57-Arti Sebuah Kehilangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tak ada penghakiman dan juga saling menyalahkan, bahkan mereka secara terang-terangan memberikanku dukungan."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Kedua netraku terasa berat untuk terbuka tapi dengan perlahan aku mencoba untuk memaksakannya. Pandanganku tertuju pada ruangan yang didominasi oleh dinding berwarna putih. Aroma obat-obatan begitu menusuk indra penciuman. Rasa pusing di kepala ikutserta menambah kadar kesakitan yang kurasakan. Tubuhku terasa sedikit kaku dan perutku pun sakit dan kram. Kugerakkan tubuhku agar bisa bangkit dan duduk, tapi hal itu tidak bisa kulakukan karena sakit di perutku kian menjadi.

Suara pintu yang terbuka mengambil alih fokusku, di sana Mamah dan Papah berdiri dan berlari cepat menghampiriku yang masih lemah terbaring di atas ranjang pesakitan. "Ada yang sakit, Sayang?" tanya Mamah lembut saat beliau sudah mendudukkan tubuhnya di kursi kosong samping bed-ku.

Aku hanya menggeleng pelan. "Mas Arda mana, Mah?" tanyaku saat mulai sadar akan ketidakhadiran dia di sampingku. Bayangan akan kecelakaan lalu lintas tadi berkeliaran dan membuat kepalaku sedikit keleyengan.

Terlihat Mamah menarik kedua sudut bibirnya secara terpaksa. "Insya Allah semuanya akan baik-baik saja," tutur Mamah tak sesuai dengan keingingan hatiku. Bukan jawaban itu yang kumau.

"Jawab pertanyaan Adara, Mah! Di mana Mas Arda? Dia baik-baik aja, kan?" tuntutku dengan perasaan yang sudah kacau balau. Bahkan air mataku sudah mengalir tak kendali.

Mamah menggenggam tanganku yang terbebas dari selang infus. "Masih ditangani dokter, Sayang," lirihnya yang membuat tangisku pecah tak terbendung.

Mamah memelukku yang tak henti-henti meronta dan memukul dadaku yang terasa sesak serta sulit untuk bernapas. "Istigfar, Sayang. Insya Allah Nak Arda akan baik-baik saja," ungkapnya lembut dan menenangkan. Tapi hal itu sama sekali tak membuatku tenang.

"Adara mau lihat Mas Arda, Mah," pintaku di sela-sela isak tangis. Ini semua karena ulahku. Andai saja aku tak memintanya untuk berjalan-jalan ke Mall pasti kecelakaan tak diinginkan ini takkan pernah terjadi.

"Nanti yah, Nak setelah kondisi kamu agak mendingan," tutur Papah akhirnya buka suara.

Aku melepaskan rengkuhan Mamah dan menolak keras usulan Papah. "Gak! Adara mau sekarang, Pah."

"Turutin permintaan Papah kali ini saja," pintanya dengan nada memohon. Aku masih keukeuh tak mau.

Dengan tanpa aba-aba aku langsung menarik badanku agar bisa duduk tegak di atas ranjang. Tapi yang kurasakan malah sakit di sekitar perutku semakin menjadi. Rasanya sangat amat sakit dan terasa seperti ada yang menusuk-nusuk. Rasa sakit bercampur kram itu menjadi satu perpaduan yang begitu menggangu serta menyakitkan.

Aku tak bisa fokus pada kegiatan Mamah dan Papah yang terlihat cemas serta berusaha membunyikan lampu darurat yang menempel di dinding atas belakang brankar. Rasa sakit yang kurasakan lebih menyita perhatian. Tak lama pintu terbuka dan menampilkan seorang dokter serta dua orang perawat. Mereka meminta Papah dan Mamah untuk keluar, dan entah apa yang mereka lakukan padaku. Segala jenis pemeriksaan kujalani dan aku tak tahu menahu perihal kegiatan apa saja yang tengah mereka lakoni.

"Ibu Adara jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kondisi Ibu belum pulih benar," tutur dokter setelah pemeriksaan usai dilakukan.

Jantungku berpacu dengan kecepatan abnormal. Apa maksud dari perkataan dokter itu? Apakah sefatal itu akibat kecelakaan lalu lintas yang kualami, hingga membuatku kesakitan seperti ini.

"Ibu mengalami keguguran dan kami harus melakukan tindakan kuret untuk membersihkan rahim Ibu," jelasnya yang langsung membuat duniaku hancur berantakan.

Keguguran? Bahkan aku tak tahu kalau aku tengah mengandung. Napasku tercekat dan tanganku secara otomatis langsung tertuju pada perut rataku. Aku menghilangkan nyawanya, bahkan aku belum sempat menyadari akan keberadaannya. Ya Allah kenapa rasanya begitu sesak dan menyakitkan.

"Yang tabah yah, Bu. Kami permisi dulu," tutur seorang suster. Dan setelahnya mereka berlalu meninggalkanku seorang diri di ruangan ini.

Tangis tak mampu lagi kubendung. Sakit. Rasanya teramat sakit. Sesak di dadaku kian bertambah besar. Ribuan pedang terasa mencabik-cabik dadaku dengan tak beraturan. Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim. Kenapa semua ini harus menimpaku?

Terlihat Mamah kembali masuk dan langsung menghampiriku. Dengan lembut penuh kasih sayang beliau merengkuhku dalam dekapan hangatnya. "Adara pembunuh, Mah. Pembunuh!" teriakku kacau dengan air mata yang tak henti mengalir dengan derasnya.

Mamah menggeleng dengan tangan yang setia memberikan elusan lembut di punggungku. "Gak, Sayang. Ini semua murni kecelakaan," ungkapnya dengan suara lirih bergetar. Aku yakin beliau tengah menahan tangis agar tak pecah dan berbaur dengan tangisku.

"Adara bukan ibu yang baik! Bahkan Adara bodoh karena gak menyadari kehadirannya. Adara gak becus, Mah!" rancauku semakin tak terkendali.

Gelar sebagai seorang istri tak layak untuk kusandang, karena dengan teganya aku menjadi perantara terancamnya nyawa suamiku sendiri. Bahkan sekarang pun aku tak layak untuk menerima gelar sebagai seorang ibu, karena pada kenyataannya aku telah membunuh darah dagingku sendiri. Apa yang harus kukatakan pada Arda saat dia terbangun nanti? Apakah aku kuat dan bisa mengungkap kenyataan pahit ini. Ya Allah tolong bangunkan aku dari mimpi buruk menyakitkan ini. Dan sadarkanlah aku dalam keadaan baik-baik saja, seperti sedia kala. Sungguh aku tak kuat dan takkan mampu untuk menghadapi ujian dari-Mu.

"Adara istri dan ibu yang baik. Adara wanita kuat yang Allah pilih, Allah ingin mengangkat derajat kamu, Sayang," tutur Mamah setelah melepas rengkuhannya. Kedua ibu jari beliau begitu lembut menghapus cairan bening yang sudah tumpah ruah di sekitar wajahku.

Penuturan Mamah sama sekali tak membuatku tenang dan berbunga-bunga, hal itu justru menambah kadar rasa bersalahku pada Arda. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Beribu kata andai memenuhi kepala dan aku tak berhasil untuk mengenyahkannya.

Pintu ruang rawatku berdecit pelan, dan menampakkan Tante Annisa dengan wajah sendu, sembabnya. Aku tak kuat dan tak bisa melihat air muka beliau. Rasa bersalah itu kian naik ke permukaan. Aku bersalah dan berdosa pada beliau. Aku telah menyebabkan putra kebanggaannya harus terbaring tak berdaya di ruang ICU, dan sekarang aku pun telah melenyapkan calon penerus putranya, cucunya.

Aku harus menyiapkan mental dan hati jika kedatangan beliau untuk mencaci-makiku. Aku tahu aku salah, dan aku pun harus tahu diri serta mengakuinya. "Maafin, Adara Umi..." Air mata yang mati-matian kutahan akhirnya kembali tumpah saat melihat langkah beliau yang semakin mendekat padaku.

Tanpa dugaan Tante Annisa malah merengkuh tubuhku penuh kehangatan. "Maafkan putra Umi karena gak becus jaga kamu dan calon buah hati kalian," lirihnya yang malah membuat hatiku tersanyat sakit.

Bukan! Ini bukan salah Arda. Ini murni kesalahanku. Ini murni kecerobohan dan keegoisanku yang terlalu dibutakan dengan kesenangan dunia. Aku tak mampu mengendalikan napsuku hingga harus melibatkan Arda dalam kecelakaan ini.

"Adara yang salah, Umi! Adara gak becus jadi istri dan juga ibu untuk calon cucu Umi. Adara---" Aku tak kuasa untuk melanjutkan segala ungkapan dosa dan kesalahan yang sudah kuperbuat. Bibirku kelu dan dadaku semakin sesak.

"Adara jangan bicara seperti itu, Sayang. Ini adalah takdir yang sudah Allah gariskan. Adara harus tabah dan sabar," tutur Tante Annisa dengan senyum hangat meneduhkan.

Dengan lembut beliau menggenggam tanganku. "Adara harus kuat untuk diri Adara sendiri dan juga putra Umi. Kalau bukan Adara siapa lagi?"

Mamah mendekat dan mengelus pucuk kepalaku. "Jangan terlalu ralut dalam kesedihan, Adara masih punya orang tua dan mertua yang lengkap untuk dijadikan sebagai sandaran. Insya Allah jika Allah mengizinkan Adara akan kembali mengandung lagi," hiburnya dengan senyum ikhlas penuh ketulusan.

Betapa beruntungnya aku dikelilingi oleh orang-orang hebat dan baik seperti mereka. Tak ada penghakiman dan juga saling menyalahkan, bahkan mereka secara terang-terangan memberikanku dukungan. Di tengah rasa sakit yang kini mendera aku harus bisa bersyukur karena masih ada orang-orang seperti mereka.

"Keadaan Mas Arda gimana, Umi?" tanyaku menatap cemas ke arah ibu mertuaku. Beliau diam dan semakin mengeratkan genggamannya.

"Kita doakan yang terbaik yah, Sayang." Aku mengangguk kelu penuh kepasrahan. Tanpa diminta pun aku pasti akan mendoakannya, tapi aku takut Allah merenggut imamku. Rasa sakit akan kehilangan buah hati belum sempat terobati, dan aku pun tak ingin Dia kembali menarik paksa cahaya penerangku.

~TBC~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro