☘10. Permintaan Adrien☘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil hactback yang dikendarai Nora akhirnya terparkir di halaman kafe di kawasan Universitas Brawijaya. Kafe yang menjual berbagai kudapan dari Perancis untuk teman minum kopi, teh, atau jus itu milik Adrien. Kegemaran lelaki itu membuat pastry mulai terasah sejak SMP, saat gunjang ganjing di keluarganya mulai mencuat.

Begitu keluar dari mobil, Nora memantas diri terlebih dahulu di depan kaca jendela mobil yang memantulkan bayangannya. Liptintnya masih terpoles cantik di bibir karena sebelum berangkat ia sudah mengulasnya kembali. Setelah merapikan poni di dahi dengan jari, ia segera melangkah ke dalam kafe. 

Begitu masuk Nora disambut oleh etalase yang menyajikan berbagai macam cake yang menggubah selera. Berbagai macam varian croisant juga dijajakan dengan harga bersahabat. Yang paling disukai adalah Salted Caramel Latte Croisant. Tak hanya itu,  Adrien juga menjual bolen pisang yang sering dijadikan oleh-oleh saat para orang tua mengunjungi putra putri mereka yang berkuliah di Malang. 

Tempat yang didekorasi oleh Adrien sendiri sangat kental dengan nuansa biru, putih, dan merah seperti bendera Perancis. Tempatnya sangat homey dengan sofa yang selalu terjaga kebersihannya. Tak hanya di dalam, pengunjung bisa nongkrong di luar bila ingin merokok. 

Adrien memang menargetkan mahasiswa dan anak muda, sehingga ia memberikan fasilitas wifi dengan kecepatan tinggi. Maka tak jarang banyak mahasiswa yang nongkrong untuk mengerjakan tugas sambil memesan kopi atau camilan dengan rasa berkualitas yang tak memberatkan kantong.

Semua karyawan menyambut Nora dengan ramah. Tentu saja semua pegawai kafe itu mengenal kekasih boss mereka. Nora hanya membalas sekilas, karena matanya mengedar ke seluruh ruangan.

Setelah diberitahu oleh manajer kafe tersebut di mana Adrien berada, akhirnya Nora bergegas menuju ke area dapur khusus. Benar dugaannya, lelaki itu pasti berkutat dengan ulenan adonan. 

Kaki yang berbalut wedges itu melangkah ke dalam dapur yang bersih dan rapi. Di dalam, Adrien yang memunggunginya masih disibukkan menguleni tepung yang sudah agak kalis. Baju putih khas seorang chef melekat di raga kekarnya dengan mouth cover yang terpasang di depan mulutnya.

Nora berdiri di depan pintu yang baru saja ia tutup perlahan. Hatinya tercubit melihat Adrien yang kini mengulen adonan dengan penuh tenaga. Ia tahu kebiasaan Adrien bila tak enak hati, pasti akan mengaduk adonan untuk melampiaskan rasa marah. Namun, biasanya roti itu tidak akan dijual dan hanya dikonsumsi sendiri. Kata Adrien, bila ia menguleni dengan amarah, pasti akan berpengaruh pada cita rasa pastrynya. Padahal bagi Nora, rasanya sama-sama enak.

Melihat Adrien yang kepayahan, Nora mengambil tisu dari dalam tas, dan pelan-pelan mendekat saat Adrien terlihat sudah membungkus adonannya dengan kain lembab agar mengembang.

Nora memeluk badan kekar yang selalu wangi itu. Sepertinya hawa sejuk dari embusan AC tak mampu menyegarkan kegerahan di badan Adrien akibat aktivitasnya, karena punggungnya terasa basah.

Adrien terkejut saat badannya terhuyung ke depan. Ia menunduk menatap lengan yang melingkar di pinggang.

"Darling, jangan marah." Nora memeluk erat badan berotot yang berkeringat itu.

"Cherrie, jangan begini. Aku sedang bekerja."

Nora menggeleng. "Aku tahu kamu pasti melampiaskan kemarahanmu dengan membuat adonan. Maafkan aku, Darling."

Adrien menumpukan kedua lengan di atas tepian meja. Tubuh jangkungnya melengkung dengan wajah menghadap ke depan. "Cherrie, aku keterlaluankah? Karena aku nggak bisa segera melamarmu? Kamu tahu, bukan aku nggak mau ngelamar kamu. Tapi … tapi ….”

Adrien melepas kaitan tangan Nora. Ia berbalik dan menunduk memandang wajah bulat yang sangat ia sayangi. 

Nora mendongak, menyeka peluh di dahi Adrien, sambil berkata, “Tapi apa yang kita lakukan ini juga menyakitiku, Adrien! Kamu merenggut kesucianku tanpa ingin mengukuhkan hubungan kita di depan altar! Kamu anggap aku pelacur? Mau sampai kapan traumamu terhadap pernikahan? Mau sampai kapan kamu takut berkomitmen dan menggantungkan hubungan kita? Kenapa kamu menjeratku?!” Setiap kata yang keluar dari mulut Nora penuh penekanan dan mencabik hati keduanya. Gadis itu kemudian mencengkeram baju putih Adrien dengan wajah yang memerah.

Nora sangat paham Adrien belum bisa menghapus bayangan peristiwa perselingkuhan sang mami, yang berimbas perpisahan kedua orang tuanya. Ia selalu dibayangi kecurigaan sehingga berdampak pada sikap overprotektif dan posesif. 

Adrien tersenyum sendu. Ia menghapus air mata yang meleleh di pipi berisi Nora. “Kamu tahu Ma Cherrie, kalau kita menikah sekarang, kita nggak akan dapat restu Papa.”

“Itu hanya alasanmu! Mama Livia menyetujui hubungan kita," kilah Nora.

Adrien mendengkus. "Mama nggak ada andil membesarkan kami sejak ia memilih hidup bersama laki-laki lain!"

Adrien menangkup pipi Nora dan mengecupnya. "Demi kamu Ma Cherrie, aku ingin memberi pernikahan terindah yang membuat kamu enggan berpisah. Tidak seperti Mama yang dengan mudahnya meninggalkan Papa demi selingkuhannya."

Nora memeluk Adrien. Ia tahu lelaki itu jengah dengan kehidupan keluarganya. Sejak berpisah, Antoine Bolle, sang pengusaha di bidang perhotelan, menjadi sangat keras pada anak-anaknya. 

"Kali ini, Papa ingin jodohin aku dengan salah seorang anak kliennya untuk memperbesar skala usaha. Aku sengaja nggak kasih tahu kamu, takut kamu kepikiran. Ternyata Hosea malah datang lebih dulu."

Nora hanya bisa menganga dalam pelukan Adrien. Ternyata selama ini hubungan mereka ditentang oleh Antoine karena ambisi lelaki itu, sehingga Adrien tidak bisa segera melamarnya. Ah! Nora sungguh malu karena sempat meragukan Adrien dan mengira lelaki itu trauma untuk berkomitmen.

Adrien mendorong tubuh Nora. Ia tersenyum. "Kamu cantik pakai baju ini, Ma Cherrie."

Pipi Nora memerah. 

"Kamu sengaja menggodaku rupanya?"

Bibir Nora mengerucut, menyembunyikan senyum. "Darling, kamu sudah berjanji bukan, yang kemarin itu yang terakhir."

Adrien mengembuskan napas kecewa. "Iya, aku tahu."

Mata Nora memicing mendapati hal aneh di wajah Adrien. "Darling, sudut bibirmu kenapa?"

Adrien melengos. Ia tersenyum, tapi tak menjawab pertanyaan Nora. "Ayo, kita makan. Mau aku masakin tenderloin grilled steak?"

Nora mengangguk, tapi pikirannya masih tertuju pada luka di sudut bibir Adrien. Apakah papanya kembali melayangkan tinju pada lelaki itu? 

Kuduk Nora tiba-tiba meremang, membayangkan kerasnya pukulan Antoine.

***

Di sudut dapur, Nora duduk memperhatikan Adrien yang ahli meracik bumbu dan mengolah bahan di dapur. Lelaki itu sengaja mendalami pastry, walau ia juga ahli memasak makanan Perancis dan Indonesia. 

Nora selalu terpesona dengan cara Adrien meracik makanan. Gerakan tangannya sangat elegan saat ia menabur garam di atas tenderloin atau memutar pepper grinder. Cara memanggang di atas wajan grilled pun membuat Nora selalu berdecak.

"Kenapa nggak bikin bistro?" tanya Nora sambil duduk memangku dagu dengan fokus tertuju pada tangan Adrien.

"Repot. Aku suka nuansa kafe. Murah meriah untuk mereka yang ingin mewujudkan cita-cita." Tangan Adrien masih membalik daging yang sudah menguarkan harum yang membuat liur Nora terangsang.

"Tapi keahlian memasakmu sayang kalau hanya untuk membuat pastry saja," sahut Nora yang hanya bisa memasak air untuk membuat mie instan.

"Keahlianku memasak kan untuk memberi makan kamu, Ma Cherrie. Hanya kamu yang bisa menikmatinya. Nggak ada yang lain."

Nora terenyuh. Bibirnya melengkung dengan mata berkaca-kaca. Di depan Adrien, ia selalu bisa tampil apa adanya karena selalu dimanjakan.

"Soal Hosea … bisakah kamu mengalihkan kasusnya pada teman sejawatmu yang lain, Cherrie?" 

Suara sendok yang beradu dengan wajan menguasai sudut dapur khusus itu. Nora hanya termangu memandang pacarnya yang keposesifannya kadang di luar batas.

"Kamu harus ngerti profesiku, Darling. Aku seorang dokter." Nora berusaha memberi pengertian.

"Aku tahu. Hanya saja Hosea kan cowok yang kamu suka dulu. Aku nggak suka," ujar Adrien lirih.

Nora hanya bisa mengembuskan napas kasar. "Maaf, Darling. Aku harus profesional."

***

Di sisi lain, sepanjang hari ini Hosea terlihat gelisah. Bukan karena nyeri di mata dan bagian tubuh lain, melainkan karena lelaki itu penasaran dengan sosok Nora. Ia gemas sekali dengan penglihatannya yang hanya menampilkan gambaran buram wajah Nora.

Beberapa kali Hosea berdecak dan suaranya mampu didengar oleh pendengaran tua Jericho.

"Ada yang sakit, Hose?" tanya Jericho sambil menatap anaknya dari atas kacamata yang melorot di ujung hidung mancung.

"Nggak, Pi." Hosea mengembuskan napas untuk menepis rasa penasaran. Ini kali ketiga Jericho menanyainya. "Ehm, Nora itu … cantik kah?"

Alis Jericho mengerut. Ia melepas tablet dan meletakkan begitu saja di atas sofa. Tangan berkeriput itu membetulkan bingkai kacamata untuk memperjelas penglihatannya. "Cantik. Nora kan perempuan."

Hosea mengerucutkan bibir. Otaknya merangkai definisi cantik menurut standardnya.

"Hose, cantik itu nggak hanya yang bisa dilihat dari mata. Tapi juga yang bisa dirasakan oleh hati. Apa kata hatimu sekarang saat kamu nggak bisa melihat Nora? Apakah hatimu merasa dia cantik?" kata Jericho yang disambut kebisuan Hosea.

"Cantik itu bisa muncul dari hati. Inner beauty. Dan kita yang berinteraksi dengannya akan nyaman. Ah, beruntung betul pacarnya Nora."

Seketika hancurlah hati Hosea. Ternyata Nora sudah punya pacar. Getaran di batinnya yang mampu mengalihkan rasa kecewa akibat putus dari Lyla itu berubah seperti getaran gergaji yang mencabik hati. 

"Suara Nora … suara Nora mirip Mami," kata Hosea kemudian.

Jericho terkekeh. "Kamu akan terkejut bila melihatnya, Hose. Nora … dia gadis spesial. Definisi cantik seperti mamimu akan kamu temui dalam dirinya."

Cantik seperti Mami? 

Sungguh, Hosea memuja sang Mami. Hanya Lyla yang kecantikannya menandingi maminya, dengan body seperti alam yang siap untuk dijelajah dan senyuman sehangat mentari pagi.

💕Dee_ane💕






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro