5. Petak Umpet dalam Kuil Waktu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Selain dipenuhi pilar-pilar yang lebih layak disebut tiang-tiang pancang kokoh nan sakral berhias ukiran aksara kuno, Kuil Penyembah Waktu juga diisi oleh banyak topeng Batara Kala. Rasanya seperti Dewa berwujud raksesa itu tengah mangamati aku dan Priaji Adhikara dari berbagai arah.

Aku tidak akan kaget jika seseorang atau sesuatu memberi kabar jika saat ini Batara Kala tengah menonton sambil memikirkan pembalasan macam apa yang akan ia jatuhkan kepadaku dan Priaji Adhikara, sebagai karma karena telah lancang memasuki kuilnya dengan niat mengamankan Pusaka Dewa, yang bisa diartikan lain menjadi mencuri Pusaka Dewa dari Penyembah Waktu.

"Jika kita tertangkap hubungan antara Penyembah Waktu dan Aliansi Makhluk Fantasi akan semakin runyam." Priaji Adhikara bicara seolah ia bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan. "Jika keduanya berhubungan baik, kita tidak perlu menyelinap masuk. Para petinggi Aliansi bisa menulis surat kepada pendeta tertinggi atau pimpinan Penyembah Waktu untuk memperketat penjagaan atas pusaka Kepala Rembuculung." Priaji Adhikara sempat menjeda sambil menendang tembok kuil. "Jika kita punya banyak waktu, aku akan mengusulkan gencatan senjata antara Aliansi dengan Penyembah Waktu, supaya misi kita bisa jadi lebih mudah." Laki-laki berambut ikal itu terdengar seperti sedang mengomel.

Tidak seperti yang Priaji Adhikara jelaskan sebelumnya. Bagian dalan kuil tidak membingungkan, di lantai pertama hanya ada satu ruang berbentuk lorong besar yang melingkar sepanjang jalur tambang, dengan pilar-pilar berukir, dan diakhiri oleh tangga besar menuju lantai dua, lantai dua yang berada di bawah lantai satu. "Ini tidak terlihat sulit diingat atau membingungkan." Komentarku.

"Aku yakin ada banyak pintu di sekitar lorong dan tidak ada tangga yang kelihatan sangat besar, aman, dan nyaman tanpa jebakan seperti ini, orang-orang fanatik itu pasti merenovasi kuilnya." Aku pikir Priaji Adhikara tidak akan menuruni tangga yang ia sebut sangat aman tanpa jebakan, tapi informan berambut ikal itu dengan cepat menuruni tangga dua-dua.

Lantai dua terlihat seperti lorong-lorong dalam galeri seni mewah, dindingnya berlapis marmer dan dihiasi berbagai lukisan, ukiran, keramik, lengkap dengan label karya yang naasnya ditulis dalam aksara kuno, dan aku tidak bisa membaca aksara kuno. Lantai dua memang lebih sempit dan membingungkan, lebarnya hanya tiga sampai empat orang dan terdapat percabangan di sana-sini. "Ini maksudku." Priaji Adhikara mendengkus sebelum menyandarkan diri ke dinding-dinding marmer. "Menyebalkan sekali! Seperti labirin! Aku yakin mereka sendiri tidak hafal tiap cabang dan pintu mengarah ke mana!"

"Ini memang lumayan membingungkan, tapi marah tidak akan membuatnya jadi lebih mudah." Aku bicara sambil menepuk-nepuk pundaknya dengan kaki kadal, aku masih menjadi kadal dan menempel di pundaknya.

"Maya, ada yang salah." Priaji Adhikara masih bersandar pada dinding marmer, tapi aku bisa melihat bagaimana napasnya naik turun lebih cepat seolah ia baru saja berlari. "Energi yang aku pakai untuk menggunakan Aji Kemayam tiba-tiba meningkat, kemungkinan ada banyak Makhluk Fantasi dengan kekuatan spiritual tinggi di sekitar sini, akan sulit mengelabuhi mereka, kita harus cepat sebelum aku mati lemas." Kejengkelannya nampak hilang dan digantikan dengan kawatir, informan itu lantas memasukkanku ke dalan sakunya dan berlari menyusuri lorong.

Satu-dua kali kami berpapasan dengan Penyembah Waktu dan Priaji Adhikara nampak menarik napas panjang-panjang sebelum menutup hidung dengan kedua telapak tangan. "Tidak masuk akal! Bagaimana bisa orang-orang fanatik ini bertambah kuat dengan cepat!" Kejengkelan yang sempat hilang akhirnya muncul setelah Penyembah Waktu yang nampak tangguh dengan topeng kala menutupi wajah berada cukup jauh dari jangkauan.

"Mungkin mereka memanfaatkan Tetesan Tirtamarta Kamandanu yang mereka punya, atau bisa jadi persepsi Aliansi terhadap Penyembah Waktu sudah salah sejak awal." Aku berusaha memahami lukisan-lukisan dalam kanvas yang dipajang sepanjang lorong. Hampir seluruhnya menggambarkan penderitaan makhluk fana. "Bagaimana kalau sejak awal kubu yang menentang Pak Pandu dalam tubuh Aliansi tidak pernah bersekongkol dengan Penyembah Waktu, dan Penyembah Waktu menutup diri karena tidak ingin terseret dalam perebutan kekuasaan atas Aliansi, lalu mereka fokus untuk memperbaiki diri, sementara kita terlalu sibuk menggosipkan ini itu dan mengais-ngais rumor."

"Tetesan Tirtamarta Kamandanu tidak memberikan kekuatan lain, selain keabadian, aku mempercayai itu, dan kalaupun mereka berhasil mengekstrak Tetesan Tirtamarta Kamandanu dari kepala Rembuculung, mereka membutuhkan cupu sakti sebagai wadah." Priaji Adhikara bicara sambil sesekali terbatuk. "Bisa jadi seperti itu, tapi aku lebih menyukai rumor yang beredar di Aliansi, terdengar lebih seru dan menantang."

"Kita punya cupu yang cukup sakti?" Aku tidak ingin memikirkan perseteruan Aliansi dengan Penyembah Waktu, lebih baik membahas hal lain.

"Ada, di markas."

"Kenapa kita tidak membawa cupu itu, lalu mengekstrak Tetesan Tirtamarta Kamandanu di sini, sehingga tidak perlu ada pencurian? Biar aku tebak, karena prosesnya sulit dan lama?"

"Aku tidak tahu, tanyakan itu pada Delaphine Scannel." Priaji Adhikara nampaknya menyadari bahwa ada cara yang lebih mudah tapi tidak terpikirkan olehnya.

Setelah berputar-putar di lantai dua selama hampir tiga puluh menit kami berhasil menemukan tangga menuju lantai tiga. Priaji Adhikara sudah nampak kepayahan dan aku tidak punya ide lain selain memanfatkan kemampuan informan ini untuk menyusup lebih dalam. Batuknya semakin sering dan ada peluh menetes di dahinya meski udara tidak panas sama sekali.

Lorong lantai tiga lebih sempit daripada lantai dua dengan suasana yang lebih mencekam. Sebab lampu-lampu kecil yang dipasang di pinggir lorong berpendar merah dan tembok marmernya dihiasi aksara-aksara kuno yang meski tidak bisa aku baca, bisa aku rasakan memberikan efek seram.

"Ini, dulu tidak ada yang seperti ini, aku paham sekarang, mereka tidak bertambah kuat, aku yang dilemahkan." Ada kesinisan di wajah Priaji Adhikara. "Mereka akhirnya menyadari ya kalau Aliansi mengirim agennya ke sini secara periodik." Ia tersungkur dan aku yakin ajiannya telah memudar. "Kalimat-kalimat ini." Ia nampak berusaha menjaga tempo pernapasannya sambil memukul tembok marmer. "Menyerangku."

Aku melompat dari saku Priaji Adhikara dan menopang informan itu, ia harus berdiri, kami harus menyingkir dari lorong jika ingin istirahat. "Aku tidak diserang." Komentarku enteng sambil menyeret Priaji Adhikara ke pintu terdekat. Aku tidak tahu ruangan macam apa di balik pintu tapi tidak ada pilihan lain untuk saat ini.

"Kemampuanmu tidak bersumber dari ajian, atau sesuatu yang dipelajari." Omongan Priaji benar, keistimewahan milikku diturunkan secara genetik, aku tidak perlu belajar menggunakan mantra untuk bisa berubah wujud. "Milikku bersumber dari ilmu pengetahuan yang dipelajari."

Aku tidak menanggapi ocehan Priaji Adhikara, tanganku sibuk membuka kunci pintu secara paksa, aku terburu-buru karena di ujung mataku menangkap bayangan yang mendekat, seorang Penyembah Waktu yang datang dengan tiba-tiba. Kulemparkan Priaji Adhikara ke dalam begitu pintu terbuka dan masuk setelahnya dengan jantung yang begerak jauh lebih cepat.

Satu, dua, tiga menit berlalu dan aku sangat yakin Penyembah Waktu tadi telah meninggalkan lorong. Aku mengecek kondisi Priaji Adhikara yang nampaknya sudah sedikit lebih baik. "Apa aku harus menjauhkanmu dari tulisan-tulisan di dinding?" Tanyaku serius. "Bagaimana kalau kamu beristirahat dulu di sini sementara aku mencari tangga untuk turun?"

"Tidak perlu, aku tidak selemah dan sepayah itu." Priaji Adhikara mengeluarkan spidol dari saku celana dan mulai nemuliskan aksara kuno di sekujur lengan, telapak tangan, dan pergelangan kakinya. "Ayo menerobos! Aku tidak bisa menggunakan Kemayan saat menunggangimu karena kamu terlalu besar, tapi aku bisa menggunakan Nylimur, mantra di tubuhku akan sedikit menangkal serangan dari tulisan-tulisan di dinding, tapi aku tetap bisa mati lemas jika kita tidak segera meninggalkan lantai ini." Priaji menjelaskan rencanya dengan tidak jelas dan mau tidak mau aku kembali menjadi tunggangannya.

Jujur saja, berlari dalan wujud macan di lorong yang sempit sambil memastikan Priaji Adhikara tidak terjatuh dan mati mengenaskan bukan perkara mudah, berbelok dan menghindari Penyembah Waktu yang tiba-tiba muncul menjadi tantangan utama. Meski itu cukup menyenangkan, dan agaknya Priaji Adhikara juga berpikir demikian. Beberapa kali aku mendengarnya tertawa seperti tokoh jahat dalam dongeng-dongeng nusantara ketika aku melompati Penyembah Waktu. Walau pada akhirnya, ia tetap terengah-engah ketika kami berhasil menemukan tangga menuju tingkatan yang lebih dalam.

Tangga itu terbuat dari batu, berwarna hitam dan berongga seperti karang. Air laut nampaknya merembes dari dan ke dalam tangga, hingga membuat becek sekitar. Sesekali aku bisa mendengar deburan ombak dan sesekali aku bisa mendengar keciprak-keciprak ombak dihantam. "Aku tidak pernah sampai sedalam ini." Priaji Adhikara menutup hidungnya dengan telapak tangan, mungkin ia tidak menyukai aroma laut yang amis, lembab, dan berkarat.

Tingkat keempat lebih mirip gua yang dibentuk dari karang dan kapur dibandingkan sebuah bangunan. Dasarnya licin dan dibanjiri air laut semata kaki, rembesan menetes dari langit-langit membentuk duri-duri panjang, udaranya pengap dan terbatas, pencahayaan yang seadanya, dan akan menjadi bencana jika harus bertarung di kondisi lingkungan semacam ini. "Sial." Priaji Adhikara yang memimpin jalan tiba-tiba mengumpat. Ia menghentikan langkah sebentar sebelum melanjutkan. "Ini mengerikan."

Kami dihadapkan dengan ruangan yang cukup besar, mungkin berukuran sepuluh kali sepuluh meter. Air laut nampak memenuhi cekungan besar di tengah ruangan, dengan kedalaman yang tidak diketahui. Lantas di seberang sana terlihat jalur yang bercabang menjadi tiga. "Aku rasa ini sudah yang paling dalam, apa kamu yakin Pusaka Dewa disemayamkan di tempat kotor seperi ini?" Priaji kembali berkomentar.

"Aku rasa iya, insting, insting hewan, insting pemburu." Aku bicara sekenanya sambil mendekati cekungan besar di tengah ruang. "Warnanya gelap, sepertinya dalam sekali."

"Hati-hati tercebur." Priaji Adhikara memperingati sambil memutari cekungan menuju jalan yang bercabang menjadi tiga. "Tidak jadi, kamu kan bisa berubah jadi ikan!" Ia meralat.

"Tadi apa yang kamu sebut mengerikan? Cekungan ini atau jalan yang bercabang?" Tanyaku sambil mengamati gelembung yang tiba-tiba muncul dari kedalaman air.

"Keduanya, aku tidak pandai berenang, dan tiga jalur ini akan mempersulit segalanya." Priaji seperti sedang menimbang-nimbang jalan mana yang perlu ia pilih ketika sesuatu yang mengagetkan muncul dari dalam air.

Tanpa sadar aku mengambil tiga langkah mundur ketika makhluk fantasi yang belum pernah aku temui itu menunjukkan wajahnya yang menawan. "A-Priaji!" Panggilku gugup.

Makhluk itu berpegangan pada pinggir cekungan, dengan jemarinya yang berselaput ia menyeret tubuhnya naik. Rambutnya hitam panjang dengan kilatan perak serta mutiara di sana sini, sementara mata dan ekornya berpendar biru senada dengan sedikit sisik yang menempel di pipi serta lengannya. Ia tersenyum manis padaku sambil melambai seolah menyapa teman lama. Cantik sekali, makhluk fantasi yang dianggap telah punah akibat perburuan paus dan hiu sembilan tahun lalu berada di hadapanku.

"Duyung!" Priaji Adhikara terdengar kaget.

"Halo?" Aku mengajak Sang Duyung bicara, tapi ia tidak menjawab, wajahnya nampak bingung sejenak, sebelum ia kembali melambai padaku. "Kamu tidak paham bahasa Nusantara?" Lagi-lagi tidak ada jawaban, tapi kini ia mengulurkan tangannya ke arahku, memperlihatkan telapak tangannya yang dihiasi guratan-guratan biru muda.

"Maya!" Aku bisa mendengar Priaji Adhikara berteriak, tapi kejadian ini terlalu cepat untuk dicerna, mungkin karena aku terlalu dibuai oleh keindahan Sang Duyung hingga tidak ada cukup waktu untuk menyingkir. Aku membiarkan tubuhku terhempas air laut, menjauhi Priaji Adhikara hingga punggungku membentur tangga yang becek dan merembes. Benar, Sang Duyung baru saja menggunakan kemampuannya, mengendalikan air untuk menjauhkanku dari cekungan. Aku terbatuk dan terengah-engah dengan luka di sekujur tubuh akibat goresan batuan karang, rasanya perih, air laut memperparah segalanya.

Butuh dua menit untukku menenangkan diri dan berlari tergopoh-gopoh menuju ruang besar dengan cekungan di tengah. Aku mengkhawatirkan Priaji Adhikara yang harus kuakui kemampuannya tidak cocok untuk bertarung. Terlebih ia baru saja diserang oleh tulisan-tulisan mantra di sekitar dinding tingkat tiga. Tidak ingin terlambat apalagi menyesal, maka tanpa banyak berpikir aku mengubah wujudku menjadi macan dan menerjang Sang Duyung yang tengah memojokkan dan mencekik leher Priaji Adhikara. Seharusnya seranganku mengenai Sang Duyung, jika saja tidak ada tangan ruh raksasa yang menangkap dan melemparku ke dinding gua.

"Malea Lealeah, jangan begitu." Suara yang begitu halus dan lembut memasuki telingaku. Rangasangan suara itu sampai lebih dulu seperti dimantrai, sementara aku perlu mengerjab beberapa kali sebelum bisa menyadari adanya keberadaan lain yang jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan Sang Duyung. "Jangan membunuh makhluk fana, aku tahu mereka mungkin membuatmu marah, tapi tetap saja tidak boleh." Sosok dengan suara memabukkan itu berpendar putih, tubuhnya jernih hampir tembus pandang seperti atma yang suci dan baru saja ditiupkan ke Mayapada. "Tidak kok, aku tidak membunuh kucing itu, lihat dia masih hidup." Sosok itu seperti mampu berkomunikasi dengan Sang Duyung meski sedari tadi aku tidak mendengar Sang Duyung angkat bicara.

"Le-pas!" Rintihan Priaji Adhikara menyadarkanku sepenuhnya. Informan itu masih tergeletak di pinggir ruang dengan leher terkekang oleh jari-jari berselaput milik Sang Duyung. Aku berusaha bangkit, mengembalikan wujudku menjadi manusia dan bertopang pada dinding-dinding batu karang. Rasanya perih, asin, dan nyeri, sial sekali.

"Lealeah Malea, lepaskan ya, tidak boleh." Sosok jernih itu bersimpuh di atas telapak tangan kanan raksasa yang nyata-nyata tersusun atas partikel-partikel ruh. Ia tidak tertarik dengan aku yang telah berdiri tegap dan masih mengajak Sang Duyung melepaskan leher Priaji Adhikara. "Aku akan menemanimu seharian penuh besok, jadi lepaskan ya." Suaranya benar-benar memabukkan, seperti seorang kakak yang sedang mengelus rambut adiknya dengan penuh kasih sayang.

Sang Duyung mengangguk lantas membebaskan Priaji Adhikara dari cengkeramannya. Ia tersenyum sumringah ke arah sosok jernih yang kuyakini adalah Pemandu Ruh, sementara Priaji Adhikara menyeret tubuhnya menjauh sambil terbatuk. "Keparat!" Aku bisa mendengar laki-laki yang selalu jengkel itu mengatai Sang Duyung.

"Hei, tidak boleh bicara begitu." Pemandu Ruh mengalihkan pandangan dari Sang Duyung menuju Priaji Adhikara. Rambutnya yang berpendar dan hampir menyentuh pundak bergoyang mempesona. Ia mengamati Priaji Adhikara dengan matanya yang jernih dari kiri ke kanan, atas ke bawah. "Kita sama ternyata, bukannya tugasmu membisikan budi pekerti? Kalau begitu, kamu tidak boleh bicara kotor seperti tadi."

Tiba-tiba tangan kiri ruh berukuran raksasa muncul dari cekungan, melesat cepat dan membentur atap ruang yang dipenuhi jarum-jarum batu karang bersepuh kapur. Aku yakin tubrukkannya mengguncang seluruh kuil, seolah gempa bumi dangkal menimpa Pulau Wadas. Aku menutupi kepalaku dengan kedua lengan, memastikan bagian paling lemah dan vital dari tubuh jasmaniku terlindungi dari kemungkinan tertancap jarum-jarum batuan. Sementara Priaji Adhikara di kejauhan terdiam dengan wajah menahan ngeri sebab tangan kiri tadi, berada tepat di atas tubuhnya.

"Tidak boleh bicara begitu ya." Pemandu Ruh terdengar ramah tapi dengan sedikit saja perintah darinya, tangan ruh berukuran raksasa itu bisa menghancurkan tubuh Priaji Adhikara. Benar-benar misi yang tidak masuk akal!



__________________

Yes si pemandu ruh mumcul :D

Bab ini belum direvisi ges jadi agak nganu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro