014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jalan M.H Thamrin masih padat dengan kendaraan yang saling adu cepat. Trotoar menuju Halte TransJakarta Bundaran HI juga ramai dengan orang yang berlalu lalang menyeberang ke arah tujuan masing-masing. Rasa-rasanya, kota ini sibuk sekali menjelang rush hour. Semua orang melangkah terburu-buru, berkendara dengan laju cepat. Mungkin mereka takut bus keburu penuh dengan orang pulang kantor, atau takut dalam dua kilometer ke depan, mereka harus sudah bermacet-macet ria karena orang kantor sebentar lagi akan keluar bersama jas-jas kebanggaan mereka itu.

Shana sendiri masih duduk di kursi yang sama. Sebuah kursi panjang berlapis keramik putih. Letaknya berada tepat di depan bangunan megah Plaza Indonesia, di belakang zebra cross menuju halte TransJakarta Bundaran HI. Bagian kanan kirinya ada batu alam dan tumbuhan yang merambat di sepanjang gerbang depan Plaza Indonesia. Terhitung sudah dua jam Shana duduk di tempat yang sama dengan beberapa orang lain yang jelas tidak dikenalnya. Shana duduk paling pinggir kiri, bersandar pada batu alam di sebelahnya, memangku clutch Chanel hitamnya dan menggenggamnya erat-erat.

AirPods yang bertengger di telinganya sedari tadi masih memutar musik-musik dari playlist miliknya sendiri. Volumenya maksimal, sampai Shana bahkan hampir tidak mendengar ingar-bingar di sekitarnya. Tatapannya kosong, menyorot ke aspal yang dilalui entah sudah berapa ratus ban mobil dan motor, bahkan bus. Mungkin, orang-orang asing di sekitarnya diam-diam sedang khawatir dengan Shana yang murung dan diam bak patung batu. Pasalnya, ada saja orang lalu lalang yang menyempatkan diri menaruh perhatian kepadanya.

Setelah menit-menit sunyi itu, setelah orang-orang mungkin khawatir dan iba melihatnya, akhirnya mereka semua bisa agak bernapas lega kini. Seseorang dengan motor Scoopy hitam memberhentikan diri di pinggir trotoar, tepat di belakang zebra cross dan lampu lalu lintas untuk penyeberang jalan yang sedang menyala merah. Klaksonnya berbunyi berulang-ulang. Laki-laki dengan jaket kulit cokelat tua itu memandangi Shana. "Shana!"

Tapi Shana tetap diam dalam lamunannya sendiri. Satu-satunya hal yang akhirnya membuat kesadarannya kembali adalah seorang ibu paruh baya yang duduk di sebelahnya, menepuk pelan bahunya. "Mbak, itu temennya, ya?" ibu itu menunjuk laki-laki yang sejak tadi membunyikan klakson. "Ditungguin, tuh."

Tentu saja Shana bingung. Pertama, ia tidak menghubungi siapapun untuk datang menjemputnya. Kedua, ia jadi bertanya-tanya sendiri, sudah berapa lama Shana diam di sini dan bersandar seperti orang putus asa?

Shana mencari keberadaan orang yang dimaksud ibu-ibu di sebelahnya, dan ia menemukan Ares. Gegas, ia berterima kasih secara singkat pada ibu yang menyadarkannya, lalu melangkah gontai mendekat pada Ares. Laki-laki itu tetap diam di posisinya meski lampu lalu lintas sudah berubah hijau dan mobil-mobil di belakangnya sudah melaju cepat. "Kok di sini, Mas? Ngapain?"

"Kayaknya, saya yang harus nanya, kok kamu di sini? Ngapain?" Ares memerhatikan sekitar. Sepertinya Shana memang duduk di sana sendirian, dan tidak sebentar. "Mobil kamu mana?"

"Di hotel." Shana menoleh pada bangunan Hotel Indonesia Kempinski yang masih terlihat dengan jelas dari titik mereka berdiri. "Saya emang belum mau pulang. Atau mungkin, lebih tepatnya, nggak tau, sih, mau ngapain."

Ares berdengkus. Ia menunjuk jok belakang motornya dengan dagu. "Ayo jalan-jalan sama saya. Nanti saya antar lagi ke sini kalau kamu mau bawa pulang mobil kamu."

Bibir Shana membentuk lengkungan tipis. Perempuan itu menggeleng. "Nggak usah, Mas. Saya nggak apa-apa, kok."

"Kalau nggak apa-apa, pasti kamu nggak akan duduk di sana dan bengong. Sampai diklaksonin aja nggak sadar. Emangnya, pakai AirPods tuh rasanya kayak lagi di konser metal, ya? Nggak bisa denger dunia luar." Ares terkekeh dengan pernyataannya sendiri. Kini, ia menyodori helm yang menganggur di antara kedua kakinya. "Yuk!"

Shana menghela napasnya dalam-dalam. Sepertinya, berhari-hari membiarkan patah hati berkembang memang bukan ide yang bagus, meskipun, sejujurnya Shana pun lebih menginginkan kehadiran El ketimbang Ares. Sayangnya, menghadirkan El di depan matanya detik ini, mustahil sekali. Laki-laki itu sedang fokus dengan pekerjaannya di Bandung. Dalam waktu dekat, tidak mungkin El akan pulang.

"Saya nggak ngerepotin, nih, Mas?" Shana segera melindungi kepalanya dengan helm yang Ares berikan setelah melepaskan AirPods dari telinganya. Bibirnya masih mengerucut, wajahnya masih total kusut. Bayang-bayang wajah Kaisar tak kunjung pergi dari benaknya.

"Kalau kamu ngerepotin, saya nggak akan berhenti di sini, Shan." Ares mengirim senyum.

Tidak ada jawaban apapun dari Shana. Perempuan itu gegas naik ke motor. Ares memastikannya duduk dengan benar dan siap, baru motornya melaju dengan cepat membelah Jalan M.H Thamrin, ikut sibuk dengan kendaraan lain yang berbondong-bondong keluar dari parkiran bawah tanah gedung-gedung pencakar langit di sepanjang Jakarta Pusat. Baik Ares maupun Shana tidak memulakan percakapan. Sang pengendara sibuk menjaga keseimbangan motornya dan melaju dengan aman, sementara penumpangnya sibuk memperhatikan tiap meter pemandangan sehari-harinya dalam diam.

Lama sekali mereka diam. Ares membawa Shana bukan ke arah mereka pulang, tanpa persetujuan pula. Lama-lama Shana sadar, mereka sudah terlalu jauh dari kawasan kerja Shana, dan sepertinya, akan merepotkan kalau nanti mereka harus kembali untuk mengambil mobil Shana di kantor. Ditambah lagi....

"Mas, gerimis!" Shana menadahkan tangannya sambil menengadahkan kepalanya. Ia berujar penuh kejut, seolah-olah inilah momen menemukan hujan untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir. "Ini nggak apa-apa? Nanti Mas nganterin saya lagi ke kantor nggak apa-apa? Pulangnya gimana, Mas?"

Ares tersenyum. Kaca spionnya segera ia putar hingga Shana bisa balik menatapnya dari benda tersebut. "Nggak apa-apa. Malah harusnya saya yang nanya, kamu nggak apa-apa, Shan, kalau hujan?"

Anggukan pelan jadi jawaban pertama Shana. "Nggak apa-apa, sih," katanya pelan.

"Shan!"

"Iya, Mas?"

"Nggak mau cerita, nih, kamu kenapa?" Ares akhirnya memberanikan diri bertanya. "Kelihatan nggak se-happy biasanya."

Entah sudah berapa kali kalimat itu Shana temui. Sepertinya, Ares memang pemilik resminya, ada hak cipta yang tak kasatmata. Menanggapinya, Shana tersenyum, meski ia sendiri tahu senyumnya betul-betul dipaksa dan canggung total. "Nggak apa-apa, Mas. Cuma patah hati aja. Mungkin besok atau lusa udah reda."

"Karena?"

"Mantan saya mau nikah, Mas. Sebenernya, saya udah move on, sih, udah nggak pernah berharap apapun sama dia. Tapi, entah kenapa, ketika denger kabar itu, rasanya hati saya kacau banget. Hubungan saya dan dia yang dibangun tiga tahun, ternyata sia-sia. Udah setahun dia selingkuh di belakang saya.

"Dua minggu terakhir ini, dia sering check in di tempat saya kerja. Sering ketemu karena dia dateng pas saya lagi kerja. Dia sempet maksa untuk ketemu. Ternyata, dia ngasih undangan. Kacau banget rasanya, Mas. Saya bingung."

Ketika Shana menyelesaikan ceritanya, Ares memilih untuk diam sejenak. Selain matanya masih fokus ke jalan di depannya, pikirannya kini ikut kacau. Sudah jalan beberapa bulan sejak kedekatannya dengan Shana, tapi perempuan ini ternyata masih belum selesai dengan masa lalunya.

"Kenapa harus bingung?"

"Nggak tau, Mas. Saya tiba-tiba merasa linglung dan kehilangan arah. Rasanya, orang-orang yang saya sayang berlebih, akhir-akhir ini hilang satu per satu. Entah cuma perasaan saya, atau memang itu yang sebenarnya terjadi," tegas Shana.

Ares mengangguk-angguk. Ia diam lagi selama beberapa menit. Shana pun diam. Kini, cerita Shana benar-benar terputus. Ares juga tidak meemancing pembicaraan apapun lagi sehingga Shana segan untuk mengganggu fokusnya mengendarai motor.

Hari semakin malam, gerimis yang tadi turun sedikit-sedikit, mulai memperlihatkan tanda-tanda akan menyerbu dengan deras, termasuk langit yang menggelap dan awan yang mengabu. Mungkin, hujan baru akan datang nanti malam.

"Shan, kayaknya mau hujan. Kalau misalnya mobilmu ditinggal di kantor, aman, nggak?"

"Ya aman dong, Mas. Itu kan hotel. Mobil semua pengunjung juga parkir di sana dan nginep," jawab Shana. "Kenapa, Mas? Mau langsung pulang, ya?"

Ares menganggukkan kepala. "Tapi, nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, Mas."

"Kalau gitu, besok berangkat kerjanya saya jemput, ya, Shan?"

Meski harus diam untuk menimbang keputusan cukup lama, tapi Shana akhirnya mengiakan tawaran Ares dengan anggukan. Tanpa ia tahu, Ares diam-diam sedang selebrasi dalam hatinya yang berbunga-bunga.

"Udah ya, Shan, jangan sedih lagi." Ares bertutur sambil tetap menatap lurus ke depan, membuat Shana ragu laki-laki itu sedang benar-benar bicara dengannya. "Saya ada di sini. Kalau kamu mau nangis, saya akan jadi orang pertama yang ngingetin kamu untuk kembali senyum. Karena senyum kamu manis, Shan."

Tanpa Shana sadar, bibirnya membentuk lengkungan kecil. Namun, bukannya merasa senang mendengar ketenangan yang Ares angsurkan, Shana justru kini merasa bersalah. "Mas, maaf ya."

"Eh, kenapa?"

"Maaf karena udah ngebiarin Mas masuk ke hidup saya, padahal saya belum bisa damai sama hati saya sendiri." Atau mungkin, bahkan tidak akan pernah bisa damai dengan hatinya sendiri. Sebab, selain masih ada Kaisar di hatinya, Shana rasa, sampai kapan pun ia akan tetap menyimpan nama El di dalam hatinya, sadar ataupun tidak.

Shana tidak melihat senyum Ares. Tapi, laki-laki itu benar tersenyum seiring motornya berbelok ke Jalan Metro Pondok Indah, semakin dekat menuju kediaman orang tua Shana. "Nggak apa-apa. Semua orang bisa tiba-tiba kambuh patah hatinya, makanya kita butuh tujuan akhir, Shana. Saya dulu juga belum berdamai, tapi sekarang, ketika saya pengin kamu jadi tujuan saya, saya jadi malu setiap sedih karena masa lalu saya. Pada akhirnya, pikiran dan fokus saya kembali ke kamu."

Jauh di luar dugaan Shana. Ini benar-benar bukan jawaban yang Shana harapkan. Bahkan, sejujurnya, Shana harap Ares tidak pernah mengharapkan apapun padanya. Malam itu, rasa syukur langsung mengerubung ketika akhirnya mereka tiba di rumah Shana. Perempuan itu segera turun dari motor dan mengembalikan helm kepada pemiliknya. "Makasih ya, Mas. Mau mampir dulu, nggak? Takutnya hujan di jalan."

Seraya menerima helm yang Shana sodorkan, Ares menggeleng dan melukis senyum paling lebar yang ia mampu. "Nggak usah, Shana. Kalau hujan juga nggak apa-apa, saya bisa napas pakai insang."

Lelucon garing itu Shana sambut dengan tawa. Pertemuan mereka usai di sana. Ares segera pamit sebelum hujan benar-benar turun deras. Shana gegas masuk, menyambar kasurnya dan mengistirahatkan dirinya sendiri di tengah kamar besar yang lampunya tidak ia nyalakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro