Ramadan 10: Ayo Kerja Bakti!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bukan hari minggu, tentu menjadi kejutan tersendiri bagiku ketika ayah pulang lebih awal, sekitar pukul tiga sore sambil membawa takjil untuk berbuka.

Dengan senyum penuh arti, semangat berkobar di punggung, ayah berkata usai menaruh bawaannya di meja; "Ayo kerja bakti!"

Semua melongo, termasuk aku. Beruntung tidak ada nyamuk masuk ke dalam mulut. Bisa batal puasa.

"Memang Pak RT suruh kita kerja bakti, Yah?"

Si adik bertanya, wajah polos itu membuat ayah berdecak lalu menurunkan kedua kepalan tangannya.

"Bukan kerja bakti seluruh kampung. kerja bakti di rumah!"

Masih bersama semangat yang sama, ayah mengambil sapu dan memberikannya pada adik, kemoceng pada ibu, dan aku dapat bagian lap.

Ayah membagi tugas. Tidak perlu dijelaskan apa tugasku, aku tahu—tentu, mengelap kaca jendela, dinding keramik dapur, apa lagi? Ahh, sepertinya banyak. Yang membuatku heran, kenapa tiba-tiba ayah menjadi semangat kerja bakti begini? Maksudku, bukankah ini terlalu tiba-tiba? Biasanya kalau melibatkan seluruh anggota keluarga—dalam hal apa pun, ayah selalu membicarakan dulu sebelumnya.

"Ayah... aku baru pulang sekolah," kata adik, suara merengek manja itu membuat kedua tanganku gatal. "Aku juga mengantuk, lima jam belajar di sekolah, dua jam les. Aku lelah, Yah...."

Uhh, dasar Kutu Ayam! Ingin diriku mengumpat Gama—adikku. Satu-satunya spesies laki-laki di sini selain ayah. Aku tahu, kalimat Gama pasti hanya alasan, pemalas tingkat akut dia. Iya baik, aku tahu bagaimana belajar yang membutuhkan pemikiran ekstra. Tetapi bukan berarti itu bisa dijadikan alasan untuk lari dari perintah ayah.

"Mau lepas tanggung jawab? Menyapu saja kamu belum selesai."

"Masih ada Ibu dan Kak Tira, Ayah."

Semprul. Jika tidak dalam keadaan puasa kusumpal mulutnya pakai lap yang kupegang.

"Gama, kalau diberi tugas ya kerjakan dengan senang hati, rasa lelah pasti nggak akan terasa. Kamu juga bakal mampu mengerjakannya dengan baik. Selesaikan dulu pekerjaanmu, baru istirahat."

"Ck, lagian sih Ayah, kenapa harus beres-beres rumah segala? Kerja bakti pula, Ayah kan bisa hanya menyuruh kak Tira bersama Ibu saja."

"Oh, berarti kamu bukan bagian dari anggota keluarga ini, ya?"

Hah! Mau jawab apa dirimu, Dek? Aku tidak berhenti mendumal dalam hati.

"Lho, kok Ayah bicara begitu?"

"Ya habis, kamu cuma diminta tolong menyapu saja mengeluhnya sudah seperti disuruh angkat karung-karung beras. Sebagai anggota keluarga, kita mesti saling membantu, meski kecil harus ada kontribusinya."

Tidak ada suara lagi dari Gama. Entah dia sudah kehabisan kata atau saking kesal. Akhirnya bocah kelas enam SD itu melakukan pekerjaannya juga. Ya... walau rautnya menekuk tujuh lapis. Ibu dan aku cekikan diam-diam menyaksikan tingkah Gama.

Pukul setengah lima, semua sudah beres, rumah rapih. Kaca-kaca, lantai, serta kamar mandi mengkilap.

Kebersihan bukan hanya sebagian dari iman, kebersihan juga menjadi nikmat tersendiri untuk yang melihat. Terutama kami, rasanya memuaskan ketika mendapat hasil dari kerja sama. Pun, ayah bilang, membersihkan rumah seperti menyambut malaikat-malaikat yang turun ke bumi saat malam kebaikan dari seribu bulan, Lailatul Qadar. Itu sebabnya ayah mendadak semangat 95 bebenah rumah.

.
.
.

Bogor, 17 Mei 2019

D-20, 15 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro