☘9. Curhat Sahabat☘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjelang malam, Hosea kembali sadar dari efek narkose umum. Walau nalar mulai kembali ke otak, tapi kepalanya masih terasa ringan. Ia juga belum bisa membuka kelopak mata karena masih tertutup kasa dan plester.

Rasa nyeri sedikit berkurang pada bola matanya. Mungkin karena obat pereda nyeri yang langsung diberikan bersama cairan infus itu sudah bekerja. Setidaknya janji Nora, sang dokter mata terpenuhi karena bisa memberikan tindakan dengan nyeri minimal.

"Pi," panggil Hosea karena tak mendengar suara apapun di kamar itu.

Jericho yang membaringkan raga tuanya di sofa bed buru-buru bangkit. Rasa kantuk seketika lenyap. Dengan tergopoh, lelaki itu mendekati ranjang anaknya berbaring.

"Ada apa, Hose? Kamu sudah sadar?"

"Pening, Pi. Kepalaku ringan," ujar Hosea.

Jericho menepuk pundak Hosea. "Tenang. Sudah sewajarnya. Pasti besok sudah baikan."

Hosea hanya mengangguk pelan. 

"Sudah, tidurlah. Ini sudah jam 10." Jericho membetulkan letak selimut Hosea seperti memperlakukan seorang anak lelaki kecil. 

Hati Hosea menghangat dengan perhatian Jericho yang tidak terlihat namun bisa ia rasakan. Dalam hati ia berjanji tidak akan menjadi anak durhaka yang selalu melawan sang papi.

***

Pagi ini, Nora bangun lebih pagi. Dia mengecek gawainya lebih dulu. Tidak ada pesan dari Adrien seperti biasa.

Nora hanya mengembuskan napas. Selalu seperti ini bila Adrien cemburu. Bagaimana bisa mereka putus? Bahkan bulan lalu Nora kelabakan karena terlambat datang bulan.

Bila seperti ini, ia kesal sekali dengan Adrien. Lelaki itu menjeratnya karena merenggut kesuciannya. Keputusan salah yang paling besar diambil oleh Nora saat ia terlena oleh bujukan Adrien. Kini semua sudah menjadi bubur. Kenyataan Nora tidak perawan, sudah tidak bisa dihapuskan

Dengan cekatan, jari jempol Nora mengetikkan pesan. "Darling, apa kabar? Aku sayang kamu."

Nora mendengkus. Selalu seperti ini kalau mereka bertengkar. Ya, seharusnya ia tahu tabiat Adrien. 

Ia kemudian mengetikkan pesan lagi. "Aku nanti ke cafe sepulang dari rumah sakit. Nantikan aku, Dadar Guling."

Setelah mengetikkan pesan, Nora segera bersiap menuju rumah sakit Lovelette. Rumah sakit itu tidak jauh dari rumahnya. Hanya lima belas menit perjalanan dan Nora sudah sampai di area parkir dokter di gedung E.

Begitu keluar dari mobil, kakinya melangkah cepat menuju gedung C untuk memeriksa Hosea. Hari ini tampilan Nora tidak seperti biasa. Kali ini ia mengenakan blus biru muda  dipadukan dengan rok floral warna senada kesukaannya. Sepatu wedges membungkus telapak kaki kecilnya. Sebuah tas terselempang di bahu kanan dan tangan kirinya membawa sneli. 

Kuciran ekor kudanya bergoyang seiring langkah kaki Nora berjalan melewati dua gedung. Ia akan melakukan visite pasien rawat inap dahulu sekaligus untuk melihat perkembangan Hosea.

Sejurus kemudian, ia keluar dari lift yang membawanya ke lantai 8 di mana ruang VVIP berada. Beberapa paramedis yang berpapasan memberi salam dengan tersenyum atau membungkukkan sedikit badan dengan hormat saat ia keluar dari bilik itu

Setelah sampai di meja perawat jaga, Nora menyapa dengan suara renyahnya. "Pagi!"

"Pagi, Dok!" balas perawat yang ada di situ.

Nora masuk ke nurse station. Ia meletakkan tasnya dan mengambil buku catatan untuk mencatat perkembangan pasien sebelum ia input di aplikasi e-medical record setelah visite.

"Gimana perkembangan Pak Hosea semalam ini?" tanya Nora sambil memakai sneli.

"Tanda vitalnya bagus, Dok. Tensi udah turun, suhu normal, denyut nadi dan laju napasnya dalam batas normal. Pasien juga muji Dokter loh. Katanya Dokter hebat karena menepati janji nggak bikin sakit pas tindakan," goda sang perawat.

Nora membalikkan badan, berpura-pura mencari cermin. Padahal ia sedang menyembunyikan pipi kemerahan seperti cerinya. Sambil merapikan sneli, ia berbalik.

"Kan selama tindakan dibius. Habis itu dikasih analgesik. Ya nggak nyeri lah." Begitu sudah bisa menguasai ekspresinya, Nora berbalik.

Perawat itu membeliak. "Dokter kok terlihat lain? Biasanya pakai scrub aja."

Kali ini pipi Nora memerah. 

"Iya, habis ini kencan." Nora memang tidak berbohong karena ia memang sengaja memakai baju ini karena akan menemui Adrien yang menyukai dia memakai rok dan blus selepas dari rumah sakit. 

"Kencan sama pasien?" celetuk perawatnya.

Nora mengulum senyum mengeluarkan stetoscope dari dalam tasnya. "Pasien siapa?"

"Mas Hose."

"Ishh, dia kan teman SMA ku. Dia aja ngga ngeh aku yang mana. Ayo, habis ini aku ada jadwal op lagi."

Entah kenapa ia merasa canggung saat melangkah menuju ruang rawat inap nomor 7. Ia memang sedikit bersolek. Tapi jelas itu untuk Adrien, karena setelah bekerja ia akan menjelaskan kesalahpahaman itu. Namun, tak dipungkiri, bertemu Hosea menimbulkan kesan tersendiri. 

Pertemuannya kembali dengan Hosea seolah memaksa Nora untuk masuk dalam dunia Hosea yang sangat asing. Ia hanya tahu bahwa Hosea seorang lelaki yang mempunyai kegemaran mengeksplorasi alam. Namun, begitu mengetahui masa lalu yang membuat Hosea ketakutan terhadap tindakan medis, membuat Nora yang gampang terenyuh itu merasa iba.

Pintu diketuk oleh seorang perawat. Tanpa menunggu dibukakan, perawat itu membukakan pintu bagi Nora. Saat itu Hosea sedang makan dengan disuapi oleh sang papi. Sebuah pemandangan yang aneh karena interaksi dua lelaki itu terlihat kaku.  

"Selamat pagi! Wah, sudah lahap makannya," sapa Nora.

Hosea terkesiap saat mendengar suara Nora yang khas. Ia mendorong overbed table dengan wajah memerah. Lelaki itu merasa citranya sudah hancur lebur di depan Nora.

"Hose, ayo tinggal dua suapan lagi. Aaaa …." Mulut Jericho menganga lebar seolah menganggap Hosea adalah anak kecil.

Hosea berdecak. Bisa-bisanya sang papi memperlakukannya seperti balita di depan Nora.

"Papi, cukup!" desis Hosea dengan bibir yang bergetar.

"Sudah dihabisin dulu makannya. Yo opo, Sam, umak iso turu ga?" tanya Nora dengan logat Malangan agar tidak membuat canggung.

Hosea hanya mengangguk. 

"Ayo, dimakan lagi. Itu tinggal dua suapan loh."

Pipi Hosea semakin merona. Suara Nora itu entah kenapa membuat hatinya berdesir. Kadang renyah, kadang tenang. Amemperdengarkan nada keibuan yang selama ini selalu Hosea rindukan.

Mau tidak mau, Hosea menghabiskan sisa dua suapan. Sementara itu, Nora mengambil gelas air mineral dan menusukkan sedotan.

"Om bisa istirahat?" tanya Nora mengisi kekosongan topik.

"Bisa. Setidaknya Hosea bisa nyenyak tidurnya. Semalam sempet ngeluh pening, tapi katanya hari ini lebih seger."

Nora mengangguk. 

Mengetahui Hosea sudah menelan makanan terakhirnya, ia menyodorkan air minum. "Minum dulu."

Sebutir nasi tertinggal di bibir sebelah kanan Hosea. Nora secara refleks mengambil butirannya. Tangan lembut itu menyapu kulit di atas bibir yang sudah kasar karena belum bercukur. 

Dengan kaku, Hosea menurut dan menyelipkan sedotan di bibirnya. Ia menghisap cairan bening itu. 

"Sudah?" Suara Nora begitu lembut bertanya seperti seorang ibu pada putranya.

Hosea hanya mengangguk. Sepertinya lidahnya kini ikut kaku sehingga tidak bisa menggetarkan kata-kata.

"Kita periksa dulu ya?" Nora memakai maskernya lalu bergegas ke wastafel untuk mencuci tangan sebelum mengenakan sarung tangan karet ukuran S.

"Hose, aku buka plesternya. Mungkin awalnya silau. Katakan saja apa yang kamu rasakan. Ehm?" Kedua alis Nora terangkat.

Dengan hati-hati, Nora melepas plester yang melekat di kulit sekitar mata kanan Hosea. Seketika terlihatlah kelopak yang sedikit bengkak. 

"Coba buka matanya," titah Nora.

Dengan perlahan, Hosea menuruti perintah Nora. Kelopak matanya terangkat memperlihatkan sklera mata yang merah. Hosea belum bisa menangkap bayangan benda di depannya. Semua buram walau sudah terlihat bentuknya.

“Sakit?”

“Nggak sih. Tapi masih buram,” kata Hosea dengan kecewa. 

“Tenang. Nanti akan ada perbaikan.” Kemudian, setelah melakukan pemeriksaan lanjutan, Nora memasang kembali kasa dan plester.

***

Pagi tadi setelah visite, Nora sempat memberi pesan pada Lana tentang kemarahan Adrien karena tidak memberitahu tentang Hosea. 

Nora tahu kekasihnya begitu protektif dan posesif. Padahal ia sudah berjanji pada Jericho akan memberikan perawatan yang terbaik bagi Hosea. Kini gadis itu galau, apakah untuk kontrol selanjutnya ia alihkan pada teman sejawat yang lain?

Saat Nora sedang termenung sambil membasuh tangan yang berbusa sabun, Lana datang ke poli mata. Karena letak poli yang bersebelahan, memudahkan mereka saling berkunjung dan curhat.

"Nora!" Nora terlonjak mendengar suara cempreng gadis yang over tenaga dan semangat itu.

"Gimana? Gimana? Coba cerita," pinta Lana tak sabaran.

Nora tak langsung menjawab temannya yang heboh. Dengan tenang ia mengambil paper towel untuk mengeringkan tangan kemudian menutup kran. Ia kemudian duduk di depan Lana yang sudah menggoyangkan kaki saking tidak sabar.

"Adrien marah, Lan. Gimana dong? Sedari pagi dia nggak bales pesenku," kata Nora lesu.

Lana berdecak. "Ya kamu sih, kenapa nggak cerita aja. Kan ngambek si pisang bolen," ujar Lana yang bukannya menenangkan hati Nora justru membuat wanita itu kian gundah gulana. "Terus kamu mau gimana? Bujuk dia duluan lagi kayak yang sudah-sudah?"

Nora menelan ludah kasar. Membujuk Adrien artinya bisa berakhir dengan urusan "pisang"nya anak kedua keluarga Bollen. Tapi sepertinya Nora juga sudah menyiapkan diri dari awal  dengan berpenampilan lain saat akan menemui Adrien usai pelayanan nanti.

"Lana, aku murahan banget ya? Jujur, aku takut putus sama Adrien karena kami kaya udah keiket gitu. Terlebih Adrien nggak juga ngelamar, bikin aku galau." Nora menggigit bibir. "Ngapain sih Hosea pakai acara nongol di sini? Bikin keruh aja."

Lana menggengam punggung tangan. "Kamu nggak murahan, Ra. Memang dasar si pisang bolen aja yang kelewat menggoda iman," hibur Lana yang membuat Nora sedikit tenang. Lana paling tahu tentang dirinya walau sebenarnya Lana selalu mengingatkan agar tidak mengulangi lagi atau segera menghalalkan hubungan mereka.

"Bahas-bahas soal pisangkan. Aku juga mau cerita sesuatu," tambah Lana.

"Gimana?" tanya Nora berusaha menepis gundahnya.

Tubuh ramping Lana condong ke depan dengan wajah malu-malunya sebelum berkata, "Masa tadi Jeffrey kasih pisangnya ke aku."

"Hah, pisangnya Jeff?" Nora mengerjap membayangkan hal lain.

Lana gelagapan, tersadar ada yang salah dari ucapannya. "E--eh m-maksudnya pisang dari jeffrey," ralatnya.

"Ah, pisang buah? Kupikir ..." Pipi chubby Nora memerah. "Tumben Jeff perhatian. Biasanya kek kulkas gitu. Dingin."

"Jangan pikir pisang yang lain. Jeff  udah nikah, masa iya aku lahap pisang suami orang." Wajah Lana terlihat kusut. Ia menyandarkan punggungnya drngan kasar di sandaran kursi. 

"Kenapa dunia sesempit ini ya, Ra. Bisa-bisanya dia nikah sama orang yang pernah bully aku waktu SMA."

"Udah, Lan. Cowok masih banyak. Kamu loh cantik, body oke, pinter, dokter gigi spesialis pula. Bakal banyak yang akan ngantri," hibur Nora. "Tapi heran juga ya, kenapa kita mesti ketemu sama orang yang menyakiti kita di masa lalu. Aku ketemu Hosea. Dan kamu ketemu Jeff sehingga harus inget lagi sama orang yang bully kamu," hibur Nora.

"Nggak tau, Ra. Semesta suka ngadi-ngadi emang. Belum siap patah hatiku sembuh dari Putra, justru ketemu sama Jeffrey dan istrinya pula."

Sungguh, ajaib pertemanannya dengan Lana. Mereka sama-sama bertemu masa lalu mereka yang menyakitkan. Setelah sesi curhat siang itu, Nora segera bangkit untuk menemui Adrien di cafenya.

Selama perjalanan menuju parkiran, hati Nora gundah. Sungguh, gadis itu takut berpisah dengan Adrien. Akankah hubungan mereka kusut karena datangnya Hosea? Nora hanya bisa mengembuskan napas pasrah.

💕Dee_ane💕💕

Mau kenal lebih dalam karakter Lana n Jeffrey? Yuk, ikutin di worknya Tiara Batari kumbangmerah di Anomalove

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro