14. The One with The First Duty as a Wife

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udah pagi.

Oh iya, pada malam pertama kunjunganku sebagai seorang istri itu, Mami nyuruh kami nginep gara-gara Hiu kelamaan ngobrolin bisnis sama Papi dan Kak Donnie sampai larut malam. Aku nunggu di kamar, bongkar oleh-oleh sama Mami udah ampe beres, mereka belum kelar juga. Hiu nyaris menggendongku ke mobil karena aku ketiduran, untung aku kebangun duluan. Papi ikutan maksa supaya kami stay, tapi aku menolak bukannya apa, asyikan bobo di kamar baruku.

Aku menguap lebar sekali sampai rahangku sakit, enak banget tidurku tiap malam di atas seprai baru yang diganti tiap hari. Udah wangi, lembut, mahal, berwarna pink babi lagi. Mhhhh .... Aku membenamkan wajahku ke bantal. Freedom. Secara ironis, pernikahan ini memang memberiku kebebasan yang selama ini kuimpikan. Jam sembilan pagi, dan nggak ada seorang pun yang mengusikku, peregangan otot-otot pun jadi lebih nikmat rasanya.

Harus kuakui. Ada enaknya juga jadi istrinya Adisaloma Helemano Hiu. Well, banyak enaknya sebetulnya, terutama setelah aku nggak perlu khawatir mengenai melayaninya di tempat tidur. Iya, aku nggak bobo sekamar sama dia, lho. Aku dikasih milih kamar mana aja yang kumau, persis kayak waktu kami bulan madu.

Keuntungan pertama, aku dapat kamar yang luasnya lebih dari dua kali luas kamarku di rumah. Kasurku bisa buat tidur sepuluh orang seukuranku, aku mau salto kayak apa juga, nggak khawatir jatuh. Aku yakin Hiu nggak akan mempermasalahkan apa pun yang kupasang di dinding, atau berapa banyak pernak-pernik baru yang bisa kubawa pulang dan kupajang. Kan aku pegang kartu saktinya (ini termasuk keuntungan nomor dua). Selain itu ... aku punya seluruh isi mal di rumah ini, kecuali barang-barang nggak penting yang harus kubeli hanya untuk menghambur-hamburkan uangnya.

Mungkin ada satu yang kurang ... room service seperti yang dia punya di rumah lamanya. Rumah ini masih kekurangan pegawai, kudengar Nahokai sedang mengusahakannya. Coba aku bisa sarapan di tempat tidur, pasti sempurna. Aku bertanya-tanya, apa Hiu sarapan di ruang makan, atau di kamar, ya? Tiap aku keluar kamar sejak tinggal di sini, dia selalu udah nggak ada di rumah.

Aku mau minum kopi, ah. Apa aku beli coffee maker aja terus kutaruh di kamar, ya? Hiu nggak keberatan kan, beli satu coffee maker lagi?

Kukenakan jubah tidur keluar kamar. Hiu pasti udah nggak ada di rumah, jadi aku nggak perlu khawatir dia mengkritikku macam-macam. Istri macam apa yang baru bangun jam segini sementara suaminya udah pergi kerja? Meski begitu, aku tetap aja berjingkat-jingkat kayak tamu nggak diundang di rumah ini. Makanya, aku kaget setengah hidup ketika seseorang tahu-tahu menyapaku tepat setelah aku melewati ambang pintu dapur.

"Selamat pagi, Nyonya."

Aku menepuk-nepuk dada saking kagetnya. Ternyata Nahokai, bukan juragannya.

Waduh .... Ini berarti kemungkinan besar Hiu masih di rumah. Buru-buru kurapatkan jubahku, dan kuikat rapat-rapat sebab aku hampir selalu tidur nggak pake bra. Baju tidurku kali ini juga sangat minim. Kemarin aku memilihnya dari katalog butik terkenal yang dibawa oleh seorang personal shopper suruhan Mama. Baru pagi kupilih, sorenya udah diantar. Gratis lagi, padahal harganya jutaan. Si Mbaknya bilang, itu model yang mirip kayak yang biasa dipakai Kak Gigi. Ya ampun, aku langsung berasa jadi istri sultan kalau begini.

Well, anyway ... aku nggak khawatir Hiu bakal terangsang atau gimana-gimana juga, sih, ngeliat body-ku, yang ada dia bakal ngingetin untuk kesekian kalinya bahwa badanku nggak lebih gede dari bocah SMP.

"Dia di sini?" aku berbisik pada Kai sambil celingukan.

"Tepat sekali waktunya," kata Nahokai puas. "Saya barusan disuruh bangunin Nyonya. Pak Hiu ada di halaman belakang. Sarapan."

"Dia mau ketemu sama aku? Atau cuma disuruh bangun doang?"

"Mau ketemu," pendek Nahokai, lalu dengan agak menunduk, dan menggunakan tangannya, ia menunjukkan di mana Hiu berada. Sopan sekali, mana ganteng, aku kagum padanya.

Nggak ingin menyusahkan pegawai teladan, sekaligus kepercayaan Sang Sultan, aku melanjutkan perjalanan jauh ke halaman belakang tanpa banyak tanya. Kasihan Nahokai kalau aku banyak tingkah, harinya pasti udah berat mesti ngedampingin Maharaja Bawel seharian. Kadang aku lihat tengah malam dia masih nemenin Hiu kerja, padahal pagi-pagi jam enam bosnya udah minta dibangunin buat nge-gym sementara dia udah rapi.

"Kakak nyariin aku?"

Hiu tengah menyesap kopi menghadap ke kolam renang saat aku menyapa. Kacamata hitam yang semula bertengger di hidung besarnya dilepas dan diletakkan di meja. Nggak nunggu dijawab, aku duduk nggak jauh darinya. Mungkin dia minta ditemani sarapan kali, ya? Di meja ada macam-macam kue, aku berniat melayani diriku sendiri. Sayangnya, tatapannya jelas-jelas bilang supaya aku jauh-jauh dari kue-kuenya.

Oke. Nggak ada kebebasan yang kelewat batas. Mandi dulu, baru boleh makan. Nggak beda jauh dari di rumah. Deal. Terus kenapa aku dipanggil, dong?

"Kamu masih pegang kartu kredit yang kupinjamkan waktu kita bulan madu, kan? Atau udah kuminta balik?" tanyanya, langsung ke inti permasalahan.

"Masih," jawabku, aku cukup yakin dia juga belum lupa.

"Can you get that for me?" pintanya.

Semula aku hendak bertanya kenapa, tapi kayaknya itu bukan hakku juga untuk tahu. Sudah kuduga ini terlalu berlebihan, bayangkan apa yang bisa kubangkrutkan dengan memegang kartu itu? Aku meninggalkan meja, kembali ke kamar, dan mengulurkan kartu padanya.

Dia menerimanya, lalu tercenung sebentar. "Kamu mau nyimpan kartu ini?" tanyanya lagi, entah apa maksudnya. Tentu saja aku mau menyimpannya, dia seharusnya tahu itu. "Sebenarnya ... aku nggak berniat memintanya kembali, kamu boleh membawanya. Lagipula ... kamu istriku, kan?"

Aku mengangguk ragu, mengamati kartu yang kembali disodorkan padaku. What is his intention? Mataku beralih menatapnya curiga. Pasti dia bermaksud memberiku term and condition, apalagi saat aku mau mencabut kartu itu dari tangannya, dia menariknya kembali. "Oke, apa syaratnya?" tanyaku paham.

"Waktu kita dinner di rumah Mami, kamu bilang kamu mau belajar memasak, kan? Kapan?"

"Segera," kataku sekenanya, yang penting kartunya kembali ke tanganku dulu. Kartu itu bikin aku ngerasa aman dan nyaman. Maksudku, setelah memegangnya, aku nggak ingin melepasnya lagi. Kayak gimana, ya? The world is in my hand, gitu.

"Aku nggak terlalu sulit soal makanan, terutama kalau kamu masih dalam tahap belajar. Duduk," titahnya. "Segelas kopi, telur mata sapi dengan sosis, atau nasi goreng untuk sarapan. Masa kamu nggak bisa? Aku nggak akan minta banyak, dan bagaimanapun ... sekali lagi ... kamu istriku, kan?"

Aku diam menatapnya. "Kakak mau ngasih aku kartu itu kalau aku mau nyiapin sarapan?"

"Dan makan malam," katanya. "Aku jarang berada di rumah pada jam makan siang kecuali weekend. Kalau kamu memasak makan malam, aku akan pulang sebelum waktunya, kecuali ada alasan-alasan yang mendesak. Aku nggak akan rewel, I'll eat whatever you cook."

Napasku terembus berat, ini kesannya kayak dia membayarku untuk melakukan semua itu, bukan, sih? Like ... a servant?

"Kenapa?"

Bahuku menggedik. Aku nggak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku saat mendengarnya tanpa membuatnya tersinggung. Memang, sih, tanpa bargaining kayak gini pun, dia berhak memintaku memasak untuknya. Ini pasti gara-gara tatapan penuh artinya di meja makan rumahku. Nggak kusangka dia sebaper itu. Aku tahu dia sedang memberiku alasan supaya mau melakukannya, tapi jatuh kesannya malah aku kayak dibayar untuk melakukannya.

"Aku nggak memperlakukanmu seperti majikan yang membayar pegawainya, in case itu yang kamu pikirkan," katanya.

Kedua alisku bergerak naik sendiri.

"Kalau ini cuma soal kopi dan makan malam, aku nggak perlu merelakan salah satu kartuku. Bahkan, aku bisa saja nyuruh kamu ngelakuin itu tanpa iming-iming kartu. Kamu ngerti itu, kan?"

"Kalau aku nggak mau, apa aku tetap boleh pakai kartunya?"

Hiu melabuhkan tatapannya padaku dengan mulut sedikit terbuka, nggak percaya mendengar ucapanku yang setelah kupikir-pikir emang agak nggak tahu diri. "Boleh," kemudian katanya. Jeda sesaat ia gunakan untuk menyesap kopi dengan lambat dan kuduga sekaligus dimanfaatkannya untuk berpikir. "Tapi aku hanya akan meminjamkannya saat kamu butuhkan."

"Kapan saja itu?"

"Kapan pun."

Lagi-lagi aku nggak bisa menahan kecurigaanku. "Terus apa bedanya? Aku tetap boleh memakainya sesukaku, bedanya aku nggak bisa membawanya ke mana-mana, kan?"

"Memang. Aku mau kamu belajar memasak karena kamu istriku. Maksudku ... aku akan melakukan apa saja supaya kebutuhanmu tercukupi, itu tugasku. Aku juga ingin kamu melakukan tugasmu, tapi bukan lantas aku akan melupakan kewajibanku hanya karena kamu bukan istri yang baik. Itu yang akan membedakan suami seperti apa aku dan istri seperti apa kamu. Waktu itu kamu nggak jawab pertanyaanku, bener kamu minta diceraiin aja? It means ... kamu tetap mau mempertahankan pernikahan ini, meskipun kamu nggak menginginkannya, kan?"

"Aku nggak mau meremehkan mahligai perkawinan."

"Bagus. Paling enggak, aku sudah sedikit salah sangka. Pikiranmu nggak sesempit ukuran kepalamu, Bonita."

What?

Hiu mengecek arloji di tangannya, lalu tanpa memedulikan ekspresiku, dia kembali menjelaskan dengan tenang, "Aku akan bikinin kamu rekening baru dan akan kuisi secara berkala untuk kebutuhan rumah sehari-hari. Beritahu aku kalau kamu kewalahan. Kamu boleh punya asisten, beberapa punrapapun yang kamu mau, tapi aku ingin kamu yang bertanggung jawab."

Hiu menyodorkan kartunya sekali lagi. Meski ia sempat menggodaku dengan menariknya sebelum kuraih, tapi kali ini aku berhasil mencabut dari tangannya. Senyumku mengembang tanpa bisa kutahan. Sesusah apa, sih, secangkir kopi, dan beberapa menu sarapan pagi?

"Aku bangun pukul enam pagi, olahraga, mandi, sementara itu kamu bisa bikinin aku kopi dan sarapan. Aku biasa berangkat sebelum pukul sembilan, habis itu kamu boleh tidur lagi, atau belanja apa pun yang kamu mau selama kartunya belum patah, atau rusak. Kalau rusak ... kita bikin yang baru, asal suatu hari nanti ... keluargaku tahu siapa yang memasak untuk mereka."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro