6. Para Pemandu dan Ikan-ikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Apa kalian dari Aliansi Makhluk Fantasi?” Pemandu Ruh kini berdiri di atas tangan kanan ruh raksesa. Wajahnya masih teduh, jernih, dan memabukkan meski aku menyadari adanya kehancuran luar biasa yang bisa diperbuat oleh makhluk yang tubuh rohaninya nampak akan remuk jika dipegang sembarangan.

Priaji Adhikara tidak berani menjawab maupun bergerak, ia mematung di tempatnya, tergeletak seperti mayat ikan yang basah dan diombang-ambingkan nasib. “Kalian bisa berbahasa Nusantara bukan? Atau seperti Lea?” Pemandu Ruh kembali mengajukan pertanyaan, nadanya masih lembut tapi kali ini tidak berhasil menyembunyikan ketidaksenangannya.

Tangan kanan Pemandu Ruh terangkat, begitu pula tangan kiri ruh raksesa yang berada tepat di atas tubuh Priaji Adhikara. “Apa ini membuatmu takut sampai tidak bisa berkata-kata?” Dan sebuah anggukan kecil diberikan oleh Priaji Adhikara. “Aduh maaf, aku tidak bermaksud menakuti, aku datang untuk meminjam sesuatu dari Kuil Waktu, aku tidak akan menyakiti kalian.”

Tangan kiri ruh raksesa menenggelamkan diri ke dalam cekungan dan suasana mencekam dalam ruang besar bertembok batu karang itu sedikit berkurang. Aku masih berdiri di tempatku, masih menyandar pada dinding-dinding karang bercampur kapur sambil memikirkan bagaimana cara untuk meloloskan diri dari Pemandu Ruh sambil membawa kabur Pusaka Kepala Rembuculung. Sementara di sudut lain keberanian Priaji Adhikara agaknya sedikit mucul ke permukaan. Laki-laki yang lebih cocok berekspresi jengkel itu mulai bangkit dan dengan tertatih berjalan ke arahku.

Pemandu Ruh memalingkan wajahnya dari Priaji Adhikara dan memberikan seluruh perhatian kepada Sang Duyung. Keduanya nampak begitu menawan dan mengerikan di saat bersamaan ketika berdekatan. “Kamu ingat bentuknya bukan? Aku yakin benda itu disimpan di dekat sini, mungkin di salah satu ruangan itu.” Pemandu Ruh menunjuk ke arah tiga jalur yang terhampar di sampingnya. Sang Duyung mengangguk dan menggoyangkan ekornya yang kebiruang ke sana- kemari, ia nampak senang dan bersemangat. “Kamu bisa melakukannya bukan?” Pemandu Ruh mengulurkan tangannya kepada Sang Duyung dan sebuah anggukan menjadi jawaban.

Sang Duyung menyeret tubuhnya ke cekungan dan menceburkan diri hingga hanya separuh wajahnya yang nampak di permukaan. Gelembung-gelembung udara mulau muncul dan bergerombol di sekitar Sang Duyung, lantas permukaan air dalam cekungan meninggi, membanjiri ruangan yang dibatasi oleh batuan karang, semata kaki, selutut, dan berhenti. Aku bisa merasakan ombak dan asinnya menggerus luka di tubuhku yang muncul akibat berbagai macam benturan. Priaji Adhikara kini berdiri di sampingku, tangan kanannya berpegangan pada dundakku dan aku bisa merasakan informan terbaik Aliansi terguncang. “Priaji.” Aku memanggilnya pelan, berusaha menghilangkan getaran yang mendera tubuh Priaji Adhikara. “Tenang,” Pintaku.

Gelombang yang menerpa lututku semakin kencang, air asinnya terciprat tidak karuan, memaksaku kembali mengamati tabiat Sang Duyung. Makhluk fana mempesona itu berenang perlahan memasuki salah satu jalur, sementara Pemandu Ruh duduk di atas tangan ruh raksesa sambil bermain air dengan kedua kakinya. Sesekali ia tersenyum kearahku sebelum mengawasi kedalaman cekungan. “Ayo pergi dari sini.” Bisikku pada Priaji Adhikara. Kondisinya tidak baik dan aku tidak mau mengambil risiko lebih. Sayangnya Pemandu Ruh mendengar bisikanku dan dengan tegas memberi perintah.

"Kalian tidak boleh pergi, harus aku dulu yang pergi. Tunggu saja dulu di sini ya.” Ia mengakhiri permintaannya dengan senyum manis. “Kalian belum menjawab pertanyaanku loh.”

“Ya, kami dari Aliansi makhluk Fantasi.” Jawabku tanpa ragu, sebab aku yakin Pemandu Ruh pastinya sudah mengetahui fakta itu.

“Benar ternyata, aku harap teman-temanku tidak terlalu keras kepada anggota Aliansi yang tadi aku temui di pesisir utara pulau ini.” Tubuhku menegang mendengar penuturan pemandu Ruh, melihat bagaimana aku dan Priaji tidak mampu menghadapi Pemandu Ruh dan Sang Duyung, bagaimana dengan Bayu Biru yang nyata-nyata memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan Delaphine Scannel.

“Temanmu, duyung?” Aku mengajukan pertanyaan acak sambil berharap Priaji Adhikara bisa cepat menenangkan diri, mencari pemecahan, dan entah bagaimana menyertku dari kemungkinan binasa di tangan Pemandu Ruh, Sang Duyung, atau Pemuja Waktu yang pastinya sudah menyadari adanya huru-hara dalam kuil.

“Putri Duyung itu Malea Lealeah.” Pemandu Ruh menunjuk ke arah perginya Sang Duyung. “Temanku yang lain, rahasia.” Ia kembali memberikan senyuman. “Aku tahu Aliansi mencoba menghalangiku meminjam Pusaka Kepala Rembuculung, jadi aku tidak akan memberikan kalian informasi terkait itu, aku tidak mau kalian menghalangiku lagi. Jujur saja, aku tidak mengerti mengapa kalian menghalangiku, padahal aku tidak akan menyerang Nusanatara ataupun Mayapada, sungguh, kalian tidak perlu kawatir.”

“Benarkah, jadi untuk apa kamu meminjam pusaka milik Penyembah Waktu? Aku pikir semua pihak yang berusaha merebut pusaka dewa memiliki niat menjadi Dewa.”

Tatapan teduh Pemandu Ruh tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang tajam dan menusuk. “Kamu tahu terlalu banyak rupanya, aku tidak suka.” Suaranya tidak lagi lembut apalagi menenangkan, ada teror di dalamnya dan aku tidak bisa berkutik seperti Priaji Adhikara. “Ini tidak ada hubungannya denganmu, apalagi Aliansi Makhluk Fantasi, kalian seharusnya tidak ikut campur!” Aku tidak berani membalas omongan Pemandu Ruh, ketakutanku bercampur dengan takjub akan bagaimana kepribadiannya berubah begitu cepat. Inikah yang disebut mengendalikan, memanipulasi, dan menghasut ruh?

“Jangan dengarkan omongannya.” Priaji Adhikara berbisik di telingaku, suaranya begitu pelan dan ditelan kelelahan. “Kita harus segera keluar, Pemandu Ruh tidak sendirian, Delaphine dan Bayu dalam bahaya, jika teman Pemandu Ruh sekuat Duyung tadi.” Aku baru menyadari guratan biru hijau di leher Priaji Adhikara, sebuah tanda bahwa Sang Duyung tidak bermain-main saat mencekiknya tadi. “Jika Penyebah Waktu menyergap tempat ini, Aliansi mungkin akan dijadikan kambing hitam oleh Pemandu Ruh.”

“Kamu pikir aku tidak tahu kamu berbisik-bisik!” Pemandu Ruh memberikan peringatan dan tubuh Priaji Adhikara kembali menegang. “Terserah saja lah, aku tidak peduli lagi, bicara saja yang keras, toh aku tidak akan membiarkan kalian keluar hidup-hidup dari kuil ini.” Priaji Adhikara meremas pundakku mendengar ucapan Pemandu Ruh. Samar sekali aku bisa merasakan ia mengumpat.

“Aku kira, aku kira kamu lembut seperti saat mengajak Sang Duyung bicara.” Aku tidak akan membiarkan Pemandu Ruh membunuh Priaji Adhikara, aku, maupun Delaphine Scannel, dan Bayu Biru, aku akan mengorek sesuatu dan mencari kesempatan.

“Kamu tahu kemampuanku bukan? Menurutmu bagaimana itu bekerja.” Itu artinya, suara dan perilaku adalah media utamanya untuk memanipulasi ruh. “Bukankah kamu juga terpengaruh tadi, kamu lemah sekali.” Pemandu Ruh tertawa pelan sebelum menggeleng mencemooh aku dan Priaji Adhikara.

“Pemandu tidak boleh membunuh.” Priaji Adhikara tiba-tiba angkat bicara, kalimatnya bergetar antara keengganan dan kejengkelan terhadap Pemandu Ruh. “Kamu tidak tahu itu?” Ia masih mencengkeram pundakku seperti tengah berusaha untuk tegar di tengah-tengah hal yang ia takuti setengah mati.

“Aku tahu, aku tahu semua aturan sebagai pemandu, termasuk hal-hal tidak masuk akal yang tidak akan bisa diterima oleh akal sehat makhluk-makhluk fana.” Pemandu Ruh menyombonkan pengetahuan dan kenaasan nasibnya sebagai pemandu.

“Kamu dengar itu.” Priaji Adhikara kembali berbisik, agaknya ia tahu aku berusaha mengulik sesuatu yang bisa dijadikan senjata melawan Pemandu Ruh. “Itu salah satu rahasia, karma yang hanya berlaku untuk para Pemandu." Ia melanjutkan dengan nada yang jauh lebih pelan dan diliputi duka.

Sang Duyung Malea Lealeah kembali membawa sebuah kotak pusaka berwarna hitam dengan ukiran kembang kenanga yang agaknya disepuh dengan emas. Ia menyerahkan kotak pusaka itu ke Pemandu Ruh sambil memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. Pemandu Ruh menerima pemberian Sang Duyung, membukanya dengan mudah dan mengamati apa-apa yang berada di dalam kotak dengan seksama. “Terima kasih Malea.” Ia mengelus kepala Sang Duyung sambil menyunggingkan senyum. “Boleh aku minta tolong satu hal lagi?”

Malea Lealeah bergantian menatap mata jernih Pemandu Ruh lantas aku dan Priaji Adhikara yang telah lusuh. Ia mengangguk setelahnya sambil melambaikan tangan padaku. “Kamu hendak menyuruh Sang Duyung membunuh kami?” Priaji Adhikara mungkin telah kehilangan akal dan kesabaran.

“Apa? Tidak, tidak boleh membunuh makhluk fana, benar kan Malea?” Lagi-lagi Pemandu Ruh menjejali Sang Duyung dengan kelembutan dan berbagai pertanyaan. “Tolong tahan mereka di sini sementara aku menjemput Anta dan Cala, dua puluh menit saja.” Pemandu Ruh memberikan isyarat dua dengan jarinya. “Kita bertemu di tempat awal nanti untuk sarapan bersama ya.” Sang Duyung mengangguk sementara aku kembali dilingkupi resah mendengar dua nama yang kemungkinan harus dihadapi sendirian oleh kawanku Bayu Biru.

Pemandu Ruh melambaikan tangan ke Sang Duyung sebelum duduk besimpuh di atas tangaan kanan ruh raksesa, tidak lama tangan kiri menyembul dari cekungan dan menangkup, memenjarakan Pemandu Ruh dari dunia luar serta air laut yang mulai kembali bergejolak. Tangan-tangan ruh raksesa itu menghilang meninggalkan ruang melalui cekungan, meninggalkan Sang Duyung yang tersenyum sumringah di seberang. “Kamu sudah dengar rahasianya.” Priaji membisikkan kalimat pendek yang sulit dipahami di masa-masa genting seperti ini. “Aku akan menahan Duyung gila itu di sini.”

“Kamu tidak akan bisa menahan Sang Duyung.”

“Aku bisa, hanya jika tidak ada saksi mata, beberapa ajianku syaratnya memang menyusahkan, pergi saja sekarang sebelum tangan itu membawa Pemandu Ruh semakin jauh.” Priaji Adhikara menceburkanku ke dalam cekungan dan aku bisa mendengar ia menjentikkan jari sebelum air memenuhi telingaku. Aku tidak tahu apa yang direncanakan informan lemah itu, tapi untuk kali ini aku akan mempercayai kegilaannya.

Aku berubah menjadi ikan, mengekori setangkup tangan raksesa yang berenang-renang di Samudra. Arahnya jelas menuju ke Pulau Jawa, tapi sayangnya semakin aku dekati semakin pudar wujud dari setangkup tangan berisi Pemandu Ruh, seperti ia dan tubuh rohani di dalamnya melebur menjadi satu dengan Samudra. Aku kebingungan, di dekat Pelabuhan, mengais jejak yang mungkin tertinggal supaya pengorbanan Priaji Adhikara untuk menghadapi Sang Duyung sendirian, dan Bayu Biru yang menghadapi Anta dan Cala tidak berakhir sia-sia. Sialnya, aku mungkin terlalu payah dalam melakukan investigasi.

Rasanya sangat tidak menyenangkan, aku pernah gagal dalam misi, melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab sampai mengakibatkan terbunuhnya makhluk fantasi atau agen lain. Sedih dan menyesal tentu menghampiriku, tapi saat itu rasanya tidak seberat ini, sebab aku tahu di kemudian hari aku tidak akan perlu berurusan lagi dengan mereka sebab misi itu telah selesai baik gagal maupun berhasil. Tapi kali ini, aku masih menanggung beban untuk mengamankan tiga pusaka lain. Aku bahkan tidak tahu apakah rekan sereguku masih bernapas atau tidak. Aku juga menghadapi kenyataan besar bahwa berhadapan langsung dengan Pemandu Ruh adalah kesalahan fatal. Aku tidak tahu, aku tidak lebih dari ikan asin yang tercebur ke lautan dan diombang-ambingkan.

Setelah puas terombang-ambing dan menyusuri daerah sekitar Pelabuhan, aku memutuskan untuk menghubungi Aliansi Makhluk Fantasi, Pak Pandu lebih tepatnya, yang menjabat sebagai pengawas misi khusus mengamankan Pusaka Dewa. Aku meminta Aliansi untuk menjemput Bayu Biru dan Delaphine Scannel, lantas menceritakan apa-apa yang aku dan Priaji Adhikara hadapi dalam Kuil Penyembah Waktu. “Aku akan kembali ke Pulau Wadas untuk memastikan rekanku selamat.” Begitu ucapankan sebelum menutup sambungan telepon.

___________________

:D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro