43-Salat Malam Perdana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Keindahan rupa memang mampu menyejukan mata, tapi hal itu takkan pernah bisa mendamaikan ketenangan jiwa."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Memimpikan bersanding dengan laki-laki yang paham akan ilmu agama bukanlah sebuah cita-cita. Jangankan untuk memimpikan, mengharapkannya saja otakku tak pernah kesampaian. Kenapa? Karena aku tahu diri. Seorang pendosa sepertiku mana bisa mendapatkan jodoh terbaik.

Menginginkan pria yang memiliki akhlak serupa dengan Baginda Nabi tapi lupa untuk berkaca diri. Sudahkah menjadi cerminan diri dari Ibunda Khadijah? Bukankah Allah sudah menjelaskan bahwa perempuan baik hanya untuk laki-laki baik, begitupun sebaliknya.

Dan sekarang aku merasa tertampar dengan ucapanku sendiri. Allah menyandingkanku dengan Arda, seorang lelaki biasa yang memiliki kadar ketampanan di bawah rata-rata, berpenampilan sederhana cenderung norak, dan pastinya memiliki kemampuan finansial yang jauh dari standar normal.

Entah harus bersyukur atau malah sebaliknya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah aku resmi dan benar-benar sah menyandang status sebagai istrinya. Tak ada lagi drama ataupun kebohongan yang ingin kuperbuat, dan kuharap dia memang benar-benar jodoh yang tepat dunia akhirat. Mungkin dengan bersamanya aku bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi. Semoga ini bukan hanya sekadar harap semu yang bertahan pada saat ini saja. Aku harus meyakinkan diri sendiri bahwa memang dialah pasangan yang sudah Allah gariskan.

Kebiasaanku yang selalu tidur larut malam dan terbangun telat pada saat pagi hari sepertinya kini sudah mulai tidak berlaku lagi. Arda membangunkanku tepat jarum jam berdenting di angka tiga dini hari, padahal aku baru tidur sekitar empat jam saja. Rasa kantukku belum terobati tapi dengan tidak tahu diri dia malah melakukan hal yang menggangu ini. Ingin rasanya memaki dan memarahi, tapi kuurungkan  karena mendengar alasannya yang sedikit bisa kumengerti.

"Kita salat malam jama'ah." Itulah kalimat yang dia jadikan sebagai tameng. Dengan langkah malas dan lunglai aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka sekaligus mengambil air wudu, sedangkan Arda menyiapkan perlengkapan salat yang akan kami gunakan.

Aku sama sekali tak tahu tata cara salat malam dan bagaimana bacaannya tapi kalau bertanya aku malu juga. Dan alhasil aku hanya akan mengikuti saja, untuk perihal bacaan mungkin bisa diwakilkan. Beginilah risiko menikah dengan lelaki taat beragama, aku pun dituntut untuk tahu segalanya. Padahal aku sangat awam dalam hal tersebut.

"Ganti bajunya, Dar. Masa mau menghadap Allah pake baju tidur," titahnya yang membuatku mendengkus kasar. Sangat ribet sekali. Lagi pula aku salat menggunakan mukena, tidak hanya sekadar baju tidur saja.

"Ada mukena yang nutupin baju tidur gue, Arda!" sahutku dengan nada kesal dan jutek. Nyawaku saja belum terkumpul dengan sempurna dan dia dengan seenak jidat memerintah ini dan itu.

Semakin hari dia semakin melunjak, padahal ini adalah hari perdanaku menyandang status sebagai istrinya. Dia terlalu keras dalam mengajariku perihal agama, seharusnya tidak langsung seperti ini. Aku belum siap dan masihlah kaget dengan segala jenis kegiatan ibadah yang mungkin sudah menjadi rutinitasnya setiap hari.

"Kamu bisa berpakaian bagus dan rapi saat ingin bertemu dengan orang-orang yang kamu anggap penting, tapi pada saat kamu akan menghadap Allah kamu hanya menggunakan pakaian biasa saja, dan itu pun bekas kamu tidur. Apa itu gak kebalik, Dar? Pake pakaian terbaik yang kamu punya, setidaknya saat hari perhitungan kelak di akhirat baju itu bisa bersaksi, 'Aku sudah pernah dipakai beribadah kepada-Mu Ya Rab.' Kalau hidup mau bener perbaiki dulu hubungan kamu sama Allah, terlebih ibadah salatnya," terang Arda panjang kali lebar.

Aku menghela napas panjang dengan kedua kaki yang kuentak-entakkan ke lantai. Kenapa dia sangat menyebalkan? Sifat aslinya mulai naik ke permukaan. Aku muak dengannya. Antara ikhlas tak ikhlas aku mengikuti titahnya untuk berganti pakaian, mengambil sebuah ghamis yang berada di almari lalu memakainya di kamar mandi. Entah sejak kapan baju gombrong ketinggalan mode itu menjadi primadona di dalam lemari. Mungkin Mamah yang sengaja membeli dan menaruhnya di sana.

"Sudah?" tanyanya memastikan. Aku berdehem cukup kencang sebagai jawaban. Memakai dengan kecepatan kilat mukena dan segera berdiri di belakangnya.

Entah sadar atau tidak mendadak perasaan dongkol dan kesal yang kurasakan menguap begitu saja hanya karena mendengar suara takbir yang Arda gaungkan. Hatiku sangat tenang dan damai mendengar lantunan demi lantunan ayat suci Al-qur'an yang dia perdengarkan. Di tengah keheningan malam seperti ini memang sangat pas untuk dijadikan sebagai waktu perenungan dan pengakuan akan dosa-dosa yang telah dilakukan.

Ini adalah kali pertama aku terbangun pagi-pagi buta dan menjalankan salat tepat di sepertiga malam terakhir. Dan yang lebih membuatku tak percaya ada seorang imam yang berada di depan sana. Mengimamiku salat dalam keheningan dan penuh ketenangan. Sampai pada akhirnya suara salam itu menguar ke indra pendengar, tanda salat telah usai dilaksanakan. Dengan refleks kedua tanganku menengadah mengaminkan doa yang tengah Arda panjatkan.

Selepas salat Arda tak membiarkanku kembali terlelap dan bercengkrama dengan kasur serta selimut tebal, dia malah mengajakku untuk membaca Al-qur'an. Dia menjadikan waktu Subuh yang tinggal beberapa jam lagi sebagai  alasan agar aku tetap terjaga. Membaca satu huruf saja pahalanya 10, apalagi kalau sampai bisa membaca satu juz Al-qur'an, atau lebih bagusnya lagi mengkhatamkan, menghafalkan, dan mengamalkannya. Begitulah yang dia tuturkan dan mau tak mau aku mengikuti pintanya. Anggaplah sekarang ini aku tengah menjadi istri yang baik dan penurut, tapi sayang aku masihlah jauh dari kata itu.

Dia mulai hanyut dalam bacaannya dan aku dibuat mengantuk karena suara Arda yang terdengar seperti lagu penghantar tidur. Rasanya kedua netraku ingin segera terpejam dengan sangat rapat, tapi tepukan dan juga suara Arda berhasil membuyarkan semua itu. Jika tidak ingat kalau aku tengah belajar menjadi istri sungguhannya, sudah kumaki-maki dia. Tapi sayang hal itu hanya sebatas angan yang tak bisa kugapai, alhasil hanya deheman saja yang kujadikan sebagai respons.

"Jangan tidur, Adara sini tadarusan bareng," katanya. Aku menggeleng dan lebih memilih untuk merebahkan tubuh di atas sajadah.

"Ngantuk, Arda. Lo bangunin gue pas azan Subuh aja," gumamku setelah meletakkan tangan di bawah pipi. Aku meringkuk seperti bayi yang kedinginan.

Aku merasakan ada sebuah belaian lembut di puncak kepalaku. "Ya sudah tidur di kasur sana, nanti badan kamu pegal-pegal lagi," cetusnya yang masih samar-samar kudengar.

Hanya lenguhan yang kukeluarkan. Aku sudah kepalang nyaman dan enggan untuk berpindah tempat, lagi pula sebentar lagi juga azan akan segera berkumandang. Jika pindah ke ranjang alamat aku tidak bisa bangun.

Tak lama dari itu aku merasa tubuhku melayang dan secara otomatis kedua mataku kembali terbuka dengan lebar. Lancang sekali dia menggendongku tanpa izin. Aku meronta dan meminta Arda untuk menurunkanku, tapi dia sama sekali tak menghiraukannya. Kugigit bahu sebelah kanannya dengan sangat kencang dan membuat dia mengaduh kesakitan.

"Sakit, Adara!" pekiknya yang kubalas dengan putaran bola mata malas.

"Makanya turunin gue! Mendadak budeg yah lo." Arda menghela napas singkat dan segera menurunkanku.

"Masih belum berubah juga ternyata kamu, Dar," gumamnya dengan kedua tungkai berjalan ke arah pembaringan.

Aku mengintil di belakang lelaki itu dan duduk di tepian ranjang dengan tenang. "Ya sori keceplosan itu, gue harus membiasakan diri dulu kali. Kan gak bisa langsung berubah gitu aja, semua itu butuh proses dan gak mungkin bisa secara instans," terangku memberikan Arda sedikit pemahaman.

Terlihat anggukan kecil Arda berikan. "Iya, tapi bisa gak kamu ubah cara bicara kamu supaya terdengar lebih sopan? Gak enaklah, Dar kalau sampai didengar Mamah sama Papah."

"Maksud lo? Gue harus bermulut manis manja kalau ngomong sama lo. Gue geli, Arda!"

Arda menghela napas singkat. "Ya sudah terserah kamu saja," putusnya. Aku manggut-manggut sebagai respons.

"Lanjutin lagi sana ngajinya," ucapku setelah berhasil merebahkan tubuh di atas pembaringan. Dia diam tak memberikan balasan apa pun.

"Mas Arda!" panggilku lantas menutup seluruh tubuh dengan selimut untuk menyembunyikan wajah merah padam karena malu dan tak percaya diri saat memanggil dia dengan sebutan itu.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro