4. Lubang Raksesa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kami, maksudku Samsara, bertolak dari Sengkawa menuju Pulau Wadas pukul delapan belas lebih dua puluh tujuh menit. Menaiki helikopter milik Aliansi Makhluk Fantasi, yang jarang digunakan, sampai ke ujung selatan Pulau Jawa. Lantas memanfaatkan kemampuan mengendalikan air milik Bayu Biru Sang Pewaris Klan Naga Wasu untuk menyeberang ke Pulai Wadas.

Priaji Adhikara yang raut wajahnya selalu jengkel, dan semakin jengkel setelah menempuh tiga jam perjalanan udara, mengikuti di barisan paling belakang sambil menggerutu. Delaphine Scannel dengan riang berjalan di depan Priaji Adhikara, dan tidak ada yang berani mengomentari tas punggung besar yang ia bawa meski semua, kecuali Delaphine Scannel, memahami bahwa barang bawaan terlalu banyak akan menghambat pergerakan. Aku berjalan di depan Delaphine Scannel dengan mata elang yang menyusur sekitar untuk memastikan tidak ada makhluk fana selain kami di laut selatan. Sementara Bayu Biru, satu-satunya anggota Samsara yang mampu memerintahkan air laut selatan untuk memadat, mempimpin barisan menuju Pulau Wadas.

"Heh peramal, kamu tidak merasakan sesuatu?" Aku mendengar Priaji Adhikara mengajak Delaphine Scannel bicara, atau mungkin berdebat.

"Apa? Oh, agak dingin, tapi lebih dingin ruang kerja Pak Pandu, orang tua itu mungkin jelmaan pinguin." Aku yakin itu bukan jawaban yang Priaji Adhikara ingin dengar, tapi untungnya laki-laki informan tukang marah itu tidak mempermasalahkan kepolosan Delaphine Scannel.

"Merunduk." Naga jadian-jadian yang memimpin perjalanan menuju Pulau Wadas memberi intruksi. Sebuah ombak besar tiba-tiba muncul di hadapan Bayu Biru dan menghalangi pandangan kami semua. "Ada yang sedang berjaga di pesisir." Ia berbisik padaku.

"Cari tempat yang kosong tanpa penjaga, atau aku duluan saja dan menyingkirkan penjaga itu?" Aku meminta pendapat Bayu Biru sebab Naga Jadi-jadian itu yang memegang kendali penyeberangan ke Pulau Wadas.

"Sebelah sana kelihatannya kosong." Bayu Biru menunjuk area pantai yang lebih gelap di sebelah kanan penjaga dengan batu karang besar yang bisa digunakan untuk bersembunyi. "Jaraknya tidak begitu jauh dari penjaga, kamu duluan saja dan pastikan penjaga itu tidak curiga." Bayu biru yang tenang tidak akan mengatakan hal keji seperti singkirkan si penjaga, meski sejatinya itu yang ia sampaikan.

"Sampai jumpa di pesisir." Aku menepuk pundak Bayu Biru sebelum menceburkan diri ke laut selatan. Tubuhku berubah menjadi seekor ikan tuna muda yang bergerak gesit menerjang ombak menuju tepian. Aku mengecek ke belakang beberapa kali untuk memastikan Samsara masih berada di jalan yang benar. Ketika jarakku dengan pantai kurang dari 200 meter, aku kembali menggunakan kemampuanku dan berubah menjadi kepiting bercapir besar.

Aku berenang dan berjalan menyamping menuju tepian sambil mengamati kondisi si penjaga. Sebagai kepiting dengan jangkau penglihatan yang luas, aku bisa melihat Bayu Biru bersama Delaphine Scannel dan Priaji Adhikara mendekat ke pesisir di balik ombak besar yang aneh. "Ombaknya membesar, mungkin akan ada badai." Si penjaga bicara melalui alat komunikasi yang mirip interkom zaman dulu.

Posisiku kini berada di belakang si penjaga dan makhluk fana tidak akan menganggap seekor kepiting bermuka bodoh sebagai ancaman. Sayangnya, kepiting ini adalah Maya Asmaraloka. Aku berubah wujud, kembali menjadi manusia dan si penjaga sigap berbalik ke arahku. Ia melayangkan pukulan dari samping dan aku menahannya, dengan lengan berbulu hitam milik gorilla. Kaki kananku berpacu dengan tangan kiri si penjaga, antara ia yang lebih dulu memukulku atau kakiku yang lebih dulu menendengang selangkangannya. Lantas suara mengaduh yang sedikit ditahan terdengar, penjaga itu tersungkur sambil memegangi area pusakanya, dan aku mengakhiri dengan pukulan telak di tengkuk.

Aku merebut alat komunikasi ketinggalan zaman yang mirip walkie-talkie dari si penjaga setelah ia benar-benar pingsan. Lantas menyeret tubuhnya yang tidak terlalu besar ke pohon kelapa terdekat. Aku buat ia bersandar dan memeluk pohon kelapa sebelum mengikat jari-jarinya dengan kabel ties.

"Sumpal mulutnya, jangan sampai dia mengundang fanatik waktu lain saat bangun." Priaji Adhikara bersama anggota Samsara lain telah sampai ke daratan, dan ia memasukkan segumpal lamun, yang pastinya tercampur dengan aneka sampah laut, ke mulut si penjaga.

"Kamu tidak kasihan dengannya?" Delaphine Scannel mempertanyakan sisi manusiawi Priaji Adhikara.

"Tidak, daripada kita yang celaka." Priaji Adhikara menjawab sambil melenggang melewatiku dan hendak memasuki pulau lebih jauh. Bayu Biru cepat-cepat menarik kerah kaos Priaji Adhikara dan memberikan tatapan heran.

"Jangan gegabah." Aku memberi peringatan sambil menepuk pundak Priaji Adhikara, memberikan isyarat supaya ia tidak asal menjerumuskan diri ke kawasan Penyembah Waktu. "Di sebelah mana pusakanya Delaphine?"

"Sudah kubilang panggil saja Delphi, Delaphine terlalu panjang." Delaphine Scannel melayangkan protes sambil menutup kedua mata dan mengulurkan tangan. Ia nampak merapalkan sesuatu dan tangannya bergerak ke sana kemari sebelum menunjuk ke arah selatan, tepat menuju pusat dari Pulau Wadas. "Di sebelah sana, tapi."

"Tapi begini 'kan?" Priaji Adhikara memegang tangan Delaphine Scannel, membuatnya sedikit mengarah ke bawah.

"Benar." Kedua mata Delaphine Scannel terbuka dan ia nampak tidak begitu senang.

"Pulau ini dibeli dan dijadikan tambang batu kapur oleh Penyembah Waktu. Dua tahun lalu, pasca Penyembah Waktu mencoba mencuri dari Aliansi, aku menyusup ke pulau ini untuk mencari informasi dan mendapati bagian tengahnya sudah tidak ada alias berlubang. Mereka membangun kuil megah dalam lubang, dan karena ramalanmu mengarah ke bawah, maka Kepala itu mungkin ada di dalam kuil." Priaji Adhikara memberi kesimpulan. Harus kuakui, laki-laki yang kelihatan selalu jengkel itu memangn pantas disebut informan terbaik.

"Mereka pekerja keras ya." Aku mendekatkan interkom ke telinga berusaha mendengar percakapan antar Penyembah Waktu, tapi sayangnya tidak ada yang bercakap-cakap.

Delaphine Scannel tiba-tiba berbalik arah dan mendekati lautan, tangannya terulur ke siluet pulau Jawa yang berpendar-pendar di kejauhan. Gadis pendek berkaca mata itu lantas berlari mendekatiku dan menepuk-nepuk punggungku. "Cepat-cepat, Pemandu Ruh mendekati pulau ini." Ada kepanikan dan ketakutan dalam nada suaranya.

Awalnya, aku berniat mengajak seluruh anggota Samsara untuk masuk ke Kuil Penyembah Waktu, sebab semakin banyak orang, semakin mudah menemukan Kepala berisi Pusaka Dewa. Selain itu, jika Pemandu Ruh tiba-tiba muncul dalam kuil, aku hanya perlu membagi Samsara menjadi dua tim, satu menahan Pemandu Ruh, satu mencari Pusaka Dewa. Rencananya begitu, tapi Pemandu Ruh muncul lebih cepat dari perkiraanku.

"Bayu dan Delaphine tetap di sini. Delaphine sembunyi dan hubungi aku saat Pemandu Ruh sampai di pesisir. Bayu, kalau kamu merasa bisa menahan Pemandu Ruh, tahan ia, sumbat telingamu dan pertahankan jarak dengan Pemandu Ruh. Kalau kamu merasa tidak bisa, sembunyi dan jaga Delaphine. Jangan mengambil risiko dan jangan gegabah. Aku dan Priaji akan masuk ke kuil dan mengamankan Kepala Rembuculung." Aku memberi instruksi sambil menggandeng Priaji Adhikara dan tidak ada yang menyanggah.

Aku dan Priaji Adhikara memasuki Pulau Wadas setelah Delaphine Scannel dan Bayu Biru memberi anggukan. "Harusnya kamu bawa Delaphine, dia seperti detektor metal, akan lebih mudah menemukan Kepala Raksesa kalau ada dia." Priaji Adhikara melayangkan protes atau usulan, setelah aku dan ia sudah menjauh dari pesisir selatan Pulau Wadas.

"Benar, maka dari itu lebih baik Delaphine sembunyi, aku tidak mau mengambil risiko kemungkinan peramal kita ditangkap oleh Pemandu Ruh. Dan aku rasa, membawamu yang memahami medan sudah lebih dari cukup. Kepala Rembuculung adalah Pusaka Penyembah Waktu, pasti disimpan di tengah kuil, mungkin." Priaji Adhikara nampak mengangguk seolah setuju dengan penjelasanku.

"Kamu tahu, ada cara lain untuk mendapatkan Tetesan Tirtamarta Kamandanu. Selain mengekstraknya dari Kepala Raksesa." Priaji Adhikara tiba-tiba melempar topik sambil berusaha melihat peta dalam kegelapan. "Mengambilnya langsung dari Sumber, dengan menyeberang ke alam rohani Madyapada melalui pintu di pusat bumi, seperti bagaimana Dewa Tunggal mendapat keabadiannya."

"Pusat bumi, di mana?" tanyaku.

"Kedua kutub. Akan memakan banyak waktu dan energi, mungkin karena itu Pemandu Ruh tidak mempertimbangkan cara itu. Tapi kalau Pemandu Ruh mengambil cara itu, aku rasa Aliansi akan pasrah, kita tidak punya cukup anggaran untuk melakukan ekspedisi besar ke kutub." Priaji Adhikara mendengkus. "Dari sini, akan ada banyak Penyembah Waktu yang berkeliaran, aku tahu kemampuanmu berubah wujud menjadi hewan, dan akan sangat membantu kalau kamu menjadi hewan yang kecil sementara aku menggunakan ajianku."

Aku menuruti usulan Priaji Adhikara dan berubah wujud menjadi seekor hamster yang bersembunyi dalam saku kaos Priaji Adhikara. Lantas seperti rencana, Priaji Adhikara menunjukkan kebolehannya sebagai informan terbaik di tubuh Aliansi Makhluk Fantasi. Aji Kemayam dan Nylimur yang membuatnya dijauhi oleh pandangan makhluk fana lain. Aku baru mengetahui kemampuan Priaji kemarin, setelah Bayu Biru menanyakan bagaimana Priaji Adhikara bisa terus muncul dengan tiba-tiba dan mengagetkan orang lain.

Puluhan truk besar yang kemungkinan digunakan untuk mengangkut kapur terparkir tidak jauh dari lubang besar. Lima orang Penyembah Waktu yang sepertinya bertugas menjaga truk-truk itu sedang asik bercerita sambil sesekali menyeruput kopi. Priaji Adhikara melenggang seolah ia adalah bagian dari Penyembah Waktu, tepat di hadapan para penjaga truk, tanpa ragu sedikitpun. Pantas saja ia bisa mendapat gelar informan terbaik, kemampuannya memang cocok untuk menyusup dan mengumpulkan informasi.

Area tambang yang gersang dan luas dengan lubang besar yang nampak seperti hasil pengeboran brutal terpampang di hadapan mata hamsterku. Menakjubkan, aku belum pernah menghadapi hal-hal seperti ini selama menjadi agen di Aliansi Makhluk Fantasi. Priaji Adhikara membawaku ke dalam lubang, ia berjalan mengikuti jalur truk yang berputar searah jarum jam. Sesekali ia memungut kerikil dan menyimpannya dalam saku celana trainingnya.

"Akan butuh waktu lama kalau berjalan memutar seperti ini." Aku mencicit.

"Kita harus sedikit lebih dalam lagi supaya tidak terendus penjaga di area truk tambang, setelah itu aku bisa menggunakan Ajian Nylimur, itu kalau kamu mau berubah jadi binatang yang cepat dan tangkas juga membolehkanku mengendaraimu." Bicaranya enteng sekali, seperti ia telah memikirkan siasat ini sejak tadi. Aku rasa, Priaji Adhikara lebih cocok dijadikan pemimpin Samsaran dibandingkan aku.

"Aku bisa, dan tidak keberatan." Aku menghentikan kalimatku sebelum melanjutkan. "Bagaimana kamu tahu tentang Penyembah Waktu, dan penyerangan mereka ke Aliansi? Aku agen kelas A sama sepertimu tapi tidak pernah tahu Aliansi diserang oleh sekelompok fanatik agama."

Priaji Adhikara diam sejenak seperti sedang mengumpulkan ingatan atau berpikir. "Aku tahu setelah mereka menyerang Aliansi, karena aku diberi tugas untuk mengecek pergerakan Penyembah Waktu. Mereka memang fanatik, tapi ajaran dasar Penyembah Waktu menurutku sangat bagus dan seharusnya dipahami oleh semua makhluk fana, tidak hanya makhluk fantasi tapi juga manusia biasa."

"Yang dijelaskan Delaphine kemarin?" Priaji Adhikara mengangguk menanggapiku. "Penyembah Waktu terdiri dari makhluk fantasi dan manusia biasa bukan?" Priaji Adhikara kembali mengangguk. "Aku harap hanya ada manusia biasa di dalam lubang."

"Aku menyangsikan itu, ada rumor yang beredar di antara para petinggi, mengenai keberadaan Trah Kala diantara Penyembah Waktu. Saat Penyembah Waktu menyerang Aliansi untuk merebut pusaka, disinyalir adanya petinggi Aliansi yang berkomplot dengan mereka. Petinggi itu ingin melengserkan Pandu yang ber-Trah Dewa dari posisinya sebagai wakil. Jadi mereka membutuhkan pengganti yang paling tidak sama kuatnya dengan dengan Pandu." Priaji Adhikara benar-benar informan.

"Seseorang yang sama-sama memiliki Trah Dewa." Aku mencicit sambil meremas kantung kaos Priaji Adhikara. "Aku merasa bodoh karena banyak hal yang tidak aku ketahui."

"Kamu tahu banyak, tentang dunia fantasi di luar Nusantara bukan? Aku mencari informasi tentangmu, Maya Asmaraloka yang lebih sering diutus ke luar Nusantara, agen kelas A yang terus mendapat permintaan bantuan dari luar negeri." Priaji Adhikara kembali memunguti kerikil. "Vampir, penyihir, manusia serigala, apalagi yang kamu temui di luar Nusantara? Aku dengar makhluk-makhluk fantasi itu jauh lebih kuat dibandingkan agen kelas A milik Aliansi."

"Mereka memang kuat, tapi pertikaian di antara mereka masih berputar di sekitar perebutan wilayah kekuasaan, harta dan pusaka, balas dendam, dan motif-motif pribadi yang remeh. Penyelesaiannya terlalu sederhana dan Aliansi di luar Nusantara juga tidak begitu berminat untuk ikut campur. Tentunya belum ada yang berusaha menjadi Dewa seperti Pemandu Ruh." Aku terkekeh di akhir.

"Kita sudah cukup dalam." Priaji Adhikara mengeluarkanku dari saku, lantas aku kembali menjadi Maya Asmaraloka untuk meregangkan otot-otot sebelum kembali berubah wujud menjadi seekor macan.

"Keren." Hanya itu tanggapan Priaji Adhikara sebelum ia menunggangiku.

Kami tidak lagi berjalan memutar mengikuti jalur tambang, aku melompat dari satu tingkatan ke tingkatan di bawahnya. Sesekali Penyembah Waktu terlihat tengah terkantuk-kantuk di beberapa tempat dan Priaji Adhikara menggunakan ajiannya. Sebuah kerikil ia lembar ke sembarang arah lantas sebuah rapalan dan jetikkan jari terdengar dari Priaji Adhikara. Informan itu akan menunjuk ke arah jatuhnya kerikil dan siapapun yang berada di sekitar seketika mengalihkan pandangan untuk mencari kerikil yang telah diam. Aku tidak mengerti mengapa ajian itu disebut nylimur, tapi aku tidak cukup ingin tahu untuk menanyakan kepada Priaji Adhikara.

"Ada banyak Penyembah Waktu di bawah sana." Bisikku pada Priaji Adhikara, mata kucingku bekerja dengan baik di tempat yang minim pencahayaan. "Aku akan berubah menjadi kadal, kamu gunakan Aji Kemayam." Priaji Adhikara tidak memberikan jawaban tapi aku yakin ia setuju dan mungkin memberikan anggukan. Jika dihitung-hitung mungkin kami sudah berada di tingkatan ke 24 dari permukaan tambang. Aku harus mengakui lagi kegigihan dan ketja keras para Penyembah Waktu.

Pada tingkatan ke dua puluh lima, lubang sudah jauh mengecil dan meski aku hanya seekor kadal, aku bisa melihat pilar-pilar besar yang menandakan adanya kuil. Omong-omong, aku mendarat dengan selamat karena aku seekor kadal, sementara Priaji Adhikara terguling beberapa kali sebelum membentur pilar. Ia mengelus kepala dan punggungnya sebelum berdiri dan memungutku. Aku rasa, ia tidak pandai bela diri dan tidak lentur.

Delapan pasang mata Penyembah Waktu terarah kepadaku dan Priaji Adhikara, tapi tidak ada yang bicara maupun bertindak, seolah mereka tidak paham apa yang baru saja menyebabkan suara berdebum. "Punggungku." Hanya terdengar Priaji Adhikara yang mengaduh dan aku sedikit was-was.

"Apa lihat-lihat!" Untungnya para Penyembah Waktu di tingkatan dua puluh lima tidak menyerang, menyergap, atau mempertanyakan keberadaan Priaji Adhikara dan seekor kadal di telapak tangannya. "Dari sini, aku tidak tahu harus ke mana, aku memang pernah masuk, tapi di dalam sangat membingungkan, sudah aku bilang seharusnya kita bawa Delaphine, ia benar-benar mirip metal detector."

"Masih ada beberapa tingkatan di bawah sana, firasatku menyebut pusaka utama pasti disembunyikan di tempat yang paling dalam. Kita masuk ke kuil lalu mencari jalan turun." Priaji Adhikara mengangguk dan kami melenggang memasuki kuil Penyembah Waktu.




____________________

Hahaha :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro