17. The One with Bonnie Thinks Hiu Has Been Working Too Hard

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pagi. Kopinya udah jadi?"

Refleks, aku menoleh, mendapati Hiu sudah rapi kayak mau ngantor hari Senin pagi. "Baru mau aku tuang ... mau ke mana emang, kok, udah mandi?"

"Ngantor," jawabnya lesu.

"But it's Sunday morning," kataku sambil mengulurkan secangkir kopi panas. Hiu menghidu aromanya dalam-dalam, lalu membelalakkan matanya lebar-lebar. He looks tired.

Bukan. Aku bukannya pengin Hiu di rumah nemenin aku, atau apa, but seriously, he's been working really hard. Aku sudah jarang sekali melihatnya kecuali pada pagi hari. Dan karena aku belum mulai pelajaran memasak makan malam, dia makan di luar sepulang dari kantor. Dalam seminggu ini, ia mengirim pesan supaya aku tidur duluan sebanyak empat kali. Not like I am waiting for him, though.

Dia bekerja enam hari dalam seminggu dua minggu ini dan sekarang ia masih ngantor pada hari Minggu? Buat apa, sih, nyari duit sampe segitunya? Rumah juga udah gede banget sampe nggak tiap hari setiap sudut bisa ditengokin, masih nyari duit aja. Katanya mereka lagi create produk baru, spam ayam, sama bakso kalengan. Aneh-aneh aja bakso pake dikalengin, tiap hari juga beli di pasar yang seger banyak. Tapi, namanya juga perusahaan pengemasan produk kalengan, kalau mereka jual baksonya kelilingan malah makin aneh.

"Orang Malaysia yang mau jalin partnership sama kita bisanya datang hari ini, besok dia harus udah ada di lain tempat," jawabnya sambil sibuk menggelung rambut keritingnya ke puncak kepala. "God, I am so tired."

"Ya jelas capeklah, Kakak kerjanya gitu," timpalku, asyik menata tiga keping pancake dengan sirup mapel dan buah stroberi segar. Hari ini aku pengin beli iPad baru, jadi aku berusaha bikin dia happy kalau-kalau tagihannya masuk ke email.

"Coba ada yang mijetin," gumamnya saat aku meletakkan piring hasil karyaku dengan bangga.

Sontak, aku nggak jadi berlama-lama di sampingnya, balik kanan ke meja persiapan, dan menyiapkan piring kedua untuk diriku sendiri.

"Nahokai," panggilnya dua kali. Bodyguard—merangkap asisten pribadi, merangkap sopir, dan lain-lain sampe aku heran nih orang banyak duit, kok, tega amat nyuruh Nahokai ngerjain semuanya—itu masuk dapur dengan tenang. Coba aku yang dipanggil sampai dua kali gitu, pasti pontang-panting. "Bikin appointment sama Sarah, ya, aku mau di-massage hari ini."

Sarah?

Nahokai melirik padaku yang seketika menghentikan aktivitas saat nama cewek disebut-sebut.

"Iya, Sarah. Habis gimana, punya istri juga nggak mau mijitin, orang lain mana ada capek-capek malah manggil perempuan lain," katanya kenceng-kenceng sengaja nyindir. Batal, deh, aku beli iPad-nya daripada ribut, besok-besok ajalah.

"Heh, kamu," katanya. "Denger, nggak?"

Tck. Padahal aku udah nggak ngomong apa-apa. Banyak banget kompromiku akhir-akhir ini gara-gara kejadian di kamar mandinya tempo hari. Sekarang, aku nggak boleh sembarangan pake toilet, mesti ngetuk pintu dulu sebelum masuk ke ruangan yang ada Hiunya, kalau belum dikasih masuk jangan masuk soalnya dia suka nggak pake baju di kamar, dia bilang dia juga ngerasa rugi kemarin karena aku liat dia bugil. Ew, yang ada dia harusnya bayarin aku psikolog, siapa tahu aku kena PTSD habis ngeliat begituan.

Selain itu, aku nggak boleh protes kalau dia telanjang-telanjang dada di dalam rumah, soalnya kalau aku mau telanjang dada dia juga nggak akan keberatan, gitu katanya. Sebagai gantinya dia nggak akan kentut tanpa pemberitahuan. Aku kurang puas, sih, soal yang ini, aku penginnya dia pake baju gitu, kan, di rumah nggak panas, ada AC. Aku geli sama rambut badannya, kadang suka ada aja yang nempel-nempel di sofa. Terus apa lagi, ya? Oh. Dilarang mainin kanal teve soalnya jadi berantakan, tapi beli teve sendiri buat di kamar nggak dikasih. Nanti makin jarang ketemu, padahal kalau ketemu cuma mau ngajak berantem.

Habis itu karena peraturannya mulai, dan menurutnya bakal banyak, susah diingat, dia nyuruh Nahokai beli papan tulis gede buat ditaruh di ruang teve bila sewaktu-waktu salah satu dari kami punya peraturan baru. Tadinya aku pikir idih anak-anak banget, tapi hari ini aja aku udah nambahin dua peraturan baru.

"Nggak apa-apa emang ada perempuan lain mijitin aku?" tanyanya.

"Terus Kakak maunya gimana?" balasku pasrah. "Aku, kan, kecil gini mana kerasa kalau mijitin. Selembar otot lengan Kakak aja segede lenganku udah pake baju."

"Ngeles aja. Ini bikin apa, sih?" tanyanya sambil nusuk-nusuk pancake bikinanku, dibolak-balik, dicek satu per satu. "Yakin bisa dimakan?"

Aku ngedengus jengkel, nggak ngehargain banget. Dia nggak tau apa berapa banyak keping pancake yang kebuang untuk mencapai tingkat kesempurnaan pancake di hadapannya itu? Lama-lama aku daftar Masterchef juga, nih! Bukan karena masakanku enak, tapi saking lamanya aku berkutat di dapur setiap harinya. Kata Mirah, nanti kalau TUAN MUDA (bleh) mulai request masakan khas Indonesia, mungkin aku bakal camping di dapur kalau bikin pancake aja butuh tiga hari tiga malam. Dia kadang suka lupa, sih, posisinya di sini bantuin aku, polos-polos suka nyakitin omongannya.

Hiu memasukkan sepotong pancake berlumuran sirup mapel ke mulutnya.

Aku menanti dengan antusias. "Gimana?"

"Yah ... bisa dimakan, lah," jawabnya, sama sekali nggak terkesan, atau pura-pura terkesan gitu istrinya udah susah payah. "Tapi jangan terlalu sering bikin sarapan yang manis-manis gini, bikin gemuk, diabetes. Kalau buat kamu nggak apa-apa."

"Maksudnya nggak apa-apa aku diabetes?"

"Nggak apa-apa gemuk!" cetusnya sambil geleng-geleng. Habis itu, dengan mulut penuh dia manggil Nahokai lagi. "Nggak usah dipanggil Sarahnya, nggak jadi."

"Serius, Bos?"

"Iya. Hey, kamu," dia beralih padaku. "Kalau mijit nggak kerasa, nggak apa-apa diinjek-injek."

"Huh? Maksudnya?"

"Emang kamu nggak pernah disuruh nginjek-injek punggung papi kamu?"

Keningku mengerut. "Eng .... no ...?"

"Terus kalau papi kamu capek, mami kamu lagi sibuk, siapa yang mijitin, dong? Mami kamu, kan, ngurusin semua urusan rumah tangga. Manggil Sarah juga?"

"Nggak lucu!" semprotku. "Kan, ada Kak Donnie, yang sama-sama cowok."

"Ya udah, di sini nggak ada cowok."

"Kan, ada Nahokai."

"Tega banget, ya, kamu, Nahokai udah ngerjain semuanya, sekarang pake disuruh mijit"—ya salah siapa cobaaa yang ngasih dia jobdesk tumpuk-tumpuk gitu—"Halah, nggak usah muter-muter, ah. Aku nggak mau manggil cewek lain buat mijitin, apalagi Sarah. Kamu nggak tahu, sih, Sarah kayak gimana. Ya, kan, Kai?"

Nahokai mengulum senyum dilempari pertanyaan bernada mesum kayak gitu.

"Kalau malah aku pengin ngapa-ngapain sama dia, gimana?" sambungnya. "Kalau sama kamu, kan, aman."

"Aman gimana?"

"Ya, aman nggak akan pengin ngapa-ngapain."

"Oh, karena aku nggak gimanaaa (aku sengaja menggeliat-geliat dengan berlebihan, maksudku biar seksi) gitu kayak Sarah?"

Alis tebal Hiu naik sebelah. "Sarah nggak ngulet-ngulet kayak uler gitu. But anyway, yah ... itu nomor dua, tapi bukan aku yang bilang. Kamu sendiri yang bilang."

"Terus yang pertama apaan?" aku merhatiin dia menyuap sepotong besar pancake lagi, gitu bilangnya nggak doyan.

Hiu menelan pancake di mulutnya. "Yang pertama ya karena kamu mijitnya entar pake kaki, Tinkerbeeel, masa iya aku mau nafsu, sih, diinjek-injek punggungnya?!"

Hiiihhh. Bener-bener nggak lucu. Bisa-bisanya habis ngomong gitu dia ngajak Nahokai tos terus mereka ketawa-ketawa bareng. Apaan, sih, lagian masa dia serius nyuruh aku nginjek-nginjek punggungnya segala?

"Oke, nanti kayaknya sore aku udah pulang. Aku nggak mau tau, kakimu harus udah bersih biar punggungku nggak gatel-gatel."

"Emang nggak ada cara lain, ya? Kucariin tukang pijet cowok, deh, pasti ada."

"No," katanya tegas, lalu tepat di depan mukaku, dia menyuap hampir setengah keping pancake sekaligus, dan masih sempat-sempatnya menghina, "Seret. Ambilin minum, buruan. Aku bisa mati tersedak, nih."

"Ya udah, sana mati!" bentakku jengkel. Aku tahu dia cuma menggoda, nggak seret beneran.

Ngeliat aku mau meledak gitu dia malah ketawa-ketawa dan cabut gitu aja. Huh. Lihat aja. Hari ini aku nggak akan cuman beli iPod, aku bakal beli purse Gucci yang desainnya semalem dikirim via email oleh Sabrina, personal shopper yang menanganiku tiap aku ke gerai mereka. Habis, keterlaluan banget, sih, ini orang, dibaikin, diturutin, ada aja nambah-nambah melulu maunya. Kok, kayaknya makin sini dia makin nyerempet-nyerempet aja, sih, jadi ngeri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro