56-Menghabiskan Waktu Bersama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mungkin inilah yang dinamakan dengan kehabisan modal karena terlalu banyak berbelanja, alhasil tempat persinggahan untuk makan hanya di sebuah warung soto pinggir jalan saja."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Sesuai janji yang sudah Arda katakan satu bulan lalu akhirnya waktu gajian dia datang menghampiri juga. Awalnya aku menolak dan merasa tak enak hati kalau harus menghabiskan uang Arda hanya untuk kesenangan sesaatku saja. Tapi karena desakan dari Arda dan aku yang juga sudah gatal ingin menginjakkan kaki di pusat perbelanjaan akhirnya aku menurut dengan penuh kelapangan. Hari ini Arda masuk shift siang jadi dia mengajakku jalan keluar setelah Zuhur. Meskipun hanya bermodalkan kendaraan beroda dua saja aku merasa sudah harus berterima kasih karena kebaikannya. Aku harus banyak bersyukur dan tak boleh kufur.

Terlebih lagi akhirnya aku dan dia bisa menghabiskan waktu bersama. Ini adalah kejadian langka yang harus dirayakan. Dan aku pun dibuat senang, sedih, bercampur haru karena ternyata selama belakangan ini dia bekerja sampingan menjadi sopir ojeg online. Dia benar-benar peras keringat agar bisa membuatku kembali merasakan nikmatnya berbelanja dan menghabiskan uang. Tapi aku pun semakin tak enak hati karena ulahku yang tak tahu diri, dan membuatnya harus bekerja ekstra.

"Yakin nih, Mas aku boleh belanja apa aja yang aku mau?" tanyaku memastikan. Kami baru saja sampai parkiran dan akan segera menjelajah ke seluruh penjuru Mall.

Arda mengangguk dengan sebuah senyuman terbit di sana. "Iya, Adara." Mendapatkan lampu hijau seperti itu dengan tanpa malu aku langsung menggandeng tangan Arda untuk berselancar ke setiap penjuru toko. Tubuhnya menegang mendapat perlakuan tiba-tiba yang kuberikan, tapi tak lama dari itu dia bisa kembali menguasai diri.

"Kamu gak malu apa, Dar gandeng aku di keramaian kaya gini?" bisiknya yang mungkin risih dengan pandangan beberapa orang yang berpapasan dengan kami.

Aku menghentikan laju tungkaiku yang secara otomatis juga membuat Arda berhenti. "Malu? Buat apa juga malu toh yang aku gandeng suami aku kok. Sudah halal ini, gak ada larangan juga kan?" sahutku.

Arda melepaskan kaitan tanganku di lengannya. "Ini tempat umum, Dar kita harus bisa jaga sikap. Gak enak dilihat orang-orang, walaupun kita sudah halal tapi tetap saja kita gak boleh memamerkan kemesraan."

Aku sedikit memberengut kesal akan jawaban yang Arda berikan. Aku itu ingin seperti pasangan lainnya yang selalu tampil harmonis dan romantis. Mau bagaimanapun aku tak bisa mengingkari kalau aku merasa iri dengan mereka-mereka yang bebas mempertontonkan romantismenya di khalayak ramai. Jika dulu aku memang sangat menghindari hal semacam ini, karena statusku dengan mantan teman-teman priaku tidaklah jelas dan dilarang agama. Tapi sekarang lain cerita. Aku bersama dengan suamiku sendiri. Memangnya salah?

"Entah ada berapa banyak kaum jomlo yang berkeliaran di sini. Apa jadinya kalau mereka disuguhkan dengan pemandangan semacam tadi? Secara gak langsung kita bisa melukai hati mereka, atau bahkan kita bisa saja membuat mereka iri hingga mereka nekad untuk terlibat hubungan yang gak Allah ridhoi. Penyakit hati itu susah dicari obatnya. Kita harus pandai menjaga perasaan orang lain, karena yang hidup di dunia ini gak semuanya memiliki pasangan. Bukannya gak tapi belum lebih tepatnya. Kamu ngerti kan maksud aku?" paparnya menerangkan. Aku mengangguk paham.

Apa yang Arda katakan memang ada benarnya. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Aku saja sering terbawa perasaan jika melihat pasangan-pasangan di instagram yang terlihat sangat manis, harmonis, serta romantis. Mereka tanpa sungkan untuk saling bergandengan tangan, bahkan ada yang lebih dari itu, dan setelahnya rasa iri itu selalu datang menghampiri. Aku ingin merasakan berada di posisi mereka. Berangan-angan tentang kehidupan rumah tanggaku yang bisa seperti mereka. Dan hal itu membuatku lelah hati serta pikiran, akhirnya hanya rasa kecewalah yang kudapatkan.

"Maaf yah, Dar kalau perkataan aku menyinggung dan menyakiti kamu," katanya dengan diiringi sebuah sunggingan tipis.

Aku tersenyum di balik cadarku. "Gak usah pake acara minta maaf segala kali, Mas. Kamu gak salah kok, ini emang dasar akunya aja yang terlalu berlebihan," sahutku.

Kami kembali melanjutkan perjalanan dengan Arda yang setia mengintil di belakang. Aku sudah meminta dia untuk berjalan berdampingan denganku, tapi dia menolak dan berdalih ingin menjagaku dari incaran para mata lelaki kurang ajar yang diam-diam memperhatikan. Hangout-ku kali ini lain daripada yang lain, seperti tidak sedang menghabiskan waktu dengan suamiku tapi dengan seorang penjaga bayaran yang bertugas untuk melindungiku. Sangat terdengar lucu dan langka. Arda memang limited edition dan tak ada bandingannya.

Aku melihat sebuah toko pakaian muslimah dan memasukinya, deretan ghamis dengan berbagai model dan warna sudah berjejer apik menyapa mata, belum lagi khimar dan juga keperluan muslimah lainnya. Bahkan toko ini pun menjual pakaian couple yang bagus dan lucu-lucu. Sepertinya bukan ide buruk jika aku mengadopsi satu. Aku ingin melihat Arda tampil beda dari biasanya.

Pilihanku jatuh pada sebuah ghamis serta khimar berwarna navy dan ada beberapa aksen warna abu di beberapa sisinya. Lantas tak ketinggalan sebuah kemeja koko kekinian serta celana yang mungkin pas jika Arda kenakan. Aku tak sabar ingin melihat Arda berpenampilan trendy dengan pakaian yang kupilihkan ini.

"Bagus gak, Mas?" selorohku dengan alis yang sengaja kunaik-turunkan. Dia melihat dengan seksama pakaian couple yang berada di kedua tanganku.

"Aku gak suka ah, Dar. Kaya anak muda yang baru jatuh cinta saja pake baju samaan kaya gitu," sahutnya di luar dugaan. Dia memang sangat kuno dan tak bisa diajak gaul. Terlalu banyak bekerja dengan mesin-mesin jadi beginilah akibatnya.

"Ish kamu ketinggalan zaman banget sih, Mas. Ini tuh lagi musim tahu, banyak pasangan selebgram yang pake. Hape aja canggih tapi gak dimanfaatin dengan baik," cercaku.

Arda menghela napas pelan sebelum akhirnya menjawab, "Ya sudah beli itu satu saja yah, Dar." Aku menyambut gembira penuturan Arda. Dengan antusias aku langsung mendorongnya agar masuk ke ruang ganti dan menyerahkan pakaian yang berada dalam tanganku agar segera dia gunakan.

Sambil menunggu Arda selesai berganti pakaian aku pun melakukan hal yang sama di sebelah ruang ganti Arda. Setelah semuanya sudah melekat di tubuh aku langsung keluar dan mendapati wajah penuh keterpaksaan Arda. Rasanya aku ingin menyemburkan tawa melihat air muka kusutnya. Dengan refleks aku langsung menyeret tangan Arda agar mendekat ke arah cermin besar yang berada di pojok ruangan. Aku dan Arda berdiri tegak di depan cermin. Senyum lebar penuh kepuasaan tak pernah pudar di bibirku yang tertutup niqab. Sedangkan Arda justru memasang wajah yang berlainan dengan apa yang tengah kutampilkan.

"Mas tahu gak sedekah yang paling mudah dan murah itu apa?" ocehku yang dia sambut dengan sebuah cubitan di pipi sebelah kananku.

"Bilang saja kalau kamu mau lihat senyum manis aku. Gak usah pake kode-kodean, gak bakal mempan," sahutnya dengan memasang tampang hangat dan senyum lebar penuh keikhlasan.

Aku terkekeh mendengar jawaban yang Arda berikan. "Nah gitu kan enak dilihat," cetusku.

"Ganteng gak?" tanyanya. Aku mati-matian agar tak menyemburkan tawa menggelar.

Dengan sengaja aku meletakkan jari telunjukku di dagu dan memainkannya. Seolah-olah aku sedang berpikir seperti yang sering dilakukan oleh anak kecil. "Hm, ganteng gak yah? Ganteng aja deh biar kamu seneng," ucapku yang mendapatkan tepukan lembut di puncak kepala.

"Sudah mulai berani yah sekarang," tuturnya yang lagi-lagi kusambut dengan kekehan. Aku langsung kabur dan masuk ke ruang ganti. Menghabiskan waktu dengan kekasih halal ternyata sangat menyenangkan.

Kami kembali melanjutkan perjalanan dan mataku langsung jatuh pada sebuah barber shop. Ide cemerlang mulai muncul dalam pikiran. Aku akan merombak total penampilan kuno Arda.

"Gak ada yah, Dar. Jangan macam-macam ah, aku gak suka," tolaknya yang sudah seperti tahu isi kepalaku.

"Katanya mau dibilang ganteng, ya kalau mau ganteng rombak dulu dong. Janji gak bakal aneh-aneh deh," bujukku dengan kedua tangan yang kusatukan di depan dada. Tak ketinggalan aku pun memasang tampang menyedihkan agar bisa meluluhkan hatinya. Walau pada kenyataannya air muka yang kutunjukan takkan pernah mampu untuk dia lihat karena masih tertutup cadar.

Arda berdehem pelan yang kuartikan sebagai persetujuan. Tanpa babibu lagi aku langsung meminta pegawai barber shop untuk merombak gaya rambut Arda. Tak memerlukan waktu lama akhirnya Arda muncul dengan penampilan baru yang lebih segar dan agak lumayan. Sekarang saatnya aku ajak dia untuk ke salon. Mukanya sangatlah tidak terawat dan kusam, semoga saja dia tidak menolak dan mau-mau saja saat kupermak. Aku ingin membuat dia tampil beda dari sebelumnya.

"Ngapain kamu pake acara bawa aku ke salon segala? Jangan bilang kalau kamu---"

Dengan semangat 45 aku langsung memotong ucapannya, "Sudah jangan banyak tanya dan protes. Kamu tinggal duduk manis dan diem jangan banyak komentar."

"Gak ada gitu-gituan yah, Dar. Kamu apa-apaan sih!"

Aku tak menghiraukannya dan malah memanggil seorang pegawai salon untuk membuat tampang Arda lebih enak dipandang. Aku sengaja meminta pegawai pria, karena aku yakin Arda akan menolaknya mentah-mentah jika perempuan yang kutunjuk untuk meraba-raba wajahnya. Lagi pula aku pun tak akan ikhlas dan ridho jika suamiku dipegang-pegang oleh perempuan lain. Bukan mahram, gak boleh. Nanti Allah marah.

Lumayan cukup lama aku menunggu Arda yang masih ditangani oleh lelaki lemah gemulai yang mengaku namanya sebagai Laura. Arda pasti akan mengomeliku habis-habisan jika nanti dia sudah selesai di-treatment oleh pegawai tersebut. Urusan rambut dan wajah selesai dan sekarang giliran untuk membeli pakaian. Akan kupilihkan pakaian terbaik untuknya. Tadi aku hanya membelikannya satu pasang pakaian, dan mungkin sekarang akan kutambah lagi agar lebih banyak.

"Nah kan kalau kaya gini ganteng. Dikit sih, tapi lumayanlah," ungkapku saat sudah mendapati Arda yang tengah berdiri di depanku.

Arda diam tak membuka suara sedikit pun. Aku lebih takut mendapati reaksi Arda yang seperti ini, lebih baik dia marahi aku saja.

"Jangan diemin aku dong, Mas. Maaf yah," bujukku dengan tangan yang mencoba untuk menggapai lengannya.

"Maafin aku yah, Mas. Marah sama istri itu gak baik lho, Mas," sambungku yang membuat laju tungkainya terhenti sejenak.

Dia menghadap ke arahku lantas tanpa izin langsung menjawil hidung bangirku yang masih tertutup niqab. "Tahu ah. Gak bakal aku kasih uang belanja lagi tahu rasa kamu," katanya dengan memasang wajah songong dan tangan bersidekap dada.

Aku mengulum senyum sebelum berucap, "Bilang makasih dong sama istri matre yang baiknya gak ketulungan ini." Aku langsung berjalan meninggalkan dia yang berdiri sambil geleng-geleng.

Setelah puas berkeliling Mall aku dan Arda memutuskan untuk sejenak mengisi perut, tapi bukan di restoran mahal berbintang. Arda malah mengajakku untuk makan di pinggir jalan hanya dengan semangkuk soto dan segelas teh hangat. Aku menolaknya tapi dengan tegas dia tak mengikuti keinginanku.

"Tadi aku sudah menuruti semua kemauan kamu, jadi sekarang giliran kamu yang harus menuruti permintaan aku." Begitulah kalimat yang keluar lancar dari bibirnya.

Mungkin inilah yang dinamakan dengan kehabisan modal karena terlalu banyak berbelanja, alhasil tempat persinggahan untuk makan hanya di sebuah warung soto pinggir jalan saja. Mana tempatnya kecil dan penuh sesak lagi, tak ada AC sama sekali. Hanya ada kipas angin yang sudah tua dan mengeluarkan angin seadanya. Sepertinya Arda ingin membalas perbuatanku yang tadi mengerjainya habis-habisan.

"Ini gimana makannya coba, Mas? Susah kali makan pake cadar kaya gini. Bungkus aja biar kita bisa makan di rumah," pintaku yang menjadikan niqab sebagai alasan.

Arda yang tengah sibuk mengaduk-aduk soto mendengkus pelan. "Bilang saja kalau kamu gak biasa makan di tempat kaya gini. Jangan jadiin cadar kamu sebagai alibi."

Aku mencebik kesal dibuatnya. "Nyebelin banget sih, Mas!"

Dia hanya mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh lantas berujar, "Makan bukan malah bengong kaya gitu. Aku jamin 100 persen kalau makanan ini enak dan bersih." Dengan penuh keraguan aku mencicipi kuah sotonya. Lumayan juga rasanya dan tidak semengerikan yang tadi sempat kupikirkan.

"Lapar apa doyan? Sampai kuah sotonya nyiprat-nyiprat ke cadar. Pelan-pelan saja kali, gak akan ada yang serobot jatah kamu juga," ledeknya saat aku tengah menikmati semangkuk soto yang rasanya begitu enak dan menggiurkan.

Aku mengambil tissue dan menghapus cipratannya di cadar. "Bukannya dielapin atau apa gitu. Ini malah ngeledek, emang yah kamu itu gak ada romantis-romantisnya," kataku setelah membuang bekas tissue yang baru saja kugunakan ke tempat sampah.

Arda tak menyahuti perkataanku sama sekali dan malah sibuk dengan makanannya. Aku mendengkus kesal dan kembali melanjutkan ritual makan. Tak ada perbincangan lagi di antara kami, baik aku maupun Arda sama-sama fokus dengan makanan yang tersaji.

"Sudah belum?" tanyanya dengan tangan sibuk membereskan bekas makanku dan juga dia, bahkan lelaki itu mengelap meja yang tadi sempat ketumpahan kuah soto.

Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. Arda berjalan lebih dulu dan aku mengintil di belakang, dia membayar makanan yang tadi kami santap lantas setelahnya berjalan keluar untuk menuju parkiran. Bukan parkiran sih tapi lahan kosong depan warung tersebut.

Motor yang Arda kendarai berjalan lancar di atas aspal, tapi di tengah perjalanan aku baru sadar bahwa helm-ku tertinggal di warung soto tadi. Mau minta untuk putar balik tanggung sudah setengah perjalanan dan sebentar lagi Arda harus segera berangkat kerja.

"Mas helm aku ketinggalan di warung soto tadi," teriakku karena takut Arda tak bisa mendengarnya. Aku takut ada polisi lalu lintas yang ujung-ujungnya akan menilang kami berdua.

Dia menoleh ke belakang sejenak dan berkata, "Buka helm aku terus pake sama kamu."  Sontak aku langsung menggeleng tak setuju.

"Gak usah, Mas," tolakku.

"Buka Adara!" tegasnya yang mau tak mau langsung kuturuti. Dengan penuh keraguan aku melepaskan tali helm yang berada di bawah dagunya, lantas mencopot penutup kepala itu dan segera memakaikannya pada kepalaku.

"Gimana kalau ada polisi terus kita ditilang?" tanyaku takut. Seumur-umur aku tak pernah berurusan dengan aparat negara, dan jujur aku parno sendiri jika sampai hal itu terjadi.

"Kamu jangan khawatir. Pegangan saja yang kuat sama aku," katanya yang malah melantur tak jelas. Aku tak mengikuti titahnya, tapi tangan kiri dia menggapai tanganku secara bergantian agar melingkari pinggangnya.

"Jangan ngebut-ngebut, Mas aku takut," kataku saat merasakan laju kendaraan Arda yang berjalan lumayan kencang.

"Gak papa, kamu tenang yah," ucapnya dengan tangan kiri mengelus lembut kedua tanganku yang masih melingkari tubuhnya.

Dalam hati aku terus berdoa dan berharap bahwa aku dan Arda akan selamat sampai tempat tujuan. Laju motor yang kian kencang dan sudah mulai bergerak tak tentu arah membuatku takut bukan kepalang. Aku semakin mempererat kedua tanganku dan menumpukan dagu pada bahunya.

Perasaanku semakin kacau saat lampu merah menyala tapi motor yang Arda kendarai malah menerobosnya. Napasku naik turun dengan debar jantung yang sudah menggila tak terkendali. "Berhenti, Mas!" teriakku begitu kencang dan khawatir karena dari arah samping melaju sebuah truk bermuatan pasir dengan kecepatan tinggi.

"ALLAHU AKBAR!" Mataku terpejam dan tak kuasa untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Semuanya gelap dan hanya suara dua kalimat syahadat-lah yang terakhir kali kudengar.

"ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH, WAASYHADUANNA MUHAMMADAR RASUULULLAH."

~END/TBC~

Satu kata untuk bab ini?

Update satu jam lebih cepat dari yang aku janjikan tadi pagi yah, karena ada keadaan darurat. Kuota aku sisa paket chat doang, dan daripada ini gak ke up jadi aku pepet-pepetin buat up.

Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca, memberikan support dan dukungan. Semoga suka dengan kejutannya🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro