Ramadan 6: Suasana Ramadan yang Dirindukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Usianya sekarang sudah 20 tahun. Setiap hari, seperti kebanyakan orang berpuasa lainnya, Naira sahur, kemudian berbuka saat magrib tiba. Namun suasana Ramadan tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya. Itu tengah dirasakan gadis yang sedang menunggu kolak pisang matang.

Tidak tahu apa yang salah, Naira berpikir apa orang-orang juga merasakannya? Ramadan terasa bukan bulan Ramadan. Berpuasa, tetapi terasa sedang tak berpuasa—meski rasa lapar itu ada, dan haus mengeringkan kerongkongan.

Karena terus merenung, kolak pisang di panci sudah hampir kering. Berakhir gosong jika Naira tidak segera mematikan kompor.

Dilihatnya jam dinding. Sudah pukul lima, saatnya memasak nasi. Naira beranjak dari posisinya berdiri, melupakan sejenak pemikirannya soal suasana Ramadan yang berbeda.

"Hanya bulan puasa saja, azan magrib terasa lebih istimewa. Terus Niko selalu menunggu magrib, hahaha...."

Tawa si bungsu pecah oleh canda yang ia buat sendiri. Kedua orang tuanya hanya menggeleng sebentar setelah duduk di kursi meja makan. Putra mereka memang menggemaskan pada waktu tertentu.

"Jadi kalau bukan bulan puasa, magrib nggak istimewa?"

Naira tiba-tiba bersuara—menaruh ikan goreng yang selesai dibuatnya bersama sayur asem—tertata rapih di meja makan.

"Nggak gitu juga, Kak. Cuma... kalau bulan puasa, pas bedug, berarti Niko bisa minum. Kasihan dong tenggorokan Niko, kering dan gersang."

"Kamu bicara apa, sih?"

Naira tidak merasa tergelitik sama sekali atas kalimat si adik. Kelakar Niko garing.

Suara azan dari televisi terdengar selaras azan yang berkumandang dari masjid dekat rumah Naira.

"Alhamdulilah...."

Keluarga kecil itu mengucap penuh rasa syukur. Niko—bocah berusia 10 tahun ini langsung meraih gelas berisi sirup yang sejak tadi sudah menggodanya. Diminum habis sampai tandas sirup tersebut, kemudian mengeluarkan napas lega seperti orang dewasa.

Berbeda Niko, lain pula Naira. Gadis itu justru termenung kembali. Mengapa berbuka pun terasa biasa saja? Naira tidak bisa merasakan kenikmatan berbuka.

"Ibu, Ayah." Naira tidak bisa memendam lebih lama, lebih baik bertanya, kan?

"Kamu belum minum?"

Sang ayah melihat gelas yang masih penuh di hadapan putrinya—tidak begitu menanggapi panggilan Naira.

"Belum."

"Kalau begitu cepat minum, tapi jangan lupa baca doa buka puasa dulu." Ibunya menyela.

Naira menatap kedua orang tuanya bergantian, lalu mengeluarkan pertanyaan yang sempat tertahan—mengabaikan sejenak perintah ibunya.

"Ayah, Ibu, kok aku merasa... puasa tahun ini berbeda ya, dari puasa tahun-tahun lalu?"

"Berbeda bagaimana, Nai? Buka puasa masih magrib. Imsak sahur tetap pukul empat lewat." balas ayahnya.

"Bukan itu. Nai juga tahu kalau waktu berbuka dan imsak masih sama. Tapi Nai rindu suasana Ramadan tahun-tahun lalu. Nai selalu menikmatinya, Ayah. Tahun ini nggak seperti bulan Ramadan. Nai menjalani puasa seolah bukan di bulan Ramadan," jelas Naira, membuat kedua orang tuanya saling pandang—entah dengan arti apa.

"Niko juga merasa begitu, Kak." Bocah laki-laki yang selalu dianggap kecil di rumah ikut berbicara. "Ahh... Niko tahu, pasti gara-gara Niko sering lihat teman sekelas minum. Teman Niko nggak puasa."

Rentetan kata ceriwis Niko hanya dapat kacang dari Naira. Ya, kakak perempuannya mengabaikan Niko. Naira hanya ingin mendapat tanggapan dari ayah atau ibunya.

"Teguran kecil. Kamu lagi ditegur sama Allah."

Naira mengerutkan dahi sebagai tanggapan tidak mengerti dirinya atas kalimat sang ayah.

"Ayah sering melihat kamu jarang tarawih sesudah berbuka. Walau sembahyang tarawih hukumnya sunah, tapi Ayah lihat kamu lebih banyak meninggalkan daripada melaksanakan tarawih itu sendiri. Ayah juga memerhatikan kamu yang kebanyakan meninggalkan sembahyang subuh setelah sahur. Kamu justru memilih untuk tidur. Menurutmu, kenapa kamu merasa bulan Ramadan tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya?"

Naira bungkam. Apa yang ayahnya katakan adalah rangkaian kebenaran, Naira tak mungkin menyangkal. Sehingga kalimat jelas dari ayahnya menjadi jawaban.

"Ayah rasa, itu karena kamu yang semakin tahun semakin malas, Nai. Terlalu masa bodoh. Makanya Allah mencabut kenikmatan bulan Ramadan padamu. Bulan puasa bukan hanya mengendalikan lapar dan haus saja. Kamu juga harus mengendalikan diri kamu sendiri. Bebaskan dirimu dari kemalasan. Mengerti maksud Ayah?"

Naira meringis—memikirkan kalau semestinya sebelum berasumsi sesuatu, harus tahu sebab mengapa dirinya berpikir demikian.

"Naira mengerti, Ayah...."

Hanya itu, Naira tidak dapat banyak melontarkan kata ketika rasa bersalah dan kesadaran datang bersamaan.

Terpatri senyum lembut dari sang ayah. "Nah, sekarang kita sembahyang maghrib berjamaah, ya? Setelah itu baru makan. Insya Allah, setelah Nai kembali dekat dengan Allah, kenikmatan Ramadan juga akan kembali pada Nai."

"Iya, Ayah." Naira menurut, segala apa yang ayahnya katakan memang benar. Segera beranjak dari duduk—menuju kamar mandi untuk berwudu, si pengganggu kecil sudah lebih dulu menguasai kamar mandi.

"Aku wudu duluan, Kak!" seru Niko yang entah mengapa cepat sekali berada dalam sana.

"Dasar Niko!" teriak Naira.

Biarkan, adik kakak itu memang sudah biasa bertengkar kecil, namun berdampak manis di mata kedua orang tua mereka.

---

"Bebas bukan berarti dapat melakukan sesuatu dengan suka hati, semua sudah memiliki aturan tersendiri. Manusia hidup selalu dihadapkan dengan aturan-aturan."

.
.
.

Bogor, 12 Mei 2019

D-24, 11 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro