10. Racun

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku bersama Delaphine Scannel dan beberapa agen kelas B menunggu kedatangan Bayu Biru, serta mungkin Priaji Adhikara, dalam markas cabang pembantu milik Aliansi Makhluk Fantasi. Kami duduk bersebelahan dalam ruang rapat yang besarnya tidak lebih dari empat kali empat meter. Delaphine Scannel nampak membolak-balik buku catatannya sementara aku mulai merasa cemas karena jam dalam ruang rapat sudah menunjukkan pukul sembilan lebih sebelas menit.

Salah satu agen kelas B menyajikan dua gelas teh hangat, untukku dan Delaphine Scannel sebelum memberikan senyum dan beberapa kalimat penyemangat. Sungguh, aku merasa tidak bisa bersemangat meski mendapat ucapan semangat dari seluruh anggota Aliansi. Kalau bisa, aku ingin berhenti saja dari misi ini. Aku memang sudah mendapat sedikit pencerahan kemarin, perihal pemilihan rekan yang dilakukan Pemandu Ruh dan keuntungan yang berpihak pada Samsara sebab Bayu Biru berhasil meringkus dua rekan Pemandu Ruh kemarin. Tapi tetap saja, misi yang aku emban masih terasa tidak bisa diselesaikan.

"Menurutmu Priaji akan datang?" Delaphine Scannel tiba-tiba bertanya sambil mengaduk tehnya. Aku menggeleng memberikan jawaban yang aku sendiri tidak ketahui. "Aku bisa maklum kalau ia tidak datang, tapi tetap saja sayang sekali. ia pintar, kalau terkait dongeng-dongeng Nusantara."

"Kalau Priaji tidak kembali, aku berniat merekrut tahanan kita, Ananta Wisesa dan Calakuta Wening. Aku ingin Aliansi mempertimbangkan agar keduanya tidak diberi hukuman dengan syarat membantu pengamanan Pusaka Dewa sesuai perintahku." Aku sengaja mengatakan itu kepada Delaphine Scannel, sebab gadis pendek berkacamata itu dekat dengan Pak Pandu, orang yang saat ini berkuasa penuh atas jalannya Aliansi.

"Itu bisa diatur." Delaphine Scannel meminum tehnya. "Tapi aku tetap ..."

Kalimat Delaphine Scannel dipotong oleh kedatangan kawanku Bayu Biru. "Maaf aku terlambat, Cala terus menangis tadi." Naga Jadi-jadian itu menggandeng Calakuta Wening yang menunduk dan masih tersedu-sedu. Rasanya agak aneh melihat Bayu Biru menggandeng laki-laki. Iya, Calakuta Wening laki-laki, meski ia nampak seperti perempuan karena rambutnya yang panjang dan perawakannya yang langsing semanpai.

"Aku lega kamu datang." Aku berdiri dari dudukku dan mengulurkan tangan ke arah Calakuta Wening, hendak mengajaknya bersalaman. Tapi Bayu Biru dengan gesit menangkis tanganku.

"Lebih baik kamu tidak menyentuh orang ini, seluruh tubuhnya bisa mengeluarka racun dan dia tidak mahir mengendalikan aliran racunnya." Bayu Biru memberi peringatan padaku lantas menunjuk ke arah Delaphine Scannel. "Ingat Delaphine, jangan telalu dekat apalagi menyentuh orang ini. Aku dan Maya mungkin bisa bertahan kalau sampai tidak sengaja terkena racun Cala tapi aku tidak begitu yakin dengan toleransi tubuhmu terhadap racun."

Delaphine Scannel menatap bingung sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Mungkin ia terkejut karena Bayu Biru tiba-tiba memperingatinya. "Kamu tidak jadi mengajak Anta?" Aku bertanya sambil mengambil tehku dan meminumnya separuh.

"Tidak, aku sudah bicara dengannya semalam tapi sepertinya ia terlalu." Bayu Biru menjeda. "Kurang bisa diandalkan."

"Apa artinya klan naga bumi benar-benar akan mengalami kemunduran karena pewarisnya kurang bisa diandalkan?" Delaphine Scannel mengajukan pertanyaan yang bisa menimbulkan perpecahan di antara klan naga.

"Baiknya kita tidak membahas itu di sini." Aku menepuk pundak Delaphine Scannel. Kami berada di markas cabang dan mungkin saja agen yang berada di markas ini berasal dari klan naga. Ucapan Delaphine Scannel benar-benar bisa memicu pertikaian.

"Oh, maaf. Kalau begitu, apa kita akan berangkat sekarang?" Delaphine Scannel kembali bertanya.

"Habiskan dulu minummu, agen di sini sudah susah payah membuatkanmu minum, tidak sopan kalau tidak dihabiskan." Sisi sentimental Bayu Biru muncul.

Aku dan Delaphine Scannel menghabiskan teh yang tadi disuguhkan oleh seorang agen kelas B sebelum berpamitan dan meninggalkan markas cabang menggunakan mobil. Kami bertolak menuju Gunung Pungkasan yang letaknya berada di tengah pulau Jawa. Jaraknya sekian ratus kilometer dari Ibu Kota Sengkawa, sekitar enam jam perjalanan darat. Omong-omong, kami sepakat untuk tidak menunggu atau mempertanyakan kehadiran Priaji Adhikara sebab informan itu mungkin belum membaik.

"Air danau kawah Gunung Pungkasan suhunya tidak begitu tinggi, hanya memang sedikit hangat, tapi dipenuhi zat berbahaya yang bisa membuat kulit iritasi dan bisa menyebabkan keracunan kalau diminum." Delaphine Scannel menjelaskan selama perjalanan dari kursi depan. Ia fokus memberi tahu informasi yang ia punya kepada Calakuta Wening, sebab dalam percobaan pengamanan Cupumanik Astagina, Calakuta Wening yang akan menjadi ujung tombak.

"Kalau udara di sekitarnya bagaimana? Apakah aman untuk dihirup?" Bayu Biru mengajukan pertanyaan sementara Calakuta Wening, yang duduk di sampingnya sambil merangkul lengan si naga jadi-jadian, mengangguk.

"Aman dari jarak tertentu, tidak boleh terlalu dekat dan wajib menggunakan masker. Aku sudah siapkan maskernya di bagasi." Aku menjawab sambil menyetir dan memperhatikan jalan. "Kamu bisa menyetir tidak, Cala?"

Aku tidak mendengar jawaban dari Calakuta Wening. "Dia menggeleng, Maya." Tapi Bayu Biru yang memberi jawaban. Aku rasa Calakuta Wening terlalu penakut, cengeng, dan rendah diri. Lihat bagaimana ia duduk menunduk di samping Bayu Biru sambil memeluk lengan Bayu Biru. Ia tidak bersuara selain tersedu-sedu pagi tadi saat sampai di markas cabang. Orang yang tidak tahu apa-apa mungkin akan mengira Calakuta Wening adalah perempuan dan kekasih Bayu Biru.

Aku tidak tahu Calakuta Wening menggeleng karena ia tidak bisa menyetir atau karena tidak mau menyetir, yang jelas makhluk itu tidak mengijinkan Bayu Biru menggantikanku. Ia langsung menangis tersedu-sedu begitu Bayu Biru berusaha membebaskan lengannya dari pelukan. Alhasil, aku yang harus bersabar dan bersusah payah menyetir mobil selama enam jam penuh.

Kami beberapa kali berhenti dan mampir di terminal pengisian bahan bakar, rumah makan, serta rest area. Jika ditung total waktu perjalanan dan waktu yang digunakan untuk berhenti, mungkin hampir mencapai delapan jam. Jadi, kami sampai di desa terakhir di lereng Gunung Pungkasan saat matahari sudah terbenam, pukul 18 WNB lebih tepatnya.

Aliansi sudah menyiapkan penginapan untuk kami di Basecamp pendakian Gunung Pungkasan dan entah bagaimana pemangku jabatan di wilayah sekitar menganggap kami sebagai utusan orang pusat. Mereka memberikan kami fasilitas ekstra bahkan menawarkan diri untuk menjadi pemandu wisata selama kami berada di Gunung Pungkasan. Aku tahu makhluk fana di Nusantara memang gila jabatan dan menganggap jabatan sebagai sesuatu yang prestisius, tapi aku tidak tahu kalau sampai separah ini.

Aku menolak segala tawaran dari pemangku jabatan di wilayah sekitar dan hanya menerima bantuan dari Sapto Petono, seorang agen kelas D yang merupakan warga sekitar. Kami sepakat untuk mengunjungi danau kawah Gunung Pungkasan di malam hari, sekitar pukul sebelas malam. Jadi aku memaksa anggota Samsara dan Sapto Petono untuk istirahat sampai waktu yang ditentukan.

Delaphine Scannel tertidur setelah merebahkan diri di kasur penginapan ala kadarnya, begitu juga Calakuta Wening dan Bayu Biru yang keduanya masih menempel satu sama lain. Aku juga ingin tidur seperti mereka, tapi pikiranku tidak mau diam meski sudah beberapa kali aku ajak merebahkan diri dan menutup mata. Mungkin aku sedikit kawatir, dan stress, dan was-was mengenai percobaan pengamanan Pusaka Cupumanik Astagina sampai tidak bisa beristirahat.

Aku memutuskan untuk duduk-duduk di teras Basecamp pendakian Gunung Pungkasan. Ada tiga kursi panjang berbahan dasar bambu di sana, dan beberapa pendaki yang sibuk berdebat sebab salah satu dari mereka tidak mendapat surat ijin mendaki, kalau aku tidak salah dengar. Aku tidak mengajak para pendaki bicara dan hanya menikmati angin malam bercampur kabut yang dinginnya luar biasa. Tangan dan kekiku dingin serta tubuhku menggigil meski memakai jaket tebal. Suhunya mungkin mencapai belasan derajat, sangat berbeda jauh dengan suhu di Ibu Kota Sengkawa yang titik terendahnya mungkin sekitar 24 atau 25 derajat.

Para pendaki masuk ke dalam basecamp setelah pukul tujuh dan aku bisa melihat sebuah senter menyorot ke arahku dari kejauhan. Aku pikir itu Sapto Petono yang datang membawa makan malam. "Nak, utusan orang pusat ya?" Seorang kakek berambut putih bersih bertanya sambil menyorot senternya ke arahku. Aku bisa melihat ada makhluk fana yang bersembunyi di belakang si kakek, sayang wajah dan perawakannya tidak begitu nampak akibat kabut dan sinar senter.

Aku mengangguk lantas kakek itu menarik dan melempar makhluk yang bersembunyi di belakang tubuhnya ke hadapanku. "Sudah sana, lakukan tugasmu dengan benar. Titip ya, Nak. Marahi saja kalau nakal." Awalnya aku tidak mengerti maksud ucapan kakek berambut putih, tapi aku bisa sedikit menyimpulkan setelah menyadari kalau sosok yang dimpar oleh kakek adalah Priaji Adhikara.

"Oh, iya Kek." Aku hanya bisa menjawab seperti itu karena terkejut dan sepertinya si kakek cukup puas dengan jawabanku sebab ia berpamitan dan pergi setelahnya. "Kakekmu?" Aku menuduh Priaji Adhikara yang masih terduduk di lantai teras basecamp setelah si kakek tidak lagi terlihat.

"Bukan, tidak kenal. Dia cuma orang tua random yang suka ikut campur." Priaji Adhikara terdengar jengkel seperti biasanya.

"Jadi kamu sudah baikan?" Aku tidak menanyakan lebiv jauh tentang si kakek karena ada hal yang lebih menarik untuk dibicarakan.

"Aku tidak akan merasa lebih baik sampai kepala Rembuculung dikembalikan ke kuil penyembah waktu." Priaji Adhikara nampak menunduk. "Pokoknya begitu, dan kalian!" Priaji berdiri lantas menunjuk ke arahku. "Kenapa kalian memilih pusaka yang sulit dicari! Cupumanik Astagina itu dongengnya terlalu simpang-siur dan tempat ini terlalu berbahaya." Kedua tangannya berada di pinggang dan wajahnya nampak lebih jengkel dari sebelumnya.

"Delaphine bilang, Pusaka ini yang paling mudah ditemukan setelah Kepala Rembuculung." Aku melemparkan kesalahan kepada Delaphine Scannel.

"Peramal itu cuma tahu hal-hal yang tertulis di kitab dan relik-relik kuno, ia tidak tahu banyak tentang dongeng yang berkembang di antara makhluk fana, yang hanya diperdengarkan dab tidak dicatat." Priaji Adhikara masih nampak jengkel.

"Kalau terlalu sulit, kita bisa mundur dan langsung berpindah ke lokasi Pusaka selanjutnya." Aku tidak ingin ambil pusing tentang keputusan yang sudah aku buat. "Seharusnya kamu katakan itu kemarin sebelum Samsara memutuskan untuk mengamankan Cupumanik Astagina."

Priaji Adhikara mendecih sebelum memeluk tubuhnya sendiri dan mengencangkan jaketnya. "Malas." Hanya itu kata yang keluar dari bibir Priaji Adhikara.

____________________

Nghhhhh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro