🐊ENDING🐊Permintaan Wilder

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agalanka mengantar Gania pulang ke rumah. Selama di perjalanan, Gania hanya termenung, entah memikirkan apa. Pemandangan tadi sudah cukup menyesakkan bagi Agalanka, saat Gania dan Ghanu berpelukan.
Hanya satu pertanyaan yang bersarang di pikiran cowok itu, apakah Gania belum melupakan Ghanu? Agalanka ingin tahu, tetapi di sisi lain ia juga takut menerima kenyataan bahwa Gania belum melupakan mantan suaminya itu.

“Kamu nggak mampir, Gal?” tanya Gania yang sudah turun dari mobil. Biasanya Agalanka selalu mampir walaupun hanya sebentar, tetapi sekarang cowok itu tidak turun dari mobil.

“Aku buru-buru, Gania. Titip salam buat orang tua kamu,” sahut Agalanka tanpa menatap Gania. Kemudian, ia melajukan mobilnya meninggalkan rumah Gania.

Agalanka merasa menyesal karena telah menyetujui permintaan Gania untuk kembali ke kota kelahiran mereka. Andai saja ia menolak dan memilik menetap di luar kota, ia tidak akan dilanda kekhawatiran seperti ini. Pertemuan Ghanu dan Gania membuat Agalanka merasa takut kalau hubungannya dengan Gania akan diruntuhkan oleh kenangan masa lalu.

Hanya beberapa menit saja, ia sampai di rumahnya. Setelah ia memarkirkan mobil, barulah ia berjalan ke dalam. Di sofa ruang tamu ia melihat Meidy yang sedang duduk melamun. Sudah bertahun-tahun lamanya, tetapi kondisi Meidy masih sama, seperti mayat hidup. Meidy hanya akan berbicara beberapa patah kata saja. Mungkin cewek itu masih belum bisa terima karena kehilangan rahimnya.
  
“Meidy,” panggil Agalanka sambil duduk di samping Meidy. Ia mengelus-elus rambut adiknya itu dengan lembut. Meidy tetap menatap lurus ke depan, tidak mau menatap Agalanka. Sekeluarga sudah pernah membawa Meidy ke psikiater, tetapi tetap saja tidak berhasil. “Meidy, Abang pulang.”

Terdengar helaan napas cukup berat dari Meidy. Cewek itu hanya menatap Agalanka sekilas, lalu menidurkan dirinya di sofa panjang itu. Ini akibat dari perbuatan Meidy sendiri bersama Ghanu, tetapi Meidy sendiri yang menanggung semuanya. Agalanka tidak akan pernah melupakan apa yang sudah Ghanu lakukan terhadap adiknya.

“Meidy, Abang beliin kamu sesuatu mau?” tawar Agalanka. Namun, tetap saja usahanya sia-sia, Meidy tidak mau bicara sama sekali padanya. Kemudian, ia menatap sekeliling, berusaha mencari keberadaan mamanya yang pergi entah ke mana. Biasanya mamanya pasti akan ada di rumah, tetapi sekarang wanita itu malah tidak ada, hanya ada Meidy yang sendirian.

“Ya udah, kamu tidur aja. Abang mau ke luar buat beliin kamu sesuatu,” ujar Agalanka. Kemudian, ia pun berjalan keluar rumah. Meidy paling suka jika sudah ia belikan es krim, tadi ia malah lupa membelinya.

Agalanka tidak perlu mengendarai mobil untuk sampai di sebuah supermarket. Hanya dengan berjalan kaki selama beberapa menit saja ia bisa sampai di tempat tujuan. Baru saja cowok itu membuka pintu kaca itu, seorang perempuan yang berjalan tergesa-gesa langsung menabraknya. Perempuan itu terjatuh, tidak ada adegan tangkap-menangkap seperti adegan di film-film.

“Sial!” pekik perempuan itu sambil memungut belanjaannya yang terjatuh. Kemudian, ia mendongak untuk melihat orang yang menabraknya, lebih tepatnya orang yang ia tabrak. “Agalan!”

Agalanka menatap datar perempuan itu dan berdiri dengan tampang cool. Sementara perempuan itu bangun ketika ada orang yang hendak keluar. Ia menghalangi jalan, jadi ia terkena Omelan dari pelanggan-pelanggan supermarket itu. “Mbak siapa, ya?” tanya Agalanka sambil menatap perempuan itu dari atas hingga bawah.

Sedetik kemudian, perempuan itu langsung memukul lengan Agalanka dengan keras hingga cowok itu meringis kesakitan. “Gue doain lo amnesia!”

Agalanka langsung menyengir lebar. Ia hanya berpura-pura tidak mengenal perempuan itu. “Makin cantik aja lo, Nas,” puji Agalanka sambil menepuk pundak Nasha dengan pelan. Nasha memang tampak berbeda dari yang sebelumnya, jadi tampak lebih cantik menurut Agalanka.

“Sialan. Cantik gue ikut jatuh gara-gara lo nabrak gue,” ketus Nasha. Ia memang menginginkan adegan tabrak-menabrak seperti tadi dalam hidupnya, siapa tahu orang yang ditabraknya itu akan menjadi jodohnya di kemudian hari. Namun, nyatanya yang menabraknya adalah Agalanka dan cowok itu dengan tidak manusiawinya membiarkan ia terjatuh.

“Lo kerja kantoran?” tanya Agalanka saat melihat pakaian yang Nasha gunakan seperti bekerja di kantor.

Nasha mengangguk. “Terus lo kerja apa? Gania ikut balik sama lo, 'kan? Dia di mana? Gue kangen banget,” cerocos Nasha.

“Mau ngobrol dulu, nggak? Di kafe itu,” tawar Agalanka sambil menunjuk sebuah kafe yang ada di seberang jalan. Di sana juga menjual es krim, jadi bisa sekalian ia membeli di sana untuk Meidy.

Nasha melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul satu siang. “Gue ada waktu luang. Bolehlah,” sahut Nasha.

Mereka pun pergi ke kafe seberang dan memesan beberapa makanan dan minuman untuk menemani obrolan mereka. Agalanka tampak banyak pikiran, tetapi ia tidak yakin harus menceritakan semuanya pada Nasha. “Gue jadi dosen dan Gania jadi guru SD di sekolah anaknya,” ungkap Agalanka karena sepertinya Nasha sedang menunggunya berbicara.

“Hah? Sekolah Wilder? Wah, bagus dong. Dia nggak perlu lagi nanyain tentang Wilder ke gue. Pasti Gania seneng karena bisa ketemu anaknya,” ucap Nasha sambil menikmati kue yang ia pesan.

“Gania sering nanyain Wilder ke lo?” tanya Agalanka.

Nasha mengangguk. “Ibu mana sih yang nggak kangen sama anaknya pas pisah?” Perempuan itu menghela napas berat. Ia kasihan dengan posisi Gania yang serba salah.

Agalanka tersenyum miris. “Gue salah ternyata,” ucapnya.

Kening Nasha berkerut, tidak mengerti dengan apa yang Agalanka bilang. “Maksud lo?”

Helaan napas panjang terdengar. Cowok itu benar-benar tidak bisa lagi membohongi dirinya. “Gue sama Gania bentar lagi ada rencana mau nikah,” tutur Agalanka yang membuat Nasha langsung syok.

“Ni–nikah?” tanya Nasha terbata-bata. Ia bahkan sampai menghentikan aktivitas makannya karena terkejut dengan penuturan Agalanka. Ia tidak menyangka kalau hubungan mereka sudah sampai tahap itu.

“Selama hampir enam tahun, gue sama dia main sandiwara. Dia pura-pura mencintai gue dan gue pura-pura nggak tahu kalau dia cuma pura-pura,” lirih cowok itu dengan tatapan kosongnya. Kemudian, ia tersenyum miring sehingga Nasha jadi prihatin.

“Bukannya mau matahin semangat lo, tapi gue yakin kalau Gania nggak bakal bisa lupain Ghanu. Ghanu itu cinta pertamanya, sejak SMA dia suka sama Ghanu,” kata Nasha. Ia tahu betul kalau cinta pertama sulit dilupakan, apalagi Gania dan Ghanu sudah menjalin hubungan cukup lama. Pasti sulit untuk menghilangkan perasaan itu.

“Gunanya gue sama dia selama ini apaan sebenernya? Gue tahu, Gania berusaha keras buat mencintai gue. Semuanya sia-sia. Saat gue ngelihat Gania dan Ghanu nangis sambil pelukan, rasanya kayak gue antagonis banget jadi orang. Kayak gue yang jadi penghalang buat mereka. Terus sekarang gue harus apa?” Agalanka hanya menatap sebuah burger yang ia pesan, tetapi belum sempat ia makan. Selera makannya tiba-tiba hilang begitu saja.

“Berhenti, Gal, sebelum lo terlalu jauh. Jangan pikir dengan cara lo mengikat Gania dengan sebuah pernikahan, dia bakal bisa lupain Ghanu. Pernikahan itu harus didasari dengan cinta dari kedua belah pihak. Lepaskan daripada memaksakan, ikhlaskan daripada menyakitkan, dan relakan daripada berjuang sendiri. Inget kata-kata gue,” tutur Nasha. Agalanka terdiam. Cowok itu tampak goyah setelah mendengar kata-kata Nasha. Semua yang Nasha bilang itu benar.

“Sama seperti gue, takdir nyuruh gue ngelepasin lo, padahal gue belum pernah sekalipun menggenggam lo,” batin Nasha sambil tersenyum miris. Sekeras apapun ia menyangkal bahwa ia tidak akan memiliki perasaan pada Agalanka karena ada oppa-oppa Korea yang jauh lebih tampan, Nasha tidak bisa membohongi perasaannya. Perasaan itu tumbuh tanpa bisa ia kendalikan.

“Apa gue harus menyerah?” tanya Agalanka.

“Lihat burger lo, Gal,” suruh Nasha. Agalanka mengikuti suruhan Nasha dan menatap burgernya. “Isinya sehat-sehat semua, ada sayur, daging, roti keju. Tapi, orang bilang burger itu nggak sehat. Kenapa? Ya karena nggak semua yang baik kalau disatukan itu tetep baik, sama kayak lo dan Gania.” Nasha menatap Agalanka dengan tatapan sendunya. “Mungkin kayak kita juga,” lanjutnya dalam hati.

🐊🐊🐊

Ghanu tidak memiliki nomor Gania yang sekarang. Ia jadi bingung caranya menghubungi perempuan itu. Ia sudah berjanji pada Wilder kalau mereka akan bertemu Gania hari ini. Ghanu kebingungan dan berusaha bertanya pada teman-teman terdekatnya, tetapi tidak ada yang tahu nomor Gania.

Wilder bahkan sudah bersiap-siap dan dibantu oleh Sita. Anak itu tampak sangat bersemangat sehingga Ghanu tidak tega untuk membatalkan semuanya. Siapa lagi yang harus ia hubungi?

Saat sedang pusing-pusingnya berpikir, bel rumahnya berbunyi. Segera Ghanu beranjak dari tempat duduknya dan membuka pintunya. “Selamat siang, Pak Ghanu,” sapa Jeha sambil tersenyum. Di tangannya ada beberapa map yang sepertinya adalah berkas-berkas penting.

“Ada apa? Saya 'kan udah bilang kalau hari ini libur,” kata Ghanu. Ia mempersilakan Jeha masuk, lalu kembali ke ruang tamu yang diikuti oleh sekretarisnya itu.

“Ini darurat banget, Pak, harus ditandatangani sekarang,” ucap Jeha sambil meletakkan berkas-berkas itu di meja dan tak lupa ia meletakkan pulpen agar Ghanu segera menandatangani.

Ghanu menghela napas berat. Di saat-saat seperti ini ia harus menandatangani berkas yang cukup banyak itu. Namun, mau bagaimana lagi? Ia harus melakukannya karena itu kewajibannya. “Itu aja?” tanya Ghanu sambil mulai memeriksa berkas-berkas itu, lalu menandatanganinya.

“Pak Ghanu kok kayaknya badmood begitu? Ada masalah lagi?” tanya Jeha. Perempuan itu sangat peka jika menyangkut ekspresi seseorang. Sangat sulit berbohong pada Jeha karena perempuan itu seperti cenayang.

“Gara-gara kamu nggak becus. Makanya saya jadi gini,” ketus Ghanu.

“Hah? Nggak becus bagaimana? Pekerjaan saya selalu selesai dengan baik kok,” protes Jeha. Enak saja ia dibilang tidak becus.

“Nyari istri saya. Untungnya saya udah ketemu sama dia. Tapi, masalahnya Wilder ngebet banget mau ketemu dia, sementara saya nggak punya nomor HP-nya,” cerocos Ghanu.

“Mantan istri inget. Oh, jadi udah ketemu akhirnya. Saya punya kok nomor HP-nya Bu Gania,” ucap Jeha santai sambil menunjukkan ponselnya.

“Hah? Kok bisa? Dapet dari mana? Kamu kok nggak kaget gitu pas saya bilang udah ketemu sama dia?” cecar Ghanu.

“Ya karena saya udah bertemu dia lebih dulu daripada Bapak. Ini nomornya,” ucap Jeha sambil memberikan ponselnya pada Ghanu.

Mata Ghanu membulat, apa maksud Jeha? “Maksud kamu?!” Nada bicaranya meninggi, membuat Jeha langsung menunduk karena takut dimarahi.

“Ya saya ketemu Bu Gania sejak dia pindah ke kota ini, tapi—”

“Terus kamu kenapa nggak bilang, Jeha?” tanya Ghanu penuh penekanan.

“Saya udah mau bilang kok, tapi Pak Ghanu nggak ngasih saya kesempatan buat bilang,” sangkal Jeha. Ia tidak mau disalahkan sepenuhnya karena Ghanu juga salah. “Bu Gania bilang jangan kasih tahu Pak Ghanu dulu, tapi saya rasa Pak Ghanu harus tahu dia di kota ini. Tapi, pas saya mau bilang, Pak Ghanu terus-terusan motong omongan saya.”

“Oh iya, tentang Bu Gania, saya—”

“Diem. Udah bertahun-tahun kamu nggak bisa nemuin dia. Sekarang mau alasan apa lagi?”

“Bukan gitu, saya—”

“Balik ke tempat duduk kamu,”

Ghanu memijat kepalanya begitu ia mengingat percakapannya dengan Jeha beberapa waktu lalu. Ia menyesal karena tidak mau mendengarkan apa yang mau Jeha bilang.

“Jadi, saya yang salah?” tanya Ghanu.

“Iyalah, buruan telepon istrinya, eh mantan istri maksudnya.” Jeha terkekeh saat Ghanu langsung menatapnya dengan tajam.

Ghanu menunda pekerjaannya dan menelepon Gania. Hanya beberapa detik saja, Gania langsung menjawab teleponnya. “Halo, selamat siang. Ini siapa, ya?” Ghanu terdiam ketika mendengar suara itu. Ia sangat merindukannya walaupun baru kemarin mereka bertemu. “Halo.”

“Gania,” panggil Ghanu.

Ghanu?” Ghanu tersenyum tipis ketika Gania langsung mengenali suaranya. “Ada apa?”

“Aku mau minta satu hal aja sama kamu. Boleh?”

Gania terdiam cukup lama. “Apa?” tanya Gania pada akhirnya.

“Temuin Wilder sebagai mommy-nya, bukan sebagai gurunya,” pinta Ghanu.

Gania terdiam lagi. Perempuan itu pasti sedang ragu-ragu. “Sekarang?”

“Iya, di taman deket rumah Reja, depan hotel,” ucap Ghanu.

“Oke, aku siap-siap dulu.” Tanpa menunggu respons Ghanu, Gania langsung mematikan ponselnya. Sementara Ghanu pun meletakkan kembali ponselnya di meja dan menandatangani berkas-berkas itu lagi.

“Daddy!” Suara Wilder yang masih berada di depan kamarnya terdengar keras. Anak itu berlarian menghampiri Ghanu yang diikuti oleh Sita dari belakang. “Daddy kok belum siap-siap, sih? Nunggu nggak enak tahu! Kebiasaan banget Daddy nunda-nunda waktu,” omel Wilder. Anak itu sudah mengenakan pakaian yang rapi dan membawa sebuah robot-robotan yang sangat ia sukai.

“Bentar lagi, Wilder,” ucap Ghanu. Ia melirik Wilder sekilas, lalu kembali menandatangani berkas-berkas yang tinggal sedikit lagi. “Kok bawa mainan?” tanya Ghanu.

“Daddy bilang semua mainan yang aku punya itu mommy yang kasih. Jadi, aku bawa satu aja biar mommy seneng karena aku suka sama pemberiannya,” kata Wilder sambil mengelus-elus robot itu dengan lembut.

Tangan Ghanu berhenti bergerak ketika mendengar perkataan Wilder. Rahangnya mengeras begitu ia merasakan kesedihan Wilder saat mengatakan 'mommy'. Rasa bersalah itu semakin meluap-luap. Mengapa Wilder harus merasakan sakit hati saat ia harusnya hanya bersenang-senang?

“Daddy, kok diem? Cepetan dong!” Wilder terlihat kesal karena Ghanu malah diam.

Ghanu pun menandatangani berkas terakhir, lalu menyerahkannya kepada Jeha. “Saya pamit,” kata Jeha sebelum ia pergi dari rumah Ghanu.

Sementara Ghanu menatap Wilder dan tersenyum sambil mengelus-elus kepala anaknya itu dengan lembut. “Wait a minutes,” ucap Ghanu, lalu melangkah cepat menuju kamarnya.

[Terjemahan : tunggu sebentar. ~kalau diartikan satu-satu 'tunggu satu menit']
Kemarin ada yang kesulitan ya karena banyak Inggrisnya. Aku isi terjemahan

Just a minute! No more!” teriak Wilder.

[Hanya satu menit! Tidak lebih!]

Wilder duduk di sofa dan ditemani oleh Sita. Ia mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai sambil menunggu Ghanu. “Mbak Sita, itu daddy kenapa lama banget, sih? Katanya satu menit,” ujarnya yang tampak sangat kesal. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu mommy-nya, tetapi Ghanu malah lelet.

“Sabar, Wilder, daddy kamu mungkin lagi dandan. Kalian 'kan mau ketemu sama orang penting,” ucap Sita sambil tersenyum.

“Hah? Daddy dandan? Ih, kayak cewek aja,” cibir Wilder. Wajahnya ia tekuk sehingga membuat Sita terkekeh pelan. Wilder kalau sedang kesal memang akan sangat menggemaskan.

“Bocil! Daddy coming!” teriak Ghanu yang sudah rapi. Ia merentangkan kedua tangannya, tanda agar Wilder menghampirinya. Namun, Wilder malah melengos begitu saja menuju ke luar rumah. “Anak siapa, sih? Gitu amat tingkahnya,” gerutu Ghanu karena diacuhkan oleh anaknya sendiri.

“Eh, ini robotnya Wilder lupa kebawa,” ujar Sita sambil mengambil robot yang ada di sofa. Pasti Wilder lupa membawanya karena terlalu merasa kesal.

“Makasih. Saya pergi dulu,” ujar Ghanu sambil menerima robot yang Sita beri. Kemudian, ia pun menyusul Wilder yang kini sudah berada di dalam mobil.

“Daddy,” panggil Wilder saat mereka sedang berada diperjalanan. Ghanu hanya berdehem saja. “Mommy kenapa nggak tinggal bareng kita?” tanya Wilder. Pertanyaan yang tidak pernah dilontarkan oleh Wilder, kini keluar dari bibir mungilnya. Ghanu bingung harus jawab apa.

Mommy kamu pergi karena … karena ….” Ghanu benar-benar tidak tahu harus bilang apa. Ia tidak mungkin bilang kalau ia sudah menyakiti Gania. Wilder tidak akan mengerti urusan orang dewasa.

“Kenapa mommy nggak ngajak-ngajak aku pergi?” tanya Wilder lagi karena pertanyaan tadi tidak dijawab benar oleh Wilder. Pertanyaan ini juga tidak bisa Ghanu jawab. Mana mungkin Ghanu bilang kalau Wilder saat bayi tidak menyukai mommy-nya.

“Wilder, kamu masih kecil untuk tahu ini. Jadi, kamu nggak perlu tahu,” tegas Ghanu.

“Aku udah besar, Dad.” Ghanu menatap anaknya itu dengan heran. Apanya yang sudah besar? Semuanya masih tampak mungil bagi Ghanu. Wilder tetaplah bocilnya yang masih bayi.

“Kita sampai,” ucap Ghanu. Bertepatan dengan mobilnya yang sudah terparkir, ponsel Ghanu berbunyi dan itu panggilan dari Gania.

“Aku duduk di bangku deket kedai es krim.” Setelah itu, Gania langsung memutuskan panggilannya padahal Ghanu belum berbicara sepatah kata pun.

Mommy?” tanya Wilder. Ghanu mengangguk. Ia mengulurkan tangannya, hendak menggandeng tangan Wilder, tetapi anak itu sudah pergi lebih dahulu sambil membawa robotnya. Lagi-lagi ia diacuhkan oleh anaknya. Segera Ghanu menyusul Wilder agar anak itu tidak menghilang.

“Wilder, itu mommy kamu,” kata Ghanu sambil menunjuk seorang perempuan yang sedang duduk di bangku panjang yang membelakangi kedai es krim.

Wilder terpana melihat perempuan yang katanya adalah mommy-nya. Ia berjalan menghampiri perempuan itu hingga semakin dekat. “Bu Gania?” tanya Wilder kebingungan. Ia berdiri tepat di depan Gania yang sedang tersenyum pada Wilder.

“Wilder, sini,” suruh Gania sambil menyuruh Wilder untuk lebih mendekat. Wilder yang masih terkejut pun hanya menurut saja. Ia tidak menyangka kalau guru bahasa Inggrisnya adalah mommy-nya. “Maafin Mommy, Sayang,” ucap Gania sambil memeluk Wilder dengan erat.

Wilder yang awalnya diam, lama-lama menjadi menangis. Isakan kecil yang keluar dari bibir mungilnya membuat air mata Gania ikut jatuh. Betapa terlukanya hati Wilder karena baru bisa bertemu dengan Gania setelah hampir enam tahun berlalu. Selama hampir enam tahun Wilder hidup tanpa seorang ibu. “Mommy jangan pergi lagi, ya. Aku nggak tahu kenapa Mommy pergi, tapi aku maklum kok. Mommy pasti punya alasan yang nggak boleh aku tahu,” ucap Wilder pelan.

Tangisan Gania semakin menjadi-jadi begitu mendengar Wilder yang berpikiran seluas itu. Bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa memaklumi kepergian ibunya? Hal itu membuat Gania tambah sedih. Wilder pasti telah mengalami hidup yang berat karena hanya didampingi oleh Ghanu saja. Keadaan membuat bayi kecilnya tumbuh menjadi lebih dewasa.

“Anak kita sangat cerdas,” ucap Ghanu sambil berlutut di depan Gania. Ia mengusap air mata Wilder yang mengalir deras.

“Mommy, aku bawa robot yang Mommy kasih. Makasih ya, Mommy udah beliin aku banyak mainan,” ucap Wilder sambil menyerahkan robot itu pada Gania. Gania semakin terharu melihat anaknya itu. Ia hanya bisa tersenyum sambil mengangguk karena tidak tahu harus bilang apa. “Apa aku bakal jadi kayak anak-anak lainnya? Yang punya orang tua lengkap?” tanya Wilder.

Ghanu dan Gania saling memandang. “Wilder beli es krim dulu sana. Daddy mau bicara berdua sama mommy,” ucap Ghanu sambil memberi Wilder selembar uang.

Wilder menarik napasnya, lalu mengusap sisa air matanya. Kemudian, ia pun mengambil uang itu dan tersenyum pada Gania. Ia pun segera menuju kedai es krim untuk membeli es krim.

“Gania, kamu—”

“Ghanu, Wilder tumbuh dengan baik. Makasih karena udah rawat dia,” sela Gania sambil menunduk.

“Kepergian kamu bikin Wilder dewasa sebelum waktunya, Gan. Kamu tahu? Aku sedih banget pas dia nanyain soal kamu,” ucap Ghanu. Ia menatap Gania dengan lekat-lekat, ia sangat merindukan wajah itu. Kapan lagi ia akan bisa menatap Gania seperti ini? Sebentar lagi Gania akan menjadi milik orang lain dan ia harus siap untuk itu.

“Kamu nyalahin aku?” tanya Gania yang sedikit tersinggung dengan ucapan Ghanu.

“Bukan, bukannya gitu. Aku cuma bilang kalau Wilder nggak bisa hidup tanpa seorang ibu, Gania. Setelah kamu pergi, Wilder tumbuh berbeda dari anak-anak lain,” jelas Ghanu.

Gania terkekeh sinis. “Siapa yang bikin aku pergi? Siapa yang nyakitin aku? Itu kamu, Ghan. Kamu pikir goresan luka itu udah hilang setelah sekian lama? Nggak, Ghan, luka itu masih ada. Yang bikin aku tambah luka adalah aku masih mencintai kamu. Aku nggak bisa mencintai cowok yang berusaha ngobatin luka itu. Itu bikin aku benci sama diri aku sendiri,” kata Gania yang tampak marah. Bukan ini yang Ghanu mau. Ghanu tidak ingin pertengkaran.

“Gania, kamu jangan gini. Kita jangan berantem, ya.” Ghanu berusaha menenangkan Gania yang tersulut emosi.

“Satu lagi, Ghan. Wilder lebih bahagia sama kamu daripada sama aku. Dia bakal lebih menderita kalau ikut aku dulu. Kamu inget kalau aku nggak pernah bisa gendong dia lama karena dia selalu nangis kalau sama aku?” imbuh Gania.

“Oke, aku salah. Aku harusnya nggak memancing pertengkaran. Maafin aku kalau kata-kata aku bikin kamu tersinggung. Ya, aku akui kalau semuanya terjadi karena aku. Aku terlalu berengsek sehingga bikin kamu sakit hati dan berimbas pada anak kita. Ini salah aku,” ucap Ghanu dengan air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya.

Gania yang melihat itu langsung merasa bersalah. Ia menjadi emosional karena sejak tadi pagi ia terus-menerus merasa sedih. “Ghan, maafin aku karena udah emosian. Aku mau bilang sesuatu yang penting sama kamu, Ghan,” kata Gania sambil menarik tangan Ghanu dan menggenggamnya.

“Kamu mau bilang apa?” tanya Ghanu. Mereka bertatap-tatapan dengan wajah yang bercucuran air mata. Ada hasrat ingin bersama, tetapi ada rasa takut di hati mereka. Ghanu yang takut menyakiti Gania lagi, sedangkan Gania yang takut tersakiti lagi.

“Agalanka mutusin aku tadi,” kata Gania yang membuat Ghanu langsung berdebar-debar. Apa ia akan bisa bersama Gania lagi?

“Kita—”

“Adik kecil, kamu kenapa nangis? Karena es krim kamu jatuh, ya?” Seseorang bersuara di belakang Ghanu dan Gania, membuat mereka langsung menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya mereka karena melihat Wilder sedang berdiri beberapa langkah dari tempat mereka duduk. Apa Wilder mendengar semuanya.

“Wilder,” panggil Ghanu yang langsung menghampiri Wilder bersama Gania. Seseorang yang bertanya pada Wilder pun segera pergi setelah menyunggingkan senyumannya.

“Wilder, es krim kamu kenapa jatuh? Mau Mommy beliin lagi?” tanya Gania.

“Aku cuma pengin punya orang tua yang utuh,” lirih Wilder sambil terisak. Ia yang tadi menangis dalam diam pun mulai bersuara.

“Wilder, kalau itu yang kamu mau, Mommy akan kembali bersama daddy kamu,” ucap Gania sambil menenangkan Wilder. Ia mengusap air mata Wilder yang terus mengalir.

“Iya, Wilder. Demi kamu, Daddy akan kembali sama mommy kamu,” tambah Ghanu.

Wilder menggeleng cepat. Ia memeluk Gania yang berjongkok di depannya. “Aku akhirnya tahu kenapa Mommy nggak ngajak aku pergi. Itu karena aku jahat sama Mommy, 'kan?” kata Wilde pelan. Kemudian, ia melepaskan pelukannya dan menatap Gania sambil tersenyum.

“Enggak, Wilder. Kamu nggak salah. Kamu masih bayi, nggak tahu apa-apa. Mommy yang salah karena ninggalin kamu,” balas Gania yang ikut menangis.

“Wilder tenang aja, kamu akan bahagia karena kamu bakal punya orang tua yang utuh,” kata Ghanu sambil mengelus rambut Wilder dengan lembut.

“Enggak,” sahut Wilder sambil menggeleng-geleng. “Kalian nggak perlu kembali. Cukup kayak gini aja. Daddy pernah nyakitin Mommy. Wilder nggak mau itu terulang lagi,” ucap Wilder sambil tersenyum.

“Maksud kamu?” tanya Gania bingung.

“Ya tetep kayak gini. Kalian nggak perlu menikah lagi. Kalian menikah atau nggak, aku tetep punya orang tua yang lengkap,” jelas Wilder.

“Wilder yakin?” tanya Ghanu. Ia melirik Gania yang juga meliriknya. Mereka bingung dengan pemikiran Wilder yang sangat labil. Tadinya ia ingin memiliki orang tua yang lengkap, tetapi tidak mau orang tuanya rujuk. Namun, ucapan si kecil itu tidak sepenuhnya salah. Mereka masih bisa membahagiakan Wilder tanpa mengalami sakit hati seperti dulu. Hanya tetap seperti itu, itulah permintaan Wilder.

“Sekarang Wilder mau main sama kalian. Di sana ada perosotan. Aku mau main itu,” kata Wilder sambil tersenyum ceria. Kemudian, ia menggenggam tangan kedua orang tuanya dan menariknya ke arah tempat bermain anak-anak.

“Wilder, kita main perosotan di hidung kamu aja ya!”

“Ih, Mommy! Jangan nyubit hidung aku!”

“Bocil kesayangan Daddy!”

“Ih, Daddy! Jangan ikut-ikutan nyubit! Sakit!”

Pada akhirnya, mereka bisa bahagia tanpa merasakan beratnya dunia pernikahan. Hanya seperti itu, itulah permintaan Wilder. Pemikiran anak kecil yang labil itu mungkin suatu saat akan berubah atau mungkin tidak. Walaupun mereka tidak terikat pernikahan, mereka tetap akan membahagiakan Wilder. Mereka akan menuruti apa yang Wilder inginkan untuk membuat buah hati mereka itu merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan.

TAMAT

Sabtu, 20 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro