7. Naga dan Racun

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jam di ponselku menunjukkan pukul tiga lebih 25 menit, dan aku kembali menceburkan diri ke laut. Aku berubah menjadi seekor ikan layar muda dan melesat secepat yang aku bisa menuju Pulau Wadas. Pikiranku dipenuhi bayangan buruk mengenai kondisi Bayu Biru, Delaphine Scannel, dan Priaji Adhikara.

Bayu Biru kuat dan aku paham betul kemampuannya. Ia salah satu Agen kelas A paling tangkas yang selalu menang saat latih tanding. Ia juga bisa mengendalikan air seperti Si Duyung. Jadi mungkin, mungkin saja, ia bisa menang kalau menghadapi Si Duyung atau paling tidak mengimbangi Si Duyung. Aku tidak tahu makhluk fantasi seperti apa yang berkomplot dengan Pemandu Ruh, tapi aku lumayan yakin, Bayu Biru akan baik-baik saja.

Delaphine Scannel bukan orang bodoh. Ia sangat pintar, ia punya ratusan mungkin ribuan pengetahuan mengenai perfantasian Nusantara di kepalanya. Jadi, meski tidak punya pengalaman di lapangan, Delaphine Scannel pasti bisa mencari tempat sembunyi yang aman. Mungkin ramalannya juga bisa digunakan untuk memperkirakan pergerakan komplotan Pemandu Ruh.

Priaji Adhikara selalu jengkel dan marah, tapi ia mungkin sama pintarnya dengan Delaphine Scannel. Ia informan terbaik Aliansi yang berhasil menyusup dan mengorek informasi terkait pergerakan Penyembah Waktu. Sendirian, tanpa bantuan Agen lain. Jadi, ia akan baik-baik saja, mungkin sedikit lecet karena menahan Si Duyung.

Aku berusaha menghapus pikiran buruk yang sebelumnya membanjiri kepalaku. Bagaimanapun, aku memimpin Samsara, dan sebagai pemimpin, aku harus tetap tenang.

Mendekati pesisir selatan Pulau Wadas aku kembali menjadi Maya Asmaraloka setelah memastikan tidak ada Penyembah Waktu yang berjaga di sekitar. Mungkin keributan di kuil merebut seluruh fokus Penyembah Waktu dan menjadikan wilayah pesisir tanpa penjagaan. Itu bagus.

Aku berlari sepanjang pesisir Pulau Wadas selama lima menit, sambil mencari keberadaan Bayu Biru dan Delaphine Scannel, atau bekas-bekas perkelahian. Lantas tas punggung besar milik Delaphine Scannel nampak menyembul dari balik segerombol pohon kelapa.

Aku mendekat, berharap menemukan Delaphine Scannel sedang bersembunyi di samping tas ransel besarnya. "Delaphine!" Aku memang menemukan gadis pendek berkaca mata itu, tapi ia nampak bersandar pada pohon sambil menutup mata. "Hei, Delaphine." Aku berjongkok di samping Delaphine Scannel dan mengecek nadinya. Sebuah embusan panjang lolos dari mulutku setelah memastikan Delaphine Scannel masih hidup. "Delaphine." Aku mencoba memanggil sambil menepuk-nepuk pipinya, membangunkannya.

Gadis pendek berkaca mata ini mungkin sangat ketakutan saat melihat komplotan Pemandu Ruh sampai tidak sadarkan diri. Mungkin seharusnya aku tidak membawanya ke Pulau Wadas. Ia bisa berdiam di Ibu Kota Sengkawa dan mencari Pusaka Dewa yang ada di sana. "Delaphine." Aku kembali memanggilnya sambil sedikit mengguncang tubuhnya.

"Hmm, lima menit lagi Mah." Itu yang digumamkan oleh Delaphine Scannel dan aku harus berdiri, mundur tiga langkah, dan menggaruk kepala agar tidak memarahi atau memukul gadis pendek berkaca mata itu.

"Bangun sekarang atau aku ceburkan kamu ke laut." Lanjutku sambil berkacak pinggang di hadapan Delaphine Scannel yang mulai membuka mata.

Gadis pendek berkacamata itu menguap sambil menggosok matanya sebelum menatapku dengan wajah penuh kebingungan. Mungkin ia belum sadar kalau sedang berada di Pulau Wadas, dan dalam misi yang amat sangat penting untuk mengamankan Pusaka Dewa. "Eh? Maya." Ia tersenyum sebentar sebelum merangkak ke arahku dengan kekawatiran di wajah. "Kamu terluka."

Aku memijat pelipisku sambil mendekati Delaphine Scannel. "Bayu di mana?" Tanyaku sambil membantu Delaphine Scannel berdiri.

"Bayu, oh, tadi dia marah-marah lalu pergi!" Delaphine Scannel menjawab sambil mengamati luka gores di sekujur lenganku. "Aku bawa perban, salep, desinfektan juga."

"Nanti dulu, Bayu marah? Di mana?" Aku mengulangi pertanyaanku, berusaha agar Delaphine Scannel fokus pada hal yang lebih penting dari mengobali lecet. Sesuatu yang menggemparkan bagi Bayu Biru mungkin telah terjadi, sampai-sampai Naga Jadi-jadian itu marah.

"Pemandu Ruh tiba-tiba tidak terdeteksi, lalu dua orang berpakaian serba hitam muncul dari balik tangan ruh raksasa. Bayu kelihatan marah melihat dua orang itu, ia berdebat dengan salah satunya sementara aku bersembunyi." Delaphine Scannel menjelaskan sambil membongkar ransel besarnya. "Aku tidak dengar apa yang mereka debatkan, tapi kedua orang itu lari ke dalam pulau dan Bayu mengejarnya." Ia mengguyur luka di lenganku dengan desinfektan.

"Kenapa kamu tidak mengabariku?" Aku meringis merasakan perih saat lukaku dibasuh. Dua orang berpakaian hitam yang menunggangi tangan ruh raksasa jelas adalah komplotan Pemandu Ruh. Salah satunya mampu membuat Bayu Biru yang teduh dan sentimental marah. Aku memang berkawan dengan Bayu Biru sejak menjadi agen kelas E, tapi aku tidak tahu kalau ada seseorang yang keberadaannya saja bisa membuat Naga Jadi-jadian itu marah.

"Ponselku hilang, sepertinya jatuh saat berlari mencari tempat sembunyi." Ia mengoleskan salep lantas membebatnya dengan perban. "Katamu aku harus sembunyi, jadi aku diam saja di sini." Ia cukup terampil.

"Terima kasih, aku akan mencari Bayu Biru, kamu tunggu di sini, Aliansi akan segera datang dan menjemputmu ..." Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Delaphine Scannel memotong dengan sebuah tepukan keras di lenganku.

"Tidak mau! Aku mau ikut, aku bisa membantu!"

Aku menjauhkan kedua lenganku dari Delaphine Scannel sebelum gadis pendek berkacamata itu melakukan tindak kekerasan serupa pada bagian yang terluka. "Aku tidak bisa mencari Bayu sambil menjagamu."

"Aku bisa menjaga diriku sendiri, aku bisa bela diri, aku punya sabuk hitam dan senjata api." Delaphine Scannel kembali membongkar ransel lantas memamerkan senjata api yang ia bawa. "Aku pernah ikut Pekan Olah Raga Nusantara dan dapat perak."

"Kenapa kamu tidak bilang?" Aku sedikit terkejut. Aku pikir Delaphine Scannel hanya peniliti merangkap tukang ramal yang tidak lentur, tidak pandai olah raga, dan tidak bisa dibiarkan sendirian di luar ruangan tanpa pengawasan orang dewasa, meski ia sendiri sudah dewasa.

"Kamu tidak tanya, lagipula aku sudah kirimkan riwayat hidup dan karir dari semua anggota Samsara ke email-mu, aku pikir kamu sudah tahu."

"Kapan?"

"Setelah rapat terbatas, bersama dengan data-data tentang Pemandu Ruh." Delaphine Scannel menjawab dengan wajah polos dan rasanya aku sangat ingin mengecek email-ku saat ini juga.

"Baiklah, tinggalkan ranselmu dan kita cari Bayu. Naga itu lari ke arah mana?" Aku akan membahas mengenai keteledoranku lain kali. Menemukan Bayu Biru lebih penting saat ini.

"Ke sana." Delaphine Scannel menunjuk ke arah bagian dalam pulau lantas mengedik.

Aku mengangguk lantas menggandenga Delaphine Scannel memasuki Pulau Wadas. Gadis pendek berkacamata itu nampak menoleh ke kanan-kiri selama pencarian sebelum akhirnya melemparkan pertanyaan. "Priaji di mana?"

"Di dalam kuil Penyembah Waktu, ceritanya panjang." Ada kegetiran dalam nada suaraku dan sepertinya Delaphine Scannel menyadari itu. Ia tidak bertanya lebih lanjut.

Hampir lima belas menit aku dan Delaphine Scannel menyusuri Pulau Wadas sambil sesekali bersembunyi dari pandangan Penyembah Waktu. Tapi Bayu Biru tidak kunjung ditemukan. Aku mulai kehabisan waktu. "Lebih baik kamu kembali ke pesisir, agen yang diutus Aliansi untuk menjemput kita mungkin sudah sampai."

"Bagaimana denganmu? Bayu dan Priaji? Aku tidak mau kembali ke Pulau Jawa sendirian." Delaphine Scannel nampak lesu. "Maya!" Tapi ia tiba-tiba menyerukan namaku dengan semangat. "Aku kan peramal! Kenapa aku tidak meramal di mana keberadaan Bayu." Sungguh, aku lupa, aku belum pernah bekerja sama dengan peramal dan tidak begitu paham bagaimana cara kerja kemampuan mereka.

Delaphine Scannel mengulurkan kedua tangannya ke depan lantas menutup mata, ia merapalkan sesuatu sebelum kedua tangannya terarah ke sisi timur Pulau Wadas. "Harusnya, sejak tadi." Aku berubah menjadi macan dan memaksa Delaphine Scannel menunggangiku.

Naga Jadi-jadian, kawanku yang sentimental akhirnya terlihat di pesisir bagian timur Pulau Wadas. Ia sedang melakukan tindak kekerasan terhadap sosok yang tidak asing. "Yang benar saja, tidak mungkin kamu tidak tahu apa-apa tentang Pemandu Ruh!" Ia mengajukan tuduhan dengan wajah jengkel, seperti wajah Priaji Adhikara, sambil menampar sosok yang terikat dan tersungkur di pasir pantai. "Aku tahu kamu tidak pintar, tapi itu sangat gegabah Anta!"

Benar, sosok yang terikat, tersungkur, dan nampak tidak asing bagiku adalah Anta, Ananta Wisesa, naga jadi-jadian seperti Bayu Biru yang berasal dari Klan Nagasesa.

Aku dan Delaphine Scannel mendekati Bayu Biru dan naga jadi-jadian itu nampak terkejut melihat perban di kedua lenganku. "Berhasil?" Bayu Biru bertanya sambil menginjak punggung Ananta Wisesa.

Aku menggeleng, sementara Delaphine Scannel berjongkok di hadapan Ananta Wisesa yang tersungkur. "Dia membantu Pemandu Ruh?" Tanyaku sambil menunjuk Ananta Wisesa.

"Iya, tapi ia bilang, ia tidak tahu kalau Natapraja itu Pemandu Ruh. Ananta dan orang itu." Bayu Biru menunjuk ke sosok lain yang berpakaian serba hitam, nampak tidak sadarkan diri, dan terikat di pohon kelapa. "Jangan sentuh orang itu, tubuhnya penuh racun." Aku baru menyadari kalau sisik kebiruan di lengan Bayu Biru kini berwarna keunguan. "Tapi racunnya tidak sekuat racunku."

"Baguslah." Aku yakin Naga Jadi-jadian itu terkena racun. Rasanya pasti tidak nyaman.

"Di mana informan tukang marah itu?" Bayu Biru  bertanya sambil mengamati sekitar, mungkin mencari keberadaan Priaji Adhikara.

"Di dalam Kuil Penyembah Waktu. Pemandu Ruh muncul dengan seorang duyung, mereka mendapatkan Kepala Rembuculung, aku mengejar Pemandu Ruh sementara Priaji di dalam kuil menahan Si Duyung." Aku menceritakan garis besarnya kepada Bayu Biru.

"Wah, temanmu itu pasti mati, soalnya Malea itu sinting." Ananta Wisesa berkomentar dan Bayu Biru menghentakkan kakinya beberapa kali di punggung Ananta Wisesa. "Aku cuma bicara jujur ya!"

"Orang bodoh baiknya diam saja. Sekarang bagaimana?" Bayu Biru kembali bertanya dan aku mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab.

"Aliansi akan datang menjemput, kamu dan Delaphine kembali saja dulu ke Ibu Kota. Bawa Ananta dan Si Racun, mungkin kita bisa dapat informasi dari keduanya. Aku akan kembali ke Kuil Penyembah Waktu dan membawa pulang Priaji."

"Kamu yakin bisa melakukannya sendirian? Delaphine saja yang kembali, aku akan membantumu mengeluarkan Priaji dari kuil." Bayu Biru bernegosiasi. "Aku lebih kuat darimu Maya." Itu fakta yang tidak bisa dibantah.

Aku bisa melihat Delaphine Scannel yang masih berjongkok di hadapan Ananta Wisesa nampak tidak senang. Mungkin karena aku dan Bayu Biru sama-sama menginginkan Delaphine Scannel kembali ke Ibu Kota Sengkawa. Tapi gadis pendek berkacamata itu tidak menyanggah. "Baiklah, kita harus pindah dulu, Aliansi akan menjemput di pesisir bagian selatan." Aku rasa, aku bisa menerima bantuan Bayu Biru.

"Bantu aku pindahkan ular bodoh ini, aku akan pindahkan yang satunya."

Aku menyeret Ananta Wisesa sepanjang jalur pantai, dari timur ke selatan. Bayu Biru memanggul Si Racun di pundak, sementara Delaphine Scannel mengekori di belakang bersama tas ransel besarnya.

Aku perlu memikirkan bagaimana caranya memasuki kuil Penyembah Waktu tanpa bantuan ajian milik Priaji Adhikara. Pengamanannya pasti sudah diperketat, dan Penyembah Waktu mungkin sudah menunggu kedatangan rekan Priaji Adhikara. Aku mungkin bisa masuk dengan menyamar sebagai binatang dan Bayu Biru mungkin bisa masuk lewat cekungan besar. Aku akan mencari dari atas sementara Bayu Biru dari bawah. Setelah menemukan Priaji Adhikara, pasti akan lebih mudah.

"Maya, itu." Bayu Biru tiba-tiba berhenti dan menatapku membuyarkan pemikiranku. "Kelihatan, tidak baik."

Lima meter di depan sana, dua orang Penyembah Waktu dengan topeng kayu menutupi wajah nampak berdiri mengapit Priaji Adhikara yang terduduk lesu. Keduanya membawa senjata, sejenis golok yang ukurannya lebih besar dan panjang. Senjata itu mereka arahkan ke sisi kanan dan kiri leher Priaji Adhikara seolah memberi peringatan agar tidak bertindak gegabah jika ingin Si Informan selamat.

"Kalian sudah puas bermain-main di tempat sakral kami?" Penyembah Waktu ketiga dengan topeng yang lebih mewah dan besar tiba-tiba muncul dari balik batu karang.

Aku tidak berani menjawab, aku takut salah bicara dan membuat Penyembah Waktu marah.

"Kami tidak bermain-main." Bayu Biru mungkin menyadari ketakutanku dan mencoba mengambil alih keadaan.

"Kalian mengancurkan kuil kami dan merebut pusaka kami, mungkin memang lebih tepat disebut mengacau daripada bermain." Penyembah Waktu bertopeng mewah berdiri di belakang Priaji Adhikara. Kaki kanannya menginjak pundak Priaji Adhikara. "Aku akan bermurah hati kali ini, aku beri kalian kesempatan untuk mengembalikan pusaka kami." Ia menendang pundak Priaji Adhikara.

"Bukan kami yang mengambil pusa..." Ucapan Bayu Biru dipotong oleh Penyembah Waktu bertopeng mewah.

"Satu bulan! Jika kalian tidak mengembalikannya, maka pasukan Kala akan dengan senang hati mengunjungi dan menghancurkan Aliansi." Penyembah Waktu bertopeng mewah kembali menedang Priaji Adhikara. "Aku sudah sangat bermurah hati. Orang ini." Lagi-lagi ia menendang pundak Priaji Adhikara. "Akan jadi penghubungku."

Aku tidak mengerti apa maksudnya menjadikan Priaji Adhikara sebagai penghubung. Tapi aku cukup lega karena ketiga Penyembah Waktu itu meninggalkan lokasi setelah bergantian menendangi tubuh Priaji Adhikara. Mereka tidak menyerang aku, Bayu Biru, dan Delaphine Scannel. Mereka hanya ingin Kepala Rembuculung dikembalikan dalan waktu satu bulan.

Delaphine Scannel langsung berlari mendekati Priaji Adhikara setelah ketiga Penyembah Waktu tidak lagi nampak. Ia berjongkok di samping Priaji Adhikara yang terduduk lemas dan menunduk.

"Menurutmu, dia baik-baik saja?" Bayu Biru bertanya padaku sebelum mengikuti Delaphine Scannel.

"Aku rasa, tidak."

____________________

Not hehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro