015

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Pagi, anak Papa." Sapaan itu terdengar dari arah meja makan, diiringi suara sendok dan garpu yang saling adu, dilengkapi pula dengan senyum semringah ayah sambungnya. Ya, pria yang sudah rapi dengan kemeja biru langit dan jas hitam itu sedang menyantap sarapannya di meja makan ketika Shana berjalan turun dengan langkah lambat dan nyawa yang belum kumpul sepenuhnya. "Mobilmu ke mana?"

Yang mendapatkan pertanyaan mendekat ke meja makan, ikut duduk di sana meski rambut dan bajunya masih lusuh. "Di kantor, Pap. Semalem pulang sama temen." tangannya meraih roti tawar yang tersedia di atas meja beserta dengan selainya. Kepalanya celingukan, mencari sosok yang lazimnya ada di sini. "Mami nggak pulang ya, Pap?"

Ayahnya hanya menggeleng sambil tetap menikmati nasi goreng buatan Mbak Piya, salah satu asisten rumah tangga di rumahnya. "Kamu masuk jam berapa hari ini?" Dan selalu, Shana mendapati ayahnya lebih memilih untuk mengalihkan topik ketimbang harus membahas ibunya. "Mau bareng?"

"Nggak usah. Nanti Shana dijemput kok, Pap."

"Atau minta antar dengan Mang Iman, biar Papa bawa mobil lain aja ke kantor. Kamu dianter, supaya nanti pulang bawa mobilmu itu." Ayahnya tak kehabisan ide memanjakan anak dari istrinya, yang lagi-lagi, Shana menolak halus dengan gelengan. "Bener, ya, kamu aman berangkatnya? Udah pasti temenmu jemput?"

Shana mengangguk mantap sambil terus mengoleskan selai kacang ke lembaran rotinya. "Iya, Pap. Aman!"

Obrolan mereka berhenti di sana. Ayahnya selesai makan duluan, dan segera pamit untuk berangkat. Shana menyambut kepergiannya dengan hangat, menyaksikan langkahnya meninggalkan ruang makan bersama sepatu pantofel hitam yang derapnya terdengar gagah. Pria itu memang selalu gagah, sih, di mata Shana.

Miko namanya. Pria keturunan Indonesia Jepang dengan wajah awet mudanya. Bahkan, di usianya yang sudah menginjak angka 45 itu masih kelihatan seperti bapak-bapak berusia sepuluh tahun lebih muda. Matanya yang cokelat itu sipit dan tajam, jernih pula. Kulitnya putih, rambutnya kemerahan dan selalu klimis, tingginya jauh di atas rata-rata tinggi bapak-bapak pada umumnya. Badannya kokoh dan terawat karena rutin berolahraga. Benar-benar seperti prince charming yang ada di dongeng-dongeng, hanya saja, versi sudah berumur.

Di balik kesempurnaan fisiknya, Shana pun mendapati kesempurnaan di dalam hatinya. Beliau selalu memanjakan orang-orang yang disayangnya, punya stok sabar yang tidak bisa habis, murah senyum, dan royal. Kelebihan utama yang Shana sukai dari ayah angkatnya adalah ia tipe pria yang setia. Tapi kekurangan yang paling Shana benci darinya adalah, ia pria yang sangat setia. Shana sampai heran setengah mati kenapa pria sesempurna itu diciptakan Tuhan untuk mendampingi ibunya. Dengan segala kesempurnaan yang Tuhan titipkan padanya, Shana pun yakin, ayahnya bisa memikat perempuan manapun. Ya, itu artinya, termasuk ibunya, meskipun usia ayah sambungnya empat tahun lebih muda dari wanita itu.

Kadang-kadang, termasuk seperti sekarang ini, Shana sering sekali menyayangkan hubungan yang terjalin antara ibu dan ayah sambungnya. Tapi toh semua ini terjadi juga atas kehendak Tuhan, dan di luar kendali Shana. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam-diam mendoakan pria itu segera sadar atas kebodohannya sendiri mempertahankan pernikahannya.

"Dih, apaan sih gue." Shana segera tersadar dari lamunannya sendiri. Roti di tangannya masih tersisa setengah. Ia putuskan untuk angkat kaki dari meja makan dan segera menghabiskan sisa sarapannya sambil melangkah menuju kamar mandi. Ares sudah konfirmasi akan menjemputnya pukul enam, dan itu artinya Shana hanya punya waktu empat puluh menit untuk siap-siap sebelum laki-laki itu tiba di depan pagar megah rumahnya. Ralat, rumah Miko, ayahnya.

+ + +

"Kata anak-anak yang sif malem, mobil lo masih ada di parkiran sampai pagi ini. Lo ngapain nginep di kantor?" Alin menjatuhkan pouch make up-nya ke atas meja, membuat Shana yang sudah lebih dulu tiba mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya yang memperlihatkan pesan-pesan balasan dari Ares. Seketika, senyum semringah luruh dari wajahnya. "Cie, elah! Masih pagi udah senyam-senyum, chatting-an sama siapa, lo?"

Sadar Alin mencuri pandang ke layar ponselnya, Shana buru-buru membalikkan benda tipis tersebut. Ia memelotot. "Heh, ini kantor, ya, bukan tongkrongan!"

"Gue juga nggak bilang ini tongkrongan, lagi," sanggah Alin. Perempuan itu segera duduk di sebelah Shana, membuka pouch yang dijinjingnya. Cermin kecil lekas ia keluarkan dari dalamnya, beserta dengan blush on berwarna peach. "Berangkat naik apa lo tadi pagi? Kan, mobil lo di sini."

"Aduh, lo tuh sengaja ya, biar bisa ceng-cengin gue." Shana melirik, membuat matanya yang sudah tajam itu jadi memperkuat kesan galak di wajahnya. "Gue dijemput sama Ares tadi. Panjang deh ceritanya. Ribet kalau dijelasin."

Alin tersenyum lebar, dan Shana bisa melihatnya dari pantulan di cermin. "Keliatannya sih, ada yang udah mau move on dari Kaisar, ya."

"Lin!" Shana memelototkan matanya lagi.

Alin hanya tertawa sambil meneruskan kesibukannya merias wajah. Percakapan mereka berhenti di sana dalam hitungan detik. Shana kembali menekuri ponselnya selama lobi hotel masih sepi. Pikirannya mendadak dipenuhi nama Ares.

Satu pertanyaan timbul di dalam benaknya: kalau Ares saja bisa buka hati untuknya semudah membolak-balikkan telapak tangan, kira-kira kapan Shana akan membukakan hatinya sendiri untuk Ares?

"Lin, I don't think I'm ready, deh." Shana menaruh ponselnya dalam keadaan terbalik, memperlihatkan dengan jelas logo Apple yang dicetak mengilap pada pelindung ponselnya yang berwarna kuning. "Setiap kali gue nerima kehadiran Ares, gue selalu merasa bersalah sama El."

Alin menutup kegiatan merias wajahnya dengan menyemprotkan setting spray ke seluruh wajahnya. Dengan kedua tangannya, perempuan itu mengipas-ngipaskan wajahnya yang masih basah. "Lin, dengerin gue ih. Lo ngapain malah dandan di sini, sih."

"Sabar, sabar. Gue kan harus memastikan muka gue cantik maksimal. Siapa tau, gue bakal ketemu mantan gue di sini, kayak lo ketemu Kaisar," balas Alin, yang lagi-lagi, akhirnya mendapatkan pelototan galak dari Shana. Alin tidak menghiraukannya, tentu saja. Perempuan itu tetap memprioritaskan wajahnya sendiri hingga butiran-butiran air di wajahnya mengering, baru Alin menoleh kepada Shana. "Maksudnya merasa bersalah sama El tuh gimana?"

"Ya ...." Shana mengistirahatkan badannya ke punggung kursi. "Kan, dari awal tuh El kayak nggak suka gitu ya, Lin, sama Ares. Jadi, gue merasa bersalah aja, gitu, kalau nggak ikutin omongannya."

Alin berputar sembilan puluh derajat, kini menghadap kepada Shana yang masih memandang lurus ke depan. "Shan, dia bahkan bukan pacar lo, hei. Kita udah berapa tahun kerja bareng, lo sering cerita si El El ini tuh nggak suka ini itu. Bahkan, dia pernah, kan, nyuruh lo putus sama Kaisar?"

"Tapi pada akhirnya emang putus juga, kan? Dia bisa liat duluan kalau Kaisar itu red flag. Gue nyesel banget tau, Lin, nggak dengerin dari dulu. Kalau gitu, kan gue nggak usah sampai bertahun-tahun begini sama Kaisar dan ujungnya malah susah move on." Shana membela sahabatnya. "Kayaknya, emang bener deh, Lin, kita tuh harus ikutin kata sahabat, bukan kata hati."

Alin mengibas-ngibaskan tangannya sambil menggeleng. Segera, perempuan itu berpaling dari Shana. "Aduh, Shan. Kalau kayak gitu caranya, kapan lo bahagianya, cuma ikutin kata orang? Emangnya, dia Bapak lo?"

"Nyokap gue sukanya berondong, nih. Nggak menutup kemungkinan, dong," jawab Shana sambil tertawa. Alin ikut tertawa, sudah memaklumi Shana yang sering bercanda mengenai perceraian kedua orang tuanya, dan kepergian ayah kandungnya yang entah kini ada di mana bersama abangnya, Shandy.

+ + +

"Saya mau dekorasi di fotonya tema-tema boho chic gitu sih, Kang, biar sama kayak dekorasi di kafe, gitu." El membawa dua gelas minuman beserta dengan satu piring kentang goreng yang sudah ia tata sedemikian rupa untuk konten di akun Instagram kafenya yang baru menetas tiga hari silam. Sampai hari ini, baru ada tiga pos bertuliskan coming soon yang El unggah dua hari lalu. Selain itu, El dan Ben juga belum merekrut siapapun untuk memegang kendali sebagai admin dan desainer grafis untuk konten media sosial.

Kang Adris, sang fotografer, mengangguk paham atas arahan El. "Iya, aman itu. Besok ya, A, saya foto produknya di studio. Kalau sekarang kan, foto ambience kafenya dulu, ya, semalam kita sepakatnya."

"Iya, Kang. Jadi besok saya tinggal kirim aja ya, Kang, ke studio. Saya terima beres, deh, pokoknya. Saya percaya pokoknya sama Akang." El menepuk-nepuk bahu Kang Adris sambil menyungging senyum lebar di wajahnya. "Ini sekarang saya tinggal dulu aman, Kang? Saya mau ke Lembang dulu."

Acungan jempol dari tangan Kang Adris jadi jawaban yang menjamin untuk El. Laki-laki dengan rambut ikal itu segera meninggalkan Kang Adris dan pekerjaannya di pojok ruangan. El segera melenggang ke belakang untuk melepaskan celemek dan mengambil jaketnya.

"Kang, saya ke Lembang dulu, ya. Tadi pemborong nelepon, harus ada yang saya cek di sana," pamit El pada salah satu barista di kafenya. "Titip. Nanti saya balik sorean. Jam lima, mungkin."

"Siap."

El merapatkan ritsleting jaketnya segera. Kunci mobil sudah ada di tangannya. Kakinya yang terbalut sepatu kets hitam mulai melangkah, meninggalkan kafe yang masih sepi. Sambil memanaskan mesin mobil, laki-laki itu menelepon Ben di Jakarta, bertanya mengenai perkembangan kafenya yang sedang Ben perhatikan di Bekasi dan Bogor.

Pembicaraan seriusnya dengan Ben menemani sepanjang jalan El menuju Lembang meski hanya sebentar. Tidak sampai setengah jam, tapi pembicaraannya cukup padat. Baik El maupun Ben punya laporannya masing-masing. Mengenai perkembangan pembangunan di Lembang yang sedang El pantau, tanggal pembukaan kafe cabang Bogor dan Bekasi yang sedang Ben atur, pun proyek mengaktifkan media sosial untuk bisnis mereka.

"El, istri gue punya kenalan desainer grafis sama admin sosmed. Sepaket, nih. Mereka pacaran, sih. Gue rasa sih sabi untuk pegang akun Kahwa sekaligus ngatur konten. Itu pun kalau lo belum ada calon, sih," tutur Ben.

"Boleh. Gue baru aja kepikiran buat nyari orang. Kalau lo udah nemu dan emang dia kompeten, kenapa nggak?"

"Sip!" Ben antusias. "Nanti gue yang kontak, deh."

El mengangguk tanda setuju, seolah-olah Ben bisa melihatnya. Tak lama, sambungan telepon mereka terputus. El sedikit lagi tiba di lokasi kafenya, Jalan Dr. Setiabudi, Lembang, Bandung.

+

an: nggak kerasa udah bab 15 aja dong. hampir setengah perjalanan menuju ending. ahahaha. #TimAres atau #TimEl?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro