-duanya kayak ngomong 'emang Mami salah apaan?' Mana Hiu di sampingku nunggu-nunggu jawaban lagi, ngeliatin terus, apa yang dia harepin, sih?

"A—aku nggak bisa masak," kataku.

Alisnya sontak melengkung kecewa.

Sialnya, aku langsung nggak tega. "Tapi nanti aku belajar," ikrarku.

Herannya, kok, aku seneng, sih, lihat ekspresinya berubah dalam sekejap gitu? Sesuatu seakan menyengat pipiku sampai terasa panas sewaktu bibirnya tersenyum puas. Itu cuma sandiwara aja kan, ya, karena kami lagi di rumah mertuanya? Kayak yang tadi dia bilang, pokoknya diiyain aja biar cepet kalau sama mertua. Dia nggak sungguh-sungguh akan nyuruh aku masak kayak istri-istri pada umumnya, kan? Aku, kan, baru 22 tahun, aku nggak siap dengan beban dan tanggung jawab menyiapkan makanan untuk suami di meja makan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro