Ramadan 9: Orang Berdasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mau-maunya makan bareng sama orang dekil."

Jika aku memiliki hak untuk membalas kalimat orang itu, akan kubalas dengan perkataan mematikan. Tetapi di sini aku hanya selaku pemerhati, tidak lebih, yang akhirnya akan kuceritakan hasil analisaku pada kalian. Lagipula, seandainya aku dapat menyahut orang yang telah melontarkan ucapan itu, akan menjadi samanya, benar? Ketahuilah, Tuhan memberi manusia mulut bukan untuk menjadi sembilu pedih. Jangan karena lidah tak bertulang, bisa berbicara tanpa melalui saringan pemikiran. Coba tanya pada diri sendiri, apakah kata yang akan diucapkan itu baik? Bagaimana jika melukai orang yang dimaksud?

Ya ampun, belum apa-apa aku terlalu banyak bercerita. Ah, tidak perlu pikirkan siapa diriku, fokus saja pada apa yang kalian baca dari hasil telaahku. Jangan berpikir terlalu rumit, sebab kepala akan berdenyut sakit.

Orang berdasi itu duduk di bawah menggunakan alas kardus berdebu hasil memulung si pemilik rumah gubuk, dengan atap terbuat dari daun kelapa, beserta dinding terpal yang sudah sobek sana sini. Aku berharap tidak ada angin kencang apalagi hujan deras sewaktu-waktu, karena bisa saja rumah ini terbawa angin, atau rusak tertimpa hujan. Awalnya, aku tidak tahu apa alasan orang berdasi itu sering mengunjungi rumah gubuk si pemulung, hingga percakapan mereka hari ini membuatku mengerti.

"Orang-orang membicarakan Bapak." kata si pemulung.

"Lalu kenapa kalau mereka membicarakan saya?"

"Bapak tidak malu?"

Lantas orang berdasi polkadot tertawa kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Perkataan orang lain nggak akan ada pengaruhnya untuk saya, kecuali saya mendengarkan mereka. Saya hanya mendengarkan isi hati saya sendiri."

"Di sini juga kotor, nanti kalau Bapak makan terus-menerus di rumah saya, Bapak akan sakit," balasnya, menarik napas sejenak sebelum melanjutkan. "Kalau Bapak sakit, saya nggak bisa tanggung jawab. Saya nggak punya uang banyak untuk membayar biaya rumah sakit."

"Kakek terlalu berpikir jauh. Jika seumpama benar saya sakit, nggak mungkin juga saya akan menuntut pertanggung jawaban Kakek."

Si pemulung termenung sebentar, membuat keheningan mendera sebelum terpecah oleh kalimat yang kembali terucap dari si pemulung.

"Ini membuat saya penasaran, mengapa Bapak ingin makan bersama orang kecil seperti saya? Bukan hanya saya, Bapak juga makan dengan orang kecil lainnya,"

Orang berdasi tersenyum ringan, terlihat ramah—membuat hati siapa saja yang melihat menghangat.

"Saya ingin merasakan bagaimana menjadi bagian dari Kakek. Kalau saya makan bersama kolega, itu sudah biasa. Lalu saya makan bersama Kakek, sungguh luar biasa saya rasakan. Saya bisa mengerti susahnya Kakek mencari sesuap nasi," sahutnya. Wajah ramah itu masih bertahan sampai berakhir kepiluan tercipta dari romannya.

"Andaikata semua orang berada merasakan penderitaan Kakek dan orang kecil lainnya, mungkin mereka bakal berpikir dua kali, buat apa repot-repot menghamburkan kekayaan untuk kepentingan pribadi? Kesadaran itu sayangnya mahal, mereka nggak mudah mendapatkannya. Saya tahu, semua kemewahan saya punya, ada yang memiliki. Bisa saja Sang Maha Memiliki mengambilnya hanya dalam hitungan detik."

Lalu sekarang aku tahu, orang berdasi itu mempunyai relung mulia. Rendah hati—menyadari segala kekurangan diri tanpa melihat kelebihannya secara materi. Orang berdasi tahu, materi bukan apa-apa. Karena saat Tuhan menginginkan dia kembali, saat jasad sudah balik pada tanah, maka dirinya tidak akan membawa kekayaan dunia. Yang bersamanya hanyalah amal kebaikan.

.
.
.

Bogor, 14 Mei 2019

D-21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro