8. Air dan Air

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pukul lima pagi, bersamaan dengan matahari terbit, kapal cepat milik Aliansi sampai di pesisir utara Pulau Wadas. Kapal itu dikemudikan oleh dua orang agen kelas B yang seingatku lebih sering diterjunkan sebagai tim medis. Tujuannya, untuk menjemput regu Samsara yang mulai menyadari kalau misi yang mereka emban benar-benar membuat sengsara.

Dua agen kelas B membantu aku dan Bayu Biru memindahkan tas ransel besar milik Delaphine Scannel, Ananta Wisesa Si Naga Bumi, dan Calakuta Wening Si Racun ke geladak belakang. Sementara Delaphine Scannel memapah dan menuntun Priaji Adhikara ke geladak depan dengan telaten.

Tidak lama kemudian, kapal cepat melaju meninggalkan Pulau Wadas. Aku dan Bayu Biru masih sibuk mengikat Ananta Wisesa dan Calakuta Wening ke tiang tangga supaya dua komplotan Pemandu Ruh itu tidak kabur ketika kapal cepat mulai bergerak. "Sudah aku bilang! Aku itu tidak tahu apa-apa! Aku dijebak oleh Natapraja." Ananta Wisesa terus membela diri sementara Calakuta Wening menangis tersedu-sedu.

"Jangan berisik Anta, kamu juga tidak perlu menangis Cala." Bayu Biru berusaha menenangkan keadaan setelah selesai mengikat dua komplotan Pemandu Ruh ke tiang tangga. "Anta, aku yakin Pemandu Ruh tidak menjebakmu, kamu saja yang kurang berpikir sampai-sampai tidak tahu siapa sosok yang mengajakmu bermain ke Pulau Wadas. Dan Cala, tidak ada gunanya menangis, lebih baik kamu jelaskan padaku kenapa kamu membantu Pemandu Ruh." Bayu Biru mengomel.

Aku bersandar pada dinding besi di samping dua komplotan Pemandu Ruh yang terikat. Kedua tanganku terlipat di depan dada dan sesekali aku melirik ke geladak depan. Mencuri pandang ke arah Priaji Adhikara dan Delaphine Scannel yang duduk bersandar bersebelahan tanpa terlihat membicarakan sesuatu.

Laki-laki berambut ikal yang biasanya bermuka jengkel itu terus diam sejak disebut sebagai penghubung oleh Penyembah Waktu bertopeng mewah. Aku sempat melihat Delaphine Scannel mencoba mengajaknya bicara tapi Priaji Adhikara nampaknya tidak merespon. Tatapan Informan itu juga agak aneh, sedikit kosong, was-was, dan lelah, seperti baru saja melihat sosok raja setan.

"Katanya dia informan terbaik. Informan terbaik tidak mungkin rusak semudah itu bukan?" Bayu Biru menangkap kekhawatiranku.

"Aku harap ia tidak benar-benar Rusak. Omong-omong kamu tahu kan informan itu pernah menyusup ke Kuil Penyembah Waktu, ia menyusup setelah Penyembah Waktu menyerang markas Aliansi." Aku menjeda dan Bayu Biru menggeleng, nampaknya naga jadi-jadian itu juga tidak mengetahui adanya penyerangan terhadap markas Aliansi. "Intinya seperti itu. Aku tidak tahu informasi apa yang Priaji dapat saat menyusup tapi aku pikir, Penyembah Waktu sebenarnya tahu kalau Priaji menyusup. Mereka tahu kalau Aliansi mengirim informan yang kemampuannya bersumber dari ajian. Buktinya, Penyembah Waktu merenovasi kuilnya dan mereka memasang sejenis mantra penangkal ajian."

"Jadi, kalian tidak hanya menghadapi Pemandu Ruh tapi juga Penyembah Waktu?" Bayu Biru kini menatap sepenuhnya ke arah Priaji Adhikara di geladak depan yang masih terduduk lesu.

"Ya, keduanya, tapi tidak secara langsung. Ada satu lorong penuh mantra penangkal ajian dalam kuil Penyembah Waktu. Itu membuat Priaji kesulitan." Aku menggeleng sambil menaruh tangan di saku celana. "Kalau Pemandu Ruh, ia menyerang lewat seorang duyung bernama Malea Lealeah dan sepasang tangan ruh raksasa."

"Anta memang bilang kalau ada duyung di kelompoknya, tapi aku tidak begitu percaya sebab ular bumi itu kurang bisa dipegang omongannya. Lagipula, Duyung sudah dinyatakan punah beberapa tahu lalu, akibat dilegalkannya perburuan paus. Sekarang, aku percaya Duyung belum punah sepenuhnya karena kamu yang bilang." Bayu Biru menjeda dan ikut bersandar pada dinding besi di sampingku. "Bagaimana rasanya berhadapan dengan Pemandu Ruh?"

Aku menatap ke Pulau Wadas yang semakin menjauh. "Rasanya, memabukkan. Makhluk itu benar-benar berbentuk ruh, putih, sedikit transparan, sedikit bercahaya, rapuh seolah ia pasti remuk kalau disentuh, dan saat pertama kali melihatnya mungkin kamu akan merasa kalau ia seperti ruh bayi yang baru saja ditiupkan ke Mayapada." Aku yakin Bayu Biru mampu memahami penjelasanku yang aneh. "Suaranya terdengar sangat lembut dan sentuhannya terlihat sangat hati-hati. Tapi ada hasrat dan kengerian di matanya yang memberi tahu aku kalau makluk itu berbahaya. Kamu mengerti?"

Bayu Biru mengangguk meski nampak sedikit bingung sebelum kembali mengajukan pertanyaan. "Sekarang bagaimana?"

"Menurutmu bagaimana?"

"Anta menyebut kelompok Pemandu Ruh hanya terdiri dari empat orang, dan dua diantaranya sudah kita ringkus. Artinya, menghadapi Pemandu Ruh akan jadi lebih mudah. Duyung itu, aku yakin bisa menghadapinya, dengan sedikit bantuan darimu. Kita bisa mencoba merebut Kepala Rembuculung, itu kalau kamu merasa perlu." Usulan yang menarik dari Bayu Biru.

"Aku rasa, itu terlalu berisiko, mungkin ucapan Pak Pandu ada benarnya, mengamankan Pusaka Dewa adalah pilihan terbaik, dan kita tidak perlu berhadapan langsung dengan Pemandu Ruh." Aku terus berbincang dengan Bayu Biru mengenai banyak hal sampai kapal cepat milik Aliansi bersandar sepenuhnya di pelabuhan.

Aku sedang membantu Bayu Biru melepaskan ikatan Ananta Wisesa dan Calakuta Wening dari tiang tangga, saat Delaphine Scannel tiba-tiba mendekat dan menarik-narik ujung pakaianku. "Maya, ada yang salah dengan Priaji." Begitu katanya. Aku tahu informan itu sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. "Ia kelihatan stress dan ketakutan. Ia beberapa kali bergumam ingin pulang. Katanya ada yang salah dengan tubuhnya."

Aku menatap Delaphine Scannel, Bayu Biru, lantas kembali ke Delaphine Scannel. "Ya, Priaji bisa pulang, kamu juga, kalian butuh istirahat." Aku melirik ke arah Bayu Biru setelah mengatakan itu. Memberikan isyarat pada kawanku untuk tidak ikut beristirahat sebab ada banyak sekali hal yang perlu dirundingkan dan dibicarakan. "Delaphine, terus ajak Priaji bicara, kita perlu tahu apa yang terjadi dalam Kuil Penyembah Waktu termasuk kondisi Malea Si Duyung setelah sempat ditahan oleh Priaji."

Delaphine Scannel mengangguk, ia menuruti perintahku. Gadis pendek berkacamata itu napak terus mengajak Priaji Adhikara bicara selama perjalanan darat dari pelabuhan ke Ibu Kota Sengkawa, meski aku tidak yakin Priaji Adhikara memberikan respon. Tidak masalah, cepat atau lambat, Priaji Adhikara pasti akan membuka mulut.

Regu Samsara sampai di Ibu Kota Sengkawa pukul satu siang, dan aku memaksa agen kelas B untuk segera mengantar Priaji Adhikara pulang setelah tim medis menyatakan informan itu tidak punya luka serius. Aku juga membolehkan Delaphine Scannel pulang, tapi gadis pendek berkacamata itu memaksa ingin tetap tinggal dengan dalil ada informasi yang perlu ia sampaikan padaku.

Jadi begini kondisinya, pukul 15.00 WNB aku dan Bayu Biru berhadapan di tengah lapangan serbaguna milik Aliansi untuk melampiaskan segala emosi yang muncul akibat gagalnya misi pengamanan Kepala Rembuculung.

Latih tanding, itu yang akan aku dan Bayu Biru lakukan. Sebuah ritual selepas gagal menyelesaikan misi yang dilestarikan secara turun-temurun oleh agen kelas A. "Bersiap Maya, aku lumayan marah hari ini karena ular bumi itu berulah." Bayu Biru memberi peringatan sambil meregangkan otot-ototnya. Ular bumi yang Bayu Biru maksud adalah Ananta Wisesa.

"Aku juga lumayan jengkel karena Pemandu Ruh muncul terlalu cepat. Kalau aku sampai lebih cepat, aku rasa hasilnya akan berbeda." Aku berlari-lari kecil di tempat sambil menggoyang-goyangkan jari.

Sementara itu, Delaphine Scannel yang memaksa tetap tinggal duduk di pinggir lapangan sambil membaca sebuah kitab yang tidak aku ketahui namanya.

Aku mengambil kuda-kuda dan Bayu Biru melakukan hal yang sama. "Delphi, selain Kepala Rembuculung, Pusaka apa yang paling mudah didapat?" Aku bertanya sebelum berlari menerjang Bayu Biru dan mengarahkan tendangan tinggi ke samping wajahnya.

Naga Jadi-jadian itu terkekeh sambil menahan tendanganku dengan lengan dan kepalanya tangannya. Ia mengapit dan menahan kakiku, nampaknya berniat melemparku ke samping.

"Aku tidak begitu yakin, tapi mungkin Cupumanik Astagina." Gadis pendek berkacamata menjawab, aku bisa melihat bagaimana ia masih asik dengan kitab dipangkuannya dari sudut mataku. "Pusaka itu ada di dalam danau kawah Gunung Pungkasan yang terletak di perbatasan antara Jawa bagian barat dan tengah."

Aku berusaha melepas apitan Bayu Biru di kaki kiriku dengan melompat dan mencoba menendang lagi dengan kaki kiri ke bagian sisi kepala yang lain. Naga Jadi-jadian itu nampak sedikit terkejut, ia terburu-buru melepaskan kakiku dan mundur selangkah untuk menghindar. "Gunung Pungkasan yang sudah tidak aktif itu?"

"Dia bukannya tidak aktif, gunung itu kabarnya memasuki masa dormant setelah meletus sekitar tiga ratus tahun lalu. Vulkanologi Nusantara memang mengkategorikan Gunung Pungkasan sebagai gunung berapi dormant, tapi jujur saja, aku merasa gunung itu bisa meletus kapan saja. Insting peramal." Delaphine Scannel menutup kitabnya setelah selesai menjelaskan.

Aku kembali mengambil kuda-kuda sambil mengamati gerakan Bayu Biru. Naga jadi-jadian itu menggeleng sambil menerjang ke arahku. Kami beradu pukulan dan tangkisan selama hampir dua menit penuh sebelum ia berhasil memukulku dan memaksaku mundur. "Danau kawah itu berbahaya bukan? Maksudku tidak mungkin berenang di dalamnya."

"Ada beberapa danau kawah yang aman, bahkan dijadikan tempat wisata. Sayangnya danau kawah Gunung Pungkasan lumayan berbahaya karena konsentrasi belerang dan gas beracun di sekitarnya." Penjelasan Delaphine Scannel membuatku diam dan berkacak pinggang.

"Cupumanik itu ada di dalam danau kawah Gunung Pungkasan, danau itu berbahaya, bagaimana kita bisa mengambilnya?" Aku mengarahkan pertanyaan itu ke Bayu Biru yang ikut berkacak pinggang.

"Apa? Aku memang bisa mengendalikan air tapi bukan berarti aku bisa melakukannya pada seluruh air yang terbentang sekian puluh hektar. Dan aku tidak bisa kendalikan kondisi airnya, kalau beracun akan tetap beracun, kalau mendidih akan tetap mendidih." Bayu Biru terduduk di tempatnya setelah memberi jawaban.

"Tidak panas, hanya beracun." Tambahan penjelasan dari Delaphine Scannel tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.

"Cupumanik itu, bagaimana bentuknya?" Aku ikut duduk di tempatku seperti Bayu Biru.

Delaphine Scannel mengambil tabletnya lantas mengetik ini-itu sebelum menunjukkannya ke arahku dan Bayu Biru. "Ukurannya hanya sebesar kepalan tanganku, terbuat dari emas yang disepuh kekuatan ilaiah. Tiap sisinya dipenuhi ukiran yang terlalu rumit untuk dipahami oleh makhluk fana. Aliansi punya replikanya, disimpan di kompleks museum wayang, mau lihat?"

Aku mengamati gambar yang Delaphine Scannel tunjukkan melalui tabletnya. Pusaka Dewa, Cupumanik Astagina yang tidak lebih besar dari kepalan tangan Delaphine Scannel, mencarinya dalam danau kawah Gunung Pungkasan tidak akan mudah. Danau itu, seingatku lebarnya hampir 25 hektar, dengan kedalaman 5 sampai 10 meter. "Tidak perlu." Aku diam dan berpikir sambil menunduk sebelum melanjutkan. "Tidak ada gunanya mengetahui bentuk Cupumanik Astagina kalau kita belum mendapat cara untuk bisa masuk ke dalam danau kawah."

"Bagaimana dengan legenda yang mendasari Pusaka itu?" Bayu Biru memandang ke arah Delaphine Scannel sambil bertanya.

"Cupu itu, dihadiahkan oleh Dewa kepada seorang bidadari dan diwariskan kepada salah satu dari tiga anak bidadari. Tiga anak bidadari memperebutkan cupu sampai ayah mereka marah dan melepar cupu itu sembarangan. Cupu itu jatuh ke danau, bagaian bawahnya jatuh di Telaga Sumala sementara tutupnya di Telaga Nirmala. Aku tahu kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku menyebut pusaka itu ada di Danau Kawah Gunung Pungkasan saja, benar kan?" Aku mengangguk menanggapi tuduhan Delaphine Scannel.

"Itu karena, Danau Kawah Gunung Pungkasan seperti cermin dengan dua sisi, yang satu berada di Mayapada dan satunya lagi berada di Madyapada alias dunia ruh. Jadi, aku pikir, telaga sumala dan nirmala adalah satu tempat, Danau Kawah Gunung Pungkasan, hanya saja dipisahkan oleh tabir. Kalian mengerti penjelasanku?"

"Aku paham, tapi jujur saja, itu membuatku makin sulit memikirkan apa yang harus kita lakukan." Aku terkekeh dan merebahkan diriku di lantai lapangan serba guna. "Aku benar-benar tidak tahu bagaimana Delaphine. Mungkin, kita coba dulu melihat bagaimana bentuk Danau Kawah Gunung Pungkasan, baru memikirkan lagi apa yang bisa kita lakukan."

"Ya, begitu saja. Omong-omong, tadi Priaji sedikit bercerita saat aku tanya." Ucapan Delaphine Scannel memaksaku langsung bangkit dan mendekati dirinya. Bayu Biru yang biasanya tenang pun ikut tertarik dan mendekat. "Jadi, begini."

Menurut ucapan Delaphine Scannel, setelah aku menceburkan diri ke dalam cekungan untuk mengejar Pemandu Ruh, Priaji Adhikara sempat berkejar-kejaran dengan Malea Lealeah. Saat itu air dalam ruang berdinding batu naik sampai pinggang dan Malea Lealeah berenang sambil menarik-narik kaki Priaji Adhikara, seperti mencoba menenggelamkan informan itu. Untungnya, sepasukan Penyembah Waktu datang dan menyerang Malea Lealeah sementara Priaji Adhikara menggunakan ajiannya untuk bersembunyi.

"Dia diselamatkan Penyembah Waktu." Bayu Biru berkomentar.

"Sayangnya, salah satu Penyembah Waktu yang datang ke ruang berdinding batu itu adalah pendeta tertinggi Penyembah Waktu, sosok yang dirumorkan bertrah-Kala. Ajian Priaji tidak berguna di hadapan trah-Kala, aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi Priaji bilang begitu." Aku ingat informan berambut ikal itu bilang ia punya ajian spesial sebelum mendorongku ke cekungan, mungkinkah ia hanya membual.

"Mungkin karena orang itu yang menjadi sumber mantra penangkal ajian." Bayu Biru kembali berkomentar.

"Priaji ditangkap, ia bilang, orang itu, yang bertrah-Kala, sangat menakutkan, auranya jauh lebih pekat dari Pak Pandu. Priaji tidak berkutik dan tida bisa melawan, ia hampir dibunuh. Lalu, ia terpaksa menceritakan tentang Pemandu Ruh dan tugasnya kepada trah-Kala supaya bisa selamat. Priaji memang selamat karena membocorkan informasi kepada Penyembah Waktu, tapi ..." Delaphine Scannel menjeda dan aku merasakan bulu kudukku merinding. "Ia dikutuk, oleh trah-Kala, katanya kutukan itu akan membunuhnya."

___________________

Duar!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro