🐊38🐊 Hancur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ghanu berjalan tergesa-gesa menuju rumah sakit yang dikatakan oleh penelepon tadi. Ia menguatkan dirinya untuk melihat siapa sebenarnya orang yang kecelakaan itu. Dalam hati ia berdoa agar penelepon itu keliru dalam memberikan informasi. Semoga saja salah.

Ghanu sudah bertemu dengan polisi yang menangani kasus itu dan ia bertanya mengenai orang yang kecelakaan itu. Polisi itu memberikan Ghanu informasi lebih lengkap, bahwa sepasang suami istri itu mengendarai mobil hitam dengan plat nomor yang sama dengan milik orang tuanya. Namun, Ghanu masih berusaha berpikir kalau barang-barang milik orang tuanya dicuri.

Sesampainya Ghanu di depan sebuah ruangan yang ditunjukkan oleh petugas, Ghanu pun berhenti. Ia ragu untuk masuk ke ruangan itu, tetapi ia juga harus memastikan semuanya. Setelah berpikir cukup lama, Ghanu pun akhirnya melangkah masuk.

"Kalian orang yang nyuri barang orang tua saya, 'kan?" tanya Ghanu sambil menatap kedua mayat yang ditutupi oleh kain putih itu. Ia tahu seharusnya ia tidak melontarkan pertanyaan yang tidak akan pernah dijawab oleh orang yang sudah meninggal.

"Orang tua saya di mana?" tanya Ghanu lagi. Seluruh tubuhnya gemetar hebat akibat semua pemikiran buruk yang muncul di otaknya. Ia takut kalau ternyata orang tuanya benar-benar sudah tiada. Ia tidak ingin menerima kenyataan itu.

Tangan Ghanu yang gemetar terulur untuk meraih kain putih itu. Ia harus mengetahui mayat siapa yang terbaring di sana. Ia ingin memastikan bahwa mereka bukanlah orang tua Ghanu.

Setelah Ghanu membuka kain putih yang menutupi dua mayat itu, tubuh Ghanu tambah gemetar. Ia sampai tidak bisa menahan tubuhnya yang langsung melemas karena melihat kedua orang tuanya terbaring di sana.

"Dad, why are you here? Katanya ... katanya Dad mau pulang. Kenapa? Kenapa Dad di sini? Ayo marahin aku, Dad. Give me a harsh punishment," lirih Ghanu dengan air mata yang sudah mengalir deras. Ia berlutut sambil menatap George, lalu ia beralih menatap Urela yang terbaring di samping George.

"Mom, wake up. Ayo kita pulang," suruh Ghanu sambil menggenggam tangan Urela yang sudah dingin. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Napasnya sudah tidak beraturan, bibirnya kelu saat ia ingin berbicara banyak. Ia tidak tahu harus apa sekarang. Orang tuanya benar-benar pergi meninggalkannya.

"Dad, jangan pergi dengan rasa marah. Aku tahu Dad masih marah sama aku. Aku belum minta maaf. Tolong ... tolong kembali. Jangan tinggalin aku. Aku janji bakal jadi orang yang lebih baik. Aku janji enggak bakal mengulang kesalahan yang udah aku lakuin. Please, come back to me," lirih Ghanu dengan isak tangis yang menemaninya. Ia menggenggam tangan dingin George dan menciumnya dengan lembut. "Please, don't leave me," imbuhnya.

"Tuhan, kenapa karma sekejam ini? Kenapa kesalahanku harus ditanggung oleh mereka? Ini enggak adil!" teriak Ghanu yang menggema di ruangan sunyi itu. Hanya suara Ghanu yang mengisi kekosongan ruangan yang penuh dengan kesedihan itu. Isak tangis Ghanu terdengar dengan jelas, tetapi tidak ada yang berubah karena tangisannya.

"Mom, apa ini hukuman berat yang aku terima? Tapi, kenapa aku harus kehilangan kalian? Kenapa harus hukuman ini yang aku terima? Mom, bangun. Kalian harus bangun. Aku enggak mau kehilangan siapapun. Aku sayang kalian. Please," kata Ghanu sambil menggenggam kedua tangan orang tuanya. Tangisan Ghanu semakin mengeras. Dadanya sangat sesak begitu merasakan tangan kedua orang tuanya yang sudah dingin, tanda kalau mereka benar-benar sudah tidak bernyawa lagi.

"Gue mimpi. Ini cuma mimpi. Ya, enggak mungkin mereka pergi," ucap Ghanu. Kemudian, ia menampar pipinya sendiri berulangkali, berusaha menyadarkan dirinya agar terbangun dari mimpi buruk yang sayangnya adalah kenyataan.

"Arrrggghhh!!!" teriak Ghanu yang menggema di ruangan itu. Wajahnya ia tampar terasa sakit, tubuhnya yang habis dipukul juga sakit, dan juga hatinya berdenyut nyeri. Namun, kenapa ia tidak terbangun juga dari kenyataan yang ia kira mimpi ini?

🐊🐊🐊

Ghanu menatap kosong dua gundukan tanah yang ada di sampingnya. Ia tidak menangis, air matanya sudah terkuras habis sejak ia mengetahui bahwa orang tuanya telah tiada. Keadaan Ghanu sangat kacau, ia tidak terlihat baik-baik saja.

Semua teman-teman Ghanu saat SMA dan saat kuliah melayat dan mengucapkan duka cita yang mereka rasakan. Mereka ikut sedih melihat keadaan Ghanu yang sangat memprihatikan. Hingga hampir semuanya pergi pun Ghanu masih dalam posisi yang sama. Hanya ada sahabat terdekat Ghanu yang masih di sana, yaitu Reja, Yuga, Prinsha, Jey, Varas, Nasha, dan Liza. Bahkan Deros dan Nitya datang jauh-jauh dari Bali begitu mereka mendengar kabar buruk tentang orang tua Ghanu.

"Ayo pulang, Ghan," ajak Prinsha sambil menggenggam tangan Ghanu, berusaha menyalurkan semua tenaganya untuk menguatkan laki-laki yang paling bersedih itu.

"Kalian semua pergi, ya. Gue mau sendiri," ujar Ghanu tanpa menatap teman-temannya. Ia masih menatap kosong ke depan dengan raut wajah yang tanpa ekspresi.

"Tapi-"

"Please," sela Ghanu dengan nada tegas.

Prinsha pun menatap semua teman-temannya dan memberi kode agar mereka pergi meninggalkan Ghanu. Ghanu pasti juga memerlukan waktu untuk mengeluarkan segala pikirannya tanpa dilihat oleh siapapun. Akhirnya mereka pun segera pergi setelah berpamitan pada Ghanu.

"Aku bakal buktiin kalau aku bisa berubah. Aku bakal jadi orang yang baik," ucap Ghanu sambil meremas tanah-tanah gembur yang ada di dekatnya. Matanya terasa perih kembali, seolah-olah air matanya mendesak untuk keluar. Namun, ia akan menahannya. Kata orang-orang, menangis di hari pemakaman hanya akan membuat orang yang meninggal itu akan menjadi tidak tenang.

"Tuhan, udah cukup karma yang Engkau beri, lebih dari cukup," lirih Ghanu sambil memejamkan matanya. Kemudian, ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya sambil membuka mata. Ia pun menengadah ke atas dan melihat langit yang sangat cerah, berbeda dengan suasana hatinya yang mendung.

Dari kejauhan, seorang perempuan sedang berdiri sambil menatap Ghanu yang diselimuti duka lara. Dia ... Gania. Perempuan itu menangis dalam diam sambil memerhatikan Ghanu. Ia juga ikut sedih karena Ghanu kehilangan orang tuanya.

"Bukan ini yang aku mau, Ghan. Aku pengin kamu menderita, tapi bukan kayak gini. Ini terlalu menyakitkan, lebih dari apapun," lirih Gania dengan air mata yang mengalir deras. Isakan kecil keluar dari bibir mungilnya, tetapi ia langsung membekap mulutnya sendiri agar Ghanu tidak menyadari kehadirannya.

"Aku emang sakit hati karena perbuatan bejat kamu. Kamu itu laki-laki paling berengsek yang pernah aku kenal. Aku bingung harus gimana sekarang? Ikuti kata hati? Tapi hati aku udah hancur berkeping-keping. Kepingan mana yang harus aku ikuti?" batin Gania sambil memegang dadanya dengan satu tangannya.

"Arrrggghhh!!!" Sebuah teriakan penuh kesedihan yang berasal dari Ghanu membuat tangisan Gania menjadi semakin pecah. Ghanu sepertinya tidak bisa lagi menguatkan dirinya untuk tidak menangis. Pasti dadanya sesak sejak tadi. "Tuhan enggak adil!"

"Ghanu, maafin aku karena enggak bisa dampingin kamu saat seperti ini. Aku enggak bisa," cicit Gania, lalu segera berlari pergi dari sana, meninggalkan Ghanu yang sedang meluapkan kesedihannya lewat tangisan.

🐊🐊🐊

Part selanjutnya itu penderitaannya Meidy ya🤣

🐊🐊🐊

Selasa, 16 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro