🐊39🐊 Karma Untuk Meidy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sakit, itulah yang Meidy rasakan saat ini. Beberapa hari belakangan ini ia seringkali merasakan sakit pada bagian panggulnya. Tidak hanya itu, seluruh tubuhnya juga nyeri dan lemas. Meidy tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.

Meidy kira ia seperti itu karena akan datang bulan. Namun, sampai sekarangpun ia belum datang bulan juga karena memang sebenarnya belum waktunya. Yang ada hanya pendarahan saja. Awalnya ia kira itu darah datang bulan, tetapi lama-lama ia tahu kalau dia mengalami pendarahan karena darah yang keluar jauh lebih banyak dari darah menstruasi.

Yang Meidy lakukan sehari-hari hanyalah berdiam diri di rumah, tidak mau ke luar rumah karena takut mendengar bisikan para tetangga yang akan melukai hatinya. Ia juga tidak datang ke kampus sehingga membuat kedua orang tuanya menyerah untuk membujuknya. 

Kini, Meidy tidur dengan posisi menyamping dan kedua lututnya ia tekuk. Tidak hanya kesakitan, ia juga mengalami mual-mual, seperti orang yang baru hamil. “Meidy enggak mungkin hamil lagi, 'kan?” tanya Meidy pada dirinya sendiri. Ia menangis terisak-isak karena rasa sakit yang tidak kunjung mereda.

“Meidy!” teriak mama Meidy yang bersamaan dengan ketukan pintu. “Makan dulu, Nak. Kamu jarang banget makan, badan kamu jadi kurus!”

Meidy membekap mulutnya agar suara isakannya tidak bisa didengar oleh mamanya. Ia tidak ingin mamanya jadi khawatir dengan kondisinya. Sudah cukup ia membuat mamanya menanggung beban atas apa yang sudah ia lakukan dulu.

“Meidy, kamu keluar dari kamar atau Mama bakal suruh orang buat dobrak pintu!” teriak mama Meidy lagi.

Meidy menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia berpikir kalau selama ini ia sudah banyak membuat orang tuanya menderita. Ia tidak pernah membanggakan orang tuanya sama sekali.

Apalagi Meidy sudah berbulan-bulan tidak masuk kuliah dan itu membawa pertanyaan yang besar dari seluruh mahasiswa-mahasiswi di kampus. Eza yang merupakan dosen di kampus pasti sering kali mendapat pertanyaan tentang Meidy. Meidy yakin kalau papanya itu pasti muak dengan semua gosip yang tidak mereda padahal sudah berbulan-bulan sejak kejadian itu.
 
“Meidy! Mama suruh orang buat dobrak pintu kamu!” kata mama Meidy dengan suara lantang. Lantas, wanita itu pun pergi depan kamar Meidy untuk mencari orang yang sekiranya bisa membantu. Coba saja Agalanka ada di rumah itu, pasti ia tidak susah-susah mencari orang.

“Mama, maafin Meidy,” lirih Meidy. Ia sudah banyak menyusahkan orang tuanya. Mereka juga sudah banyak bersabar karena mempunyai anak seperti Meidy. Ia … beban keluarga. Lalu, untuk apa dia masih ada di dunia ini?

“Kalau Meidy pergi, kalian enggak bakal menanggung malu lagi,” ujar Meidy. Ia meraba-raba meja yang ada di samping kasurnya dan menemukan sebuah cutter yang biasanya ia gunakan memotong buah. “Tuhan, jangan marah, ya. Meidy cuma pengin pergi aja. Meidy enggak kuat lagi hidup tanpa tujuan,” lirih Meidy sambil memegang pisau ini dengan tangan gemetarnya.

“Akh!” Pisau Meidy terjatuh ke lantai. Seluruh tubuhnya sangat sakit sehingga membuat Meidy menjadi tersiksa. Darah segar mengalir hingga kasurnya yang berwarna putih seketika menjadi berubah warna.

“Meidy!” pekik mama Meidy yang berhasil masuk ke kamar Meidy setelah menyuruh orang untuk mendobraknya. Sementara Meidy menatap mamanya dengan tatapan sendu sebelum akhirnya ia tidak sadarkan diri.

🐊🐊🐊

“Bocil, come here!” suruh seorang laki-laki sambil melambaikan tangannya pada seorang bayi yang berusia sekitar satu tahun. Bayi menggemaskan itu tertawa sambil berusaha melangkah. Ia baru saja bisa berdiri dan sekarang sedang diajari berjalan oleh sang ayah.

Good!” seru laki-laki saat anaknya bisa berjalan walaupun hanya satu langkah saja. Ia memeluk anaknya dan menggendongnya hingga bayi mungil itu tertawa kegirangan.

“Pak Ghanu tidak bekerja?” tanya Sita yang baru saja datang untuk menggantikan Ghanu mengasuh Wilder. Ghanu masih memakai pakaian santainya, karena itulah Sita bertanya seperti itu.

“Oh iya, udah jam segini,” kata Ghanu. Ia pun menyerahkan Wilder pada Sita dan buru-buru berlari untuk bersiap-siap. Ia selalu saja lupa waktu jika sudah bermain dengan Wilder.

Tak lama kemudian, Ghanu pun keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Lantas, ia mencium pipi Wilder sebelum akhirnya pergi bekerja. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi hingga akhirnya ia sampai di kantornya. Perusahaan itu adalah perusahaan peninggalan orang tuanya yang baru saja bisa ia urus setelah ia lulus kuliah.

“Pagi, Pak,” sapa karyawan di sana saat Ghanu baru saja memasuki kantornya. Ghanu pun menyapa balik mereka dengan senyuman.

Ghanu berjalan tergesa-gesa menuju ruangannya karena nanti akan ada meeting dengan seorang klien. Ia harus bisa tampil dengan baik di depan klien itu agar bisa meningkatkan citra perusahaan yang sudah dibangun susah payah oleh keluarganya dulu. Ia tidak boleh ceroboh karena ini menyangkut masa depan orang banyak.
 
“Eh, Pak Ghanu! Tunggu!” Jeha, sekretaris pribadi Ghanu itu langsung menghadang jalan Ghanu sambil tersenyum lebar. Ghanu berdecak kesal karena jalannya jadi terhambat karena sekretarisnya itu. “Itu dasinya belum bener. Bapak nanti ada meeting, 'kan? Harus rapi dong,” ujar Jeha dengan nada centilnya. Lalu, ia mengulurkan tangannya untuk membenarkan posisi dasi Ghanu.

“Sekretaris gue gini amat bentukannya. Cantik sih, tapi caper banget,” batin Ghanu sambil menatap Jeha dari atas hingga bawah. Pakaian Jeha memang sopan, sesuai dengan peraturan perusahaan, tetapi tetap saja sifatnya centil itu tidak sesuai dengan peraturan perusahaan. Ini semua karena Ghanu tertipu dengan Jeha yang tampak kalem saat baru melamar jadi sekretarisnya.

“Udah, Pak,” ucap Jeha sambil tersenyum lebar. Kemudian, Ghanu melengos masuk ke ruangannya dan langsung diikuti oleh Jeha.

“Sadar, Ghanu. Hilangin hidung belang sama mata keranjang lo itu,” gerutu Ghanu sambil memijat kepalanya. Bisa-bisanya ia sempat tertarik dengan Jeha. Hanya sekadar tertarik, bukan suka. Ia tidak munafik, Jeha memang perempuan yang sangat cantik. Namun, Ghanu sudah membuat prinsip baru untuk tidak membiarkan perempuan manapun masuk ke hidupnya.

“Pak Ghanu kenapa? Pusing? Mau saya beliin obat?” tanya Jeha yang terus mengikuti Ghanu sampai Ghanu duduk di kursi putarnya.

“Jeha, kamu kembali ke tempat kamu sekarang juga,” titah Ghanu dengan tegas sambil menatap Jeha dengan tajam.

Jeha tersentak dan langsung mengangguk patuh. Ia segera berlari kecil menuju mejanya sehingga menimbulkan suara ketukan sepatu yang membuat Ghanu kesal. 

“Jeha, besok kamu jangan pakai sepatu hak tinggi, berisik!” teriak Ghanu.

“Baik, Pak!” sahut Jeha.

Ghanu menghela napasnya. Kemudian, ia mengambil berkas-berkas penting yang akan menjadi bahan meeting nanti. Semuanya sudah siap dengan baik. Namun, entah mengapa wajah itu melintas kembali di pikirannya, membuat Ghanu melamun sejenak. Sudah berbulan-bulan ia tidak bertemu dengan Gania, mantan istrinya. Ia juga sudah tidak pernah melihat Gania membuat story di instagram. Ia jadi tidak tahu keberadaan Gania.

“Jeha, sini kamu!” teriak Ghanu.

Jeha pun langsung berdiri dan berlari kecil untuk menghampiri Ghanu. Lagi-lagi suara sepatu Jeha itu terdengar berisik dan itu mengganggu Ghanu yang sudah badmood sejak mengingat Gania. Ya, Ghanu sama sekali tidak bisa melupakan perempuan yang pernah menjadi istrinya itu.

“Kenapa, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Jeha sambil tersenyum sopan.

“Saya ada tugas pribadi untuk kamu. Kamu bisa cari sendiri ataupun suruh orang,” ujar Ghanu dengan nada pelan.

“Apa, Pak? Bapak mau cari apa?” tanya Jeha.

“Saya mau kamu cari keberadaan Gania,” perintah Ghanu.

“Gania? Mantan istri Bapak?” tanya Jeha memastikan. Mendengar desas-desus di kantor itu, Jeha tahu kalau Ghanu adalah seorang duda(🤣) dan sudah mempunyai anak. Bahkan Jeha sudah pernah bertemu dengan anak Ghanu yang sangat menggemaskan itu.

“Iya, emang siapa lagi kenalan saya yang namanya Gania?” ketus Ghanu. Satu hal lagi yang tidak ia sukai dari Jeha, yaitu sifat bawel perempuan itu. Sebenarnya Ghanu bisa saja memecat Jeha, tetapi tidak ia lakukan. Jeha itu kalau bekerja akan sangat totalitas dan hasilnya bagus. Selain itu Jeha dari kalangan orang yang tidak berada, Ghanu jadi kasihan jika harus memecat perempuan itu hanya karena ia tidak suka.

“Siap, Pak. Segera saya cari istri Bapak, eh maksudnya mantan istri,” ujar Jeha sambil tersenyum. Urusan bekerja, Ghanu bisa menyerahkannya kepada Jeha. Ia yakin Jeha akan memberikan yang terbaik.

🐊🐊🐊

“Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, pasien didiagnosa menderita penyakit kanker serviks. Saya sarankan pasien menjalani operasi pengangkatan rahim,” kata seorang dokter berjas putih yang sudah melakukan beberapa pemeriksaan pada Meidy.

Mama Meidy yang mendengar itu langsung gemetar hebat. Ia langsung membawa Meidy ke rumah sakit setelah melihat banyak sekali darah yang keluar dari selangkangan Meidy.  Ternyata pendarahan hebat itu adalah salah satu gejala kanker serviks. Ia tidak menyangka kalau anaknya bisa menderita penyakit yang parah seperti itu.

“Pengangkatan rahim? Anak saya enggak bakal bisa punya anak nantinya, Dok. Apa enggak ada cara lain?” ujar mama Meidy yang sudah menangis histeris. Ia memikirkan Meidy untuk kedepannya. Meidy tidak mungkin punya keturunan setelah rahimnya diangkat.

“Karena penyakitnya sudah cukup parah, saya sarankan untuk operasi pengangkatan rahim saja, Bu. Itu jalan yang terbaik,” kata dokter itu.

Mama Meidy langsung tidak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar kalau jalan yang terbaik adalah rahim Meidy harus diangkat. Wanita paruh baya itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Kemudian, ia mengusap air matanya dan tersenyum tipis.

“Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Saya akan berbicara dengan anak saya terlebih dahulu,” ujar mama Meidy.

“Baik, Bu. ”

Mama Meidy pun keluar dari ruangan dokter itu dan berjalan menuju ruang rawat Meidy. Wanita itu berhenti sejenak di depan pintu. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, ia tidak boleh terlihat panik. Setelah merasa tenang, ia pun masuk dan melihat anaknya sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

“Meidy,” panggil mama Meidy.

“Iya, Ma?” sahut Meidy sambil tersenyum tipis.

“Masih sakit?” tanya wanita itu sambil mengelus rambut anaknya dengan lembut.

Meidy menggeleng. “Dikit, Ma. Tapi, Meidy bisa tahan kok,” ucap Meidy pada mamanya. Iya, itu di depan mamanya ia bilang bisa tahan, berbeda jika ia sendiri. Buktinya ia sempat hendak menorehkan pisau di nadinya. Karena rasa sakit di panggulnya semakin menjadi-jadi, Meidy jadi tidak bisa mengakhiri hidupnya saat itu.

“Meidy,” panggil wanita itu dengan mata yang berkaca-kaca. Meidy mengernyitkan keningnya karena mamanya terlihat sangat sedih. “Mama mau bilang sesuatu sama kamu. Sebenarnya Mama enggak tega kasih tahu kamu, tapi kamu harus tahu.”

“Apa, Ma?” tanya Meidy. Ia sangat penasaran dengan apa yang sudah membuat mamanya begitu sedih.

“Kamu menderita kanker serviks dan rahim kamu harus diangkat,” ucap mama Meidy dengan capat. Ia tidak kuat lagi menahan tangisannya. Air matanya mendesak keluar dan membasahi pipi wanita yang sudah mengeriput itu.

“A–apa?” Meidy tercengang. Jadi, sakit yang semakin hari semakin menjadi-jadi itu karena ia menderita penyakit separah itu? Mengapa ia tidak pernah berpikir kalau ia menderita kanker serviks?

“Kamu yang kuat, sayang,” lirih mama Meidy sambil menggenggam tangan Meidy dengan erat.

Air mata Meidy mengalir dengan deras. Ia masih syok mendengar kalau rahimnya harus diangkat. “Enggak! Meidy enggak mau! Meidy enggak bakal punya keturunan lagi kalau Meidy enggak punya rahim! Meidy enggak mau!” jerit Meidy sambil melempar semua banyak yang ada di sebelahnya. “Akh,” ringis Meidy saat rasa sakit itu semakin keras.

“Meidy, kamu tenang, ya. Mama juga enggak mau kalau kamu sampai enggak punya rahim. Tapi, dokter bilang ini yang terbaik. Mama enggak bisa apa-apa lagi,” jelas mamanya sambil ikut menangis terisak-isak. Ia tidak bisa menahan kesedihannya. Ia juga sangat terpukul dengan penyakit yang diderita anaknya.

Meidy tidak histeris lagi, ia sudah mulai tenang. Namun, air matanya tetap mengalir deras. Ia masih tidak terima kalau ia kehilangan rahimnya karena penyakit sialan itu. Matanya menatap kosong ke atas, isak tangis pilunya semakin membuat mamanya sedih.

“Apa ini hukuman dari Tuhan? Meidy pernah bunuh anak nggak berdosa itu,” lirih Meidy.

🐊🐊🐊

Udah cukup belum karmanya Meidy?
Btw ini part-nya panjang banget loh🤣
🐊🐊🐊

Selasa, 16 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro