18. The One with Hiu Telling Bonnie to be A Good Wife

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ya, itu nggak mustahil, sih .... Mungkin ... dia emang berusaha bikin lo ngerasain sesuatu. Gue rasa meskipun dia kayaknya setuju-setuju sama lo, soal nggak mau tidur bareng karena belum ada rasa cinta, dia punya strategi sendiri. Nyerempet-nyerempet gini salah satunya. Nyuruh lo masak, mijitin ... dia mau bikin lo inget terus bahwa dia ada, dan suatu hari mau nggak mau, lo harus mau. Dengan kata lain ... sebenernya yang nggak mau di antara kalian berdua itu, cuma elo. Dia sebenernya mau, tapi nggak mau maksa."

Aku mendesah. Nggak paham aja sama jalan pikiran Karin. It sounds impossible. Soalnya dia nggak tahu, sih, gimana Hiu meremehkanku soal yang begitu-begitu, jadi aku nggak relate kalo dibilang dia diem-diem ngatur strategi supaya aku mau anu-anuan sama dia. Kalau bener, dia udah mengkhianatiku, dong? Kan, kami udah janji nunggu sama-sama siap. Jangan-jangan demi mamanya cepet punya cucu, dia akan melakukan segala cara buat membuahiku? Misalnya aja membiusku waktu aku lengah, mengancam membocorkan rahasiaku, atau bikin aku ketagihan megang kartu kredit unlimited dan uang jatah belanja bulanan yang jumlahnya ampe susah diakumulasiin. Jumlah duit belanja sebanyak itu kadang malah bikin aku bingung gimana ngabisinnya, bikin aku jadi nggak ngehargain uang. Jangan-jangan nanti tahu-tahu semua fasilitas itu dicabut supaya aku kelimpungan, terus karena aku udah ketagihan, dia bakal ngasih aku uang kalau aku mau diajak ke tempat tidur ....

Ew, biadab banget, sih, kalau emang dia begitu. Terus aku dianggap rahim berjalan doang, dong, ama dia? Gimana, dong, nanti kalau aku mijitin dia, terus dia terangsang gitu misalnya? Aku tuh nggak mau berbuat nggak senonoh dengan orang yang nggak kucintai.

"Ya nggak dianggap rahim berjalan doang kali!" kata Karin waktu aku ngeluh soal itu. "Kalau lo dianggep begitu, like I said dulu, dia nggak perlu persetujuan lo. Kayak lo nggak tahu aja di Indonesia gimana. Pemerkosaan dalam rumah tangga aja dianggep lelucon sama netizen. Kalau dia nekat, dan lo protes, lo yang bakal disalahin karena nggak mau ngelayanin suami. Jadi kalau dia nggak maksa lo di sini, it could be anything but nganggep lo rahim berjalan!"

Ya bener juga, sih. Ya Tuhan, aku ampe bingung yang bener yang mana. Semua kayaknya bener aja asal diliatnya dari sudut pandang berbeda.

"So, did you wash your feet?"

"I did."

Aku manggil terapis spa segala ke rumah, habis aku takut dihina-hina, nanti katanya kakiku kudisan lah, kutu air, bikin punggungnya gatel-gatellah. Dia tuh sadar nggak, sih, penilaian dia lama-lama bikin aku insecure? Intimidatif banget pula. Ini, kan, lama-lama jadi verbal abuse, ya? Dikiranya lucu, padahal aku kepikiran. Ini juga rencananya aku nggak akan ngaku, aku pake uang tunai tadi bayarnya. Mirah udah kusumpah di bawah kitab suci supaya tutup mulut. Nggak ada jejak aku pernah sengaja merawat intensif kakiku di luar perawatan rutin hanya demi nginjek-nginjek punggungnya yang kecapean. Nanti aku mijitnya mau pakai tungkai supaya dia kesakitan.

"Si Tuan Mudamu belum datang, Mir?" aku muncul di dapur pukul lima sore, Mirah sedang menyiapkan makan malam. Mirah menyengir kuledekin begitu, lalu menggeleng. Habis dia feodal banget, sih, pake tuan muda-tuan mudaan segala. Kayak zaman Belanda aja.

"Padahal katanya sore, ya, Nyah? Keburu kaki Nyonya nggak wangi lagi, dong," celetuk Mirah ngebales.

Aku menjulurkan lidah ke arahnya sambil meraup segenggam almon oven dari deretan toples camilan kering. Aku duduk di balik meja persiapan.

"Nyonya," panggilnya, sambil membawa talenan berikut pisau dan dua potong wortel ke meja yang sama, di seberangku. "Kalau Mirah boleh tahu, kenapa, sih, Nyonya sama Tuan Muda tidurnya nggak sekamar? Emang bener kata Nahokai, karena kamar di rumah ini kebanyakan, jadi Nyonya sama Tuan Muda ambil satu-satu? Tapi, kok ... Mirah nggak pernah lihat Tuan Muda main ke kamar Nyonya, atau sebaliknya. Selalu aja nyuruh Kai yang manggilin, terus kumpulnya di living room kayak rapat karangtaruna. Jangan-jangan ... Nyonya sama Tuan Muda nggak begituan, ya?'

Waduh, to the point sekali. Aku nyaris tersedak kacang almon yang belum halus kukunyah.

"Maaf, nih, Nyah ... cuma kepo aja," imbuhnya ngeliatin aku batuk-batuk. "Soalnya sebelum Mirah dioper kemari, Nyonya Besar sempet nyuruh Mirah merhatiin gimana Tuan sama Nyonya di rumah—"

"Serius?" potongku makin kaget. Mirah mengangguk meyakinkan. "Terus ... kamu bilang apa aja sama mama? Kamu nggak bilang aku sama Hiu tidur di kamar yang berbeda, kan?"

"Oh ... Nyonya Besar, sih, belum nanya lagi sejak Mirah di sini. Tapi Tuan Muda juga udah pesen, Mirah nggak boleh ngomong macem-macem ke Nyonya Besar, atau Mirah bakal dibalikin ke Madiun," kata Mirah sambil bergidik. "Mirah serem, sih, soalnya Tuan Muda ngancemnya serius. Mirah nggak mau balik kampung, Nyah, Mirah, kan, rutin ikut audisi Indonesian Idol cuman nggak kesaring-saring. Kalau Mirah balik kampung, ongkos lagi, dong, kalau mau audisi? Kalau di sini, kan, enak bisa tinggal di rumah mewah, makan gratis, digaji jugak. Kata Tuan Muda, Mirah suruh bilang aja nggak tahu-nggak tahu, gitu. Soal kamar, sih, si Tuan juga udah bilang, kemungkinan Nyonya Besar nggak akan kepikiran pasangan pengantin baru tidur di kamar terpisah jadi nggak bakal nanya. Tapi kalau-kalau nanya, Mirah disuruh bohong. Makanya Mirah heran, emang Tuan Muda sama Nyonya ... enggak ... eh hehe ...."

Aku ikut-ikutan nyengir ngeliat Mirah mengadu jari- jarinya seperti ayam lagi patok-patokkan.

"Sebenernya Mirah mau ngasih tahu, sih, Nyah, kalau Nyonya ada masalah dengan menarik perhatian suami ... Mirah punya dukun yang top markotop—"

"Sek, sek," potongku—niruin Mirah kalau nyuruh orang nunggu—sambil mengangkat satu tangan, menyetop cerocosannya. "Jadi maksud Mirah ... Hiu yang nggak suka sama aku, gitu?"

"Oh ... jadi Nyonya yang nggak suka sama Tuan Muda?"

Hadeh. Aku menggeleng nggak percaya. Apa, sih, bagusnya si Hagrid, kok kayaknya semua orang nganggep aku lah yang lebih beruntung banget dapetin dia? Apa karena dia tajir? Seiyanya karena itu, harusnya nggak lantas jadi barometer ketertarikan dalam bahasan seksual, kan?

"Kenapa Nyonya nggak sukanya?" desak Mirah, mengira diamku berarti membenarkan ucapannya. Tadinya aku merasa perlu menjelaskan bahwa bukan cuma Hiu yang nggak tertarik kepadaku, melainkan vise versa. Tapi aku ingat ucapan Hiu tempo hari, lebih sedikit yang tahu, lebih baik. Aku juga belum tahu benar personality Mirah, seember apa dia, dan segampang apa dia mau menjual informasi demi naik gaji, misalnya.

"Nggak kayak gitu, Miraaah ... Hiu main kok ke kamarku kalau malem, kadang aku juga ke sana, buat"—aku menirukan bahasa isyarat ayam patok-patokan Mirah tadi—"kamu nggak tahu aja. Kita, kan, nggak perlu cerita lah. Masa suami istri nggak begitu, nggak mungkin, kaaan?"

"Oh ... Alhamdulilah kalau gitu. Mirah lega, tapi kapan, sih, Nyah, main ke kamarnya?"—astaganagabonar, padahal kupikir aku udah cukup meyakinkan—"Soalnya Mirah suka sampe malem nonton drakor di kamar. Kadang sampe subuh kalau lagi seru. Nggak pernah tuh denger Tuan Muda berhenti ngorok semaleman. Tuan Muda, kan, kalau ngorok kedengeran sampai halaman belakang."

Itu benar, sih, meski nggak setiap malam juga sekenceng itu. Aku pernah terjaga karena kehausan, kupikir ada babi hutan lepas dalam rumah.

Untungnya, aku terselamatkan oleh indikator gerbang depan di samping telepon dapur yang berbunyi sekali dan menyala. Setiap kali gerbang depan dibuka oleh satpam, terdapat suara peringatan, dan lampu hijau yang menyala. Suara peringatannya akan terdengar nyaring memekakkan telinga dan lampunya akan menyala merah jika gerbang dibuka paksa. Begitu kata Nahokai, tapi selama ini aku nggak pernah mengalaminya.

"Hiu datang," kataku, baru kali ini aku merasa senang mendengar kedatangannya. Dengan sigap aku melompat dari kursi dan berlarian ke pintu depan. Aku harus cepat-cepat memberitahu mengenai pertanyaan-pertanyaan Mirah ini. Dia harus tahu kemungkinan mamanya menanam informan di rumah, meski belum difungsikan secara maksimal.

Setibanya di pintu depan, Hiu dan Nahokai tengah bergantian masuk. Sayangnya, aku nggak bisa langsung bicara karena dia sedang berbincang-bincang di telepon. Tatapan kami sempat bertemu, tapi Hiu mengangkat dagunya, menyuruhku menunggu. Jadi aku berjalan di sisi Nahokai yang mengikuti langkah-langkah lambatnya sebab diskusi telepon kali ini sepertinya serius.

"Ya suruh salah satu admin yang paham untuk masuk kantor malam ini juga buat ngurus dokumen, sisanya nyusul besok pagi. Salah satu aja, biar besok bisa gantian. Gue udah kontak shipping line-nya." Langkahnya berhenti tepat di ambang pintu kamar. "Jangan. Pakai Haris aja yang gudang kontainernya paling dekat. Besok pagi-pagi jam sepuluh bisa jalan, dia bilang bisa diatur. Barang ready semua, kan? Kalau kurang, ambil dulu yang mau kirim Surabaya besok Selasa. Lemburin produksi besok, biar Surabaya nggak perlu mundur. Utamain yang malam ini dulu, gue nggak mau ada yang salah urusan sama bea cukai"—jeda—"Gue di rumah, capek. Kalau butuh verifikasi, approval, atau apa, lewat Nahokai aja, besok fisiknya tumpuk di meja gue. Apa lagi? Bini gue udah nungguin, nih. Sama Nahokai aja."

Nahokai menangkap ponsel yang dilemparkan padanya. Tanpa diperintah dua kali, dia menjauh untuk melaksanakan tugas.

Seperginya cowok yang mirip cyborg karena nggak pernah kelihatan capek dan kulitnya selalu mulus itu, Hiu mendengus panjang, mengungkit handle pintu kamarnya sambil menggumam, "Geez I really need to get laid."

Hah? Aku cuma bisa tertegun di balik punggungnya. Mau lari ketakutan, tapi kakiku malah kaku semua. Get laid katanya? Dia kepingin ML? Hah? Hah? Hah? Aduh, gimana kalau aku dijadiin objek pelampiasan?

Sebelum aku berhasil cabut, dia terkejut melihatku saat akan menutup pintu. "Eh, lho, kamu masih di sini? Kamu ngapain, sih, Oneng? Ngapain ngikutin melulu?"

"Bb—bener, nih, nggak jadi, Kak?"

Hamdalah, aku bakal tetep hidup sampe besok pagi kalau gitu.

Hiu memeriksaku dari ujung rambut ke ujung kaki, terheran-heran. "Serius nih mau mijitin? Kirain mau ngapain semangat banget ngintilin orang," katanya, alisnya yang tebel banget kayak Shinchan tapi bentuknya mirip lambang PLN naik turun menggoda. Idih, padahal aku mah semangat-semangat gini karena mau ngadu soal Mirah. Nyebelin banget.

Bodo ah, aku ngambil ancang-ancang untuk kabur. Tapi, Hiu bisa membaca gerak-gerikku, dan lebih cepat mencekal tanganku, "Eee-eh ..., okay, okay, maaf. Jadi aja mijitinnya, please," pelasnya. "Please, I really need you right now. Be a good wife just for tonight."

Pipi hingga kedua daun telingaku terasa panas.

Be a good wife? Apa maksudnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro