🐊26🐊 Ingin Pergi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gania masuk ke kamarnya dan melihat Ghanu sedang tidur di samping Wilder. Mereka berdua tampak sangat akrab, mungkin mereka tidak akan masalah kalau nanti ia pergi. Wilder saja seperti tidak menyukainya padahal ia adalah orang yang melahirkannya.

Gania berjalan mendekat, duduk di pinggir kasur, lalu menepuk pundak Ghanu dengan keras hingga laki-laki itu terlonjak kaget. Ghanu duduk dengan memasang wajah yang tampak sangat mengantuk. “Kenapa, Gania?” tanya Ghanu sambil mengusap-usap matanya.

“Mau hadiah?” tanya Gania. Dahi Ghanu berkerut, ia merasa bingung karena tiba-tiba Gania bersikap biasa lagi. Ia pun hanya bisa mengangguk saja. “Ayo sini,” ajak Gania dengan nada lembut sambil menyunggingkan senyum tipisnya.

Ghanu pun turun dari kasur dan mengikuti ke mana Gania pergi. Gania menuju ke sebuah ruangan yang letaknya paling ujung. Ruangan itu sudah lama sekali tidak terpakai. Kenapa Gania masuk ke ruangan itu?

“Buruan,” kata Gania yang sudah ada di dalam. Ghanu pun masuk ke ruangan yang masih gelap itu. Tak lama kemudian, Gania menyalakan lampu sehingga ia bisa melihat isi ruangan itu. Betapa terkejutnya Ghanu melihat semua yang ada di sana.

“Kamu ngapain beli mainan sampai ruangan ini penuh? Untuk apa, Gania?” tanya Ghanu yang sibuk menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan. Namun, Gania tidak menyahut. Yang ada hanya suara pintu tertutup yang membuat Ghanu langsung menoleh.

Gania keluar dari ruangan itu dan menutup pintu tanpa mengatakannya terlebih dahulu pada Ghanu. Sontak Ghanu jadi panik dan langsung menarik gagang pintu. Namun, sayangnya pintu itu terkunci. Gania sengaja menguncinya di dalam ruangan itu.

“Gania! Gania, buka pintunya! Gania! Kamu jangan kunciin aku!” teriak Ghanu sambil menggedor-gedor pintu. Ia terus berteriak-teriak seperti orang kesetanan, tetapi Gania tidak kunjung membuka pintu. Ghanu mengacak rambut kecoklatannya karena frustrasi. Ia kesal sekali karena dikunci di dalam ruangan yang penuh dengan mainan anak-anak itu.

“Sayang, kamu main dulu ya. Aku udah beliin kamu mainan yang banyak biar kamu enggak mainin hati orang lagi,” ucap Gania yang ternyata masih ada di sana. Gania menunggu waktu untuk berbicara karena sedari tadi Ghanu berteriak-teriak tidak jelas.

“Gania! Kamu jangan gila! Ngapain aku harus main mainan anak-anak gini? Gania, buka pintunya!” teriak Ghanu sambil menggedor-gedor pintu lagi. Gania tersenyum sekilas, lalu kembali memasang wajah datar.

“Mama enggak bakal denger suara kamu, Ghanu. Kamu main aja di dalem. Kasihan 'kan waktu kecil kamu enggak pernah dibeliin mainan, makanya pas gede mainin hati orang. Nah, karena itu aku beliin kamu mainan. Awalnya aku mau beliin Wilder, tapi Wilder belum bisa main. Jadi, kamu main aja dulu. Masa anak-anak itu kira-kira sepuluh tahun, jadi—”

“Kamu mau ngunciin aku selama sepuluh tahun di sini, Gania? Kamu jangan gila! Keluarin aku sekarang! Gania, please forgive me! Aku bakalan lakuin semua yang kamu mau!” sela Ghanu. Membayangkan ia dikunci selama itu saja sudah membuatnya ngeri, apalagi jika benar-benar terjadi. Mana sanggup ia berada di ruangan itu tanpa ditemani perempuan.

“Enggak sepuluh tahun, Ghanu. Mungkin sepuluh hari, eh kasihan juga, sepuluh jam aja. Selamat bermain,” jelas Gania sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Ghanu. Semakin jauh Gania pergi, semakin kecil pula suara Ghanu terdengar. Ia yakin kalau tidak akan ada yang mendengar suara Ghanu karena Urela sangat jarang berada di dekat ruangan itu.

🐊🐊🐊

“Gania! Gania!” teriak Urela yang berjalan tergesa-gesa menghampiri Gania yang ada di kolam renang. Gania sedang bersantai di kolam sambil mencelupkan sebagian kakinya. “Gania! Kamu itu kalau dipanggil itu nyahut dong!”

“Iya,” sahut Gania singkat. Ia masih menatap kakinya yang bergerak-gerak di dalam air tanpa berniat menoleh ke arah mertuanya.

“Kamu dapet uang dari mana buat beli mainan sebanyak itu?” tanya Urela sambil berkacak pinggang. Ia merasa sangat jengkel karena menantunya itu bersikap tidak sopan padanya.

“Mama perlu tahu?” tanya Gania balik. Kini ia menoleh untuk melihat bagaimana ekspresi wajah mertuanya itu. Ia bisa melihat kalau Urela tampak sangat marah dan sepertinya akan segera meledak-ledak.

“Perhiasan Mama hilang! Kamu 'kan yang ngambil buat beli semua mainan itu? Ngaku kamu!” bentak Urela dengan wajah yang merah padam.

Gania mengangkat alisnya sebelah. Urela telah menuduhnya tanpa bukti sehingga membuat harga dirinya terluka. Ia tidak serendah itu untuk mencuri barang orang karena ia juga punya banyak uang. “Ada bukti?” tanya Gania sambil berdiri menghadap Urela.

“Siapa lagi orang asing di rumah ini? Enggak mungkin Ghanu yang ngambil! Terus siapa selain kamu? Hah!” bentak Urela lagi. 

“Jika mau menuduh, maka harus ada bukti. Penjahat enggak akan masuk penjara kalau polisi enggak menemukan bukti,” tukas Gania sambil menyunggingkan senyum tipisnya. Jujur saja ia kesal karena dituduh mencuri. Ia merasa terhina.

“Terus siapa lagi, Gania? Hanya kamu orang asing di rumah ini!” teriak Urela dengan nada lantang. Sudah dua kali Urela mengatakan Gania orang asing. Gania itu istri Ghanu dan sudah menjadi bagian keluarga mereka. Bagaimana mungkin Urela menyebutnya sebagai orang asing? Lalu, untuk apa Gania bertahan di rumah itu kalau ia tidak dianggap keluarga?

“Orang asing? Aku orang asing, Ma? Aku ini istrinya Ghanu. Aku juga bagian dari keluarga ini,” tekan Gania sambil menatap Urela dengan tatapan tajam.

Urela mengepalkan tangannya marah. “Kamu itu enggak punya sopan santun ya! Dasar perempuan enggak tahu diri! Berani banget kamu bersikap seperti itu di depan ibu mertua kamu!” bentak Urela.

Sedetik kemudian sebuah tamparan melayang mengenai pipi Gania. Gania yang tidak siap pun tiba-tiba terjengkang ke belakang sehingga ia jatuh ke kolam. “Gania!” teriak Urela yang tampak panik karena Gania terjatuh. Terlebih lagi Gania tidak juga muncul ke permukaan padahal kolam renang itu cukup dangkal.

“Ini waktunya pergi. Ghanu mungkin menderita dengan kepergian aku, sebab mamanya sendiri yang terlibat dalam kematian aku. Mungkin nanti wanita itu bakal masuk penjara,” batin Gania sambil tersenyum di dalam air. Ia tetap tidak bergerak dan memejamkan matanya. Ia sudah sangat siap untuk pergi.

“Oh my God! Gania! Kenapa kamu enggak bisa naik ke permukaan sih? Ghanu! My son, where are you? Ghanu!” teriak Urela. Ia benar-benar panik karena Gania masih di dalam air. Ia ingin menolong, tetapi ia juga tidak bisa berenang.

Dalam secepat kilat, seseorang langsung meloncat ke kolam renang untuk menyelamatkan Gania. Dia adalah Agalanka. Cowok itu sudah menyaksikan semuanya dari jauh. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan perlakuan yang Gania terima dari ibu mertuanya sendiri.

Tak lama kemudian, Agalanka berhasil membawa Gania ke permukaan dan menidurkannya di pinggir kolam renang. Gania tidak pingsan, ia malah sedang mengepalkan tangannya karena rencananya untuk pergi digagalkan oleh Agalanka.

“Oh my God, Gania! Kamu kenapa bisa sampai tenggelam begitu sih?” tanya Urela sambil melirik Agalanka. Ia tidak ingin ada orang yang mengetahui kalau ia yang membuat Gania terjatuh. Padahal semuanya percuma, Agalanka sudah tahu.

“Kamu enggak papa?” tanya Agalanka sambil membantu Gania bangun. Sementara Gania hanya memutar bola matanya jengah. Ia bukannya tidak tahu terima kasih, tetapi ia kesal karena rencananya gagal. Jika ada yang bilang bunuh diri itu dosa, hei, Gania bukan ingin bunuh diri, tetapi ia didorong oleh Urela yang artinya Urela yang membunuhnya.

“Kamu siapa?” tanya Urela pada Agalanka. Ia baru sadar kalau ia tidak mengetahui cowok yang sudah menolong Gania itu.

“Kelakuan anak sama mamanya sama aja, sama-sama enggak punya hati. Tante mau bunuh Gania karena enggak suka sama dia? Tante gila?” ketus Agalanka sambil menatap Urela dengan sinis.

“Kamu jangan kurang ajar ya! Siapa sih kamu? Anak siapa? Gini cara orang tua kamu mendidik kamu? Kalian berdua juga sama aja, enggak punya sopan santun!” balas Urela. Wanita itu pun pergi meninggalkan Agalanka bersama Gania di pinggir kolam.

“Harusnya lo biarin gue mati,” lirih Gania.

“Gania, jangan ngomong kayak gitu. Lo ada masalah? Disakitin lagi? Cerita sama gue. Jangan dipendem sendiri,” kata Agalanka.

“Semuanya enggak sama gue, termasuk anak gue sendiri. Gue enggak tahu apa yang bikin dia selalu nangis kalau gue gendong. Dia masih kecil, tapi dia udah bisa memilih mau sama siapa. Rasanya sakit banget, Gal, anak sendiri enggak mau deket sama gue. Salah gue apa? Ini bahkan lebih sakit daripada diselingkuhin sama Ghanu,” tutur Gania yang kini sudah berlinang air mata. Ia benar-benar sakit hati karena ia tidak bisa berdekatan dengan Wilder dalam waktu yang lama.

“Sekarang lo mau gimana, Gania?” tanya Agalanka.

“Gue harus apa, Gal? Rasanya gue enggak sanggup lagi bertahan di rumah ini,” lirih Gania.

“Pergi. Pergi ke manapun yang lo mau. Kejar kebahagiaan lo. Itu saran gue. Maaf kalau gue kayak pengin rumah tangga lo hancur, tapi gue pikir itu yang terbaik buat lo,” ujar Agalanka. Ini bukan sepenuhnya karena ia ingin memiliki Gania, tetapi ia tidak ingin kalau Gania terikat dengan Ghanu yang menyebabkan perempuan itu terus mengalami sakit yang bertubi-tubi. Agalanka kasihan dengan Gania dan juga ia ikut merasa sakit hati setiap ia melihat air mata Gania yang menetes.

“Ya, pergi. Sebenarnya selama ini gue ngapain? Ghanu enggak cinta sama gue. Anak gue sendiri juga enggak suka deket-deket sama gue. Terus gue harus bertahan? Enggak, gue enggak mau jadi orang bodoh,” kata Gania sambil tersenyum. Ia mengusap air matanya hingga hanya tersisa mata yang sembab saja.

Berbeda dengan apa yang Gania katakan, hatinya justru ingin tetap tinggal. Logika dan perasaan selalu bertentangan yang membuat Gania menjadi kebingungan. Memakai perasaan hanya akan membuatnya terlihat bodoh. Namun, jika ia memakai logika, perasaannya akan terluka. Gania tahu, ia tidak seharusnya berniat pergi karena perceraian itu tidak baik, tetapi keadaan yang memaksanya untuk segera melakukan hal yang tidak baik itu.

“Kenapa lo baik sama gue, Gal?” tanya Gania.

“Jawabannya simpel, karena gue mau berjuang dapetin cinta gue yang dulu enggak sempet gue raih,” jawab Agalanka sambil tersenyum tipis.

“Maksud lo?” tanya Gania. Ia bukannya tidak mengerti, hanya saja ia tidak ingin salah paham, makanya ia ingin penjelasan lebih detail.

“Gue cinta sama lo, jauh sebelum lo nikah sama Ghanu. Mungkin itu pas lo baru pertama jadi mahasiswi,” kata Agalanka. Ia menatap Gania yang tampak sangat terkejut mendengar semua pengakuan Agalanka. Ia baru tahu kalau Agalanka sudah menyukainya selama itu.

“Gila, ini semua gara-gara lo. Gue dulu pernah naksir lo, cuma ya gue tahu diri aja dan akhirnya gue bunuh perasaan gue ke lo. Coba aja kalau gue deket sama lo dari dulu, gue enggak bakal nikah sama cowok berengsek itu,” ujar Gania sambil terkekeh garing. Ia menyalahkan Agalanka dengan maksud bercanda, tetapi Agalanka tampak menanggapi serius apa yang ia bilang.

“Maaf, pengecutnya gue itu bikin lo menderita,” cicit Agalanka yang kini sedang menunduk.

“Gal, gue bercanda, Gal. Bukan salah lo kok, ya elah. Semuanya salah gue. Coba aja dulu gue enggak bully orang dan berakhir di DO, gue enggak bakalan tinggal di kos-kosan, gue enggak bakalan ngelakuin dosa itu sama Ghanu. Udah jalannya begini, Gal, enggak ada hubungannya sama lo,” jelas Gania.

“Ya, takdir emang sejahat itu. Tapi gue seneng, ternyata lo pernah naksir gue. Mungkin enggak sulit buat lo naksir gue lagi,” ucap Agalanka. Ia tersenyum tipis sambil menyelipkan rambut Gania di belakang telinga hingga wajah cantik Gania tidak tertutupi rambut lagi. “Lo cantik.”

“Gue makin jelek dari sebelum gue nikah, 'kan?” tanya Gania.

“Enggak, lo tetep cantik di mata gue. Siapa yang bilang lo jelek? Sinting kali tuh orang,” kata Agalanka.

“Ghanu. Dia bahkan bilang gue mirip babi karena badan gue bengkak,” batin Gania sambil tersenyum miris. “Gue merasa makin jelek aja gitu, kayak orang enggak kerawat,” cicit Gania pelan

“Istri itu biasanya makin jarang merawat diri karena dia punya tugas untuk merawat keluarga. Pelakor itu paling pintar ngerawat diri karena tugasnya cuma jual diri. Jadi lo enggak perlu minder. Harga diri lo lebih tinggi dari pelakor yang enggak punya harga diri,” tutur Agalanka untuk menghibur Gania. Ia berhasil, buktinya sekarang Gania sampai tertawa terbahak-bahak setelah mendengar penuturannya.

“Lo ngatain adik lo sendiri?” tanya Gania di sela-sela tawanya.

Agalanka langsung sadar kalau kata-kata itu secara tidak langsung ia tujukan untuk adiknya sendiri karena adiknya adalah pelakor juga. “Kakak biadab gue,” desis Agalanka sambil menjambak rambut basahnya. Ia benar-benar bingung harus dengan cara apa ia menghentikan Meidy berhubungan dengan Ghanu.

“Ya udah, lo pulang sana. Nanti masuk angin lagi pake baju basah,” usir Gania yang tawanya sudah mereda.

“Oke deh, padahal tadi gue mau ngelihat anak lo, tapi karena gue basah, ya gue pulang dulu,” pamit Agalanka sambil melambaikan tangannya. Gania hanya mengangguk sambil tersenyum lebar.

🐊🐊🐊

Udah ini panjang banget😭
2000 kata
Panjang kan?😂

🐊🐊🐊

Jumat, 5 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro