🌭17. Dasar Anak IPS!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keadilan tak pernah berpihak pada mereka yang masuk ke dalam jurusan sosial, sebab selalu dianggap tak memiliki masa depan :)

-Me and My Pacar Proposal-

"Nebullll!!!!" teriak Halona dan Asya dari dalam kelas yang langsung berlari mengejar sahabatnya. Astaga, sudah lama kali mereka tak berkumpul hanya karena Nebula yang sibuk berduaan dengan Arcas. Rindu.

Sontak saja gadis yang dipanggil namanya itu menghentikan langkah dan menoleh. Berdiri di ambang pintu, lantas mengerutkan kening seolah merasakan bahwa dua manusia kurang kerjaan itu pasti mau menagih traktiran es krim.

"When, sih?" tanya Nebula sembari melipat kedua tangannya di depan dada, kala mengingat apa yang harus ia lakukan usai bel pulang sekolah berbunyi.

Ya ... ribet, banget malah. Tapi mau gimana lagi? Sudah begitu, mood-nya mendadak hancur pula apabila mengingat siapa yang harus ia temui nanti. Lihat saja, akan ia viralkan diam-diam wanita itu agar diserbu oleh haters.

"I'm sorry, Bul. Tapi yang bener itu bukan when, mungkin bisa what atau why." Tentu saja ini ucapan Asya yang selalu saja gatal membetulkan bahasa Inggris Nebula. Kurang kerjaan memang, seperti Miss. Sunshine yang tak memiliki tujuan hidup apa pun sampai menjadi guru di SMA Daun Biru.

"Bawel. Mau apaan, sih, kalian?"

"Nebul jutek banget, nggak boleh gitu. Nanti bisa keriputan," balas Halona yang langsung menarik gadis itu keluar dari area kelas.

"Jajan es krim, yuk! Sya kangen makan bareng Nebul. Bosen berduaan sama Ona."

"Ya udah, gue mau ketemu Arcas dulu. Bye!"

"Ikut!" sahut keduanya kompak yang langsung berdiri di belakang punggung Nebula dan menautkan jarinya di atas tas ransel putih miliknya.

"Elah, kayak Nash aja lo pada."

Namun, baru saja ketiganya berjalan beberapa langkah, seorang lelaki yang namanya baru tak lama disebut itu pun sudah muncul tanpa diminta. Iya, udah kayak jelangkung yang datang tanpa diundang.

Rahang tegas nan kokoh yang selalu ditampilkan oleh lelaki itu nyatanya mampu membuat Halona dan Asya sedikit menundukkan kepala di balik bahu Nebula. Sama sekali tak ada senyuman manis yang mungkin kalian pikir mirip seperti Jungkook.

Tatapan yang dibuat lurus ke depan seolah mampu menyihir beberapa kaum hawa yang melintas di area sana. Sedikit menoleh, tapi tak berani menyapa seolah bisa ditelan oleh dinosaurus hitam.

Tak memakan waktu lama, lelaki yang berhasil membuat Nebula dan teman-temannya terdiam di tempat—seolah menunggu kedatangan sang pangeran, eh kebagusan—mending malaikat pencabut nyawa—yang ingin bertugas dan sang korban bingung harus membantah atau patuh—itu akhirnya sampai. Tepat di hadapan wajah Nebula.

Sedikit menganggukkan kepala seolah berharap gadis yang ada di hadapannya mau mengikuti langkahnya dari belakang.

"Apa?"

"Lama." Tanpa mau berbasa-basi, apalagi semakin memberi tontonan bagi para siswi yang tengah terdiam, lelaki itu langsung menautkan jarinya di sela milik Nebula, lantas membawanya pergi dari sana—tanpa mempedulikan Halona dan Asya yang justru terdiam di tempat sembari mengembuskan napas kasar.

"Mau ke mana, sih, Kak?"

Arcas tidak menjawab. Pandangannya masih fokus hingga akhirnya mereka sampai—tepat di depan ruang guru.

Nebula yang tadinya berniat pura-pura amnesia seketika mempupuskan harapan kala merasakan embusan angin pendingin ruangan yang berlari keluar melalui celah pintu kaca di hadapannya.

Sedikit melirik ke arah kiri, berniat mengintip siapa yang sedang berada di dalam sana, tetapi semesta sepertinya tidak mengizinkan. Gorden biru muda yang menutupi area kaca sampai penghujung ruangan serasa ingin menggagalkan niat Nebula untuk meredakan rasa ngeri.

"Masuk."

"Ih, masa gue beneran minta maaf di situ?"

"Iya."

Nebula menggeleng. Sesekali melirik ke arah Arcas—berharap lelaki itu mau menarik perintahnya detik itu juga. Lagi pula, MPK di sekolah aja enggak ada yang rese, terus kenapa Arcas malah sibuk cari muka? Biar menang di pemilihan ketua OSIS selanjutnya?

"Kak, nanti gue viralin, loh. Nggak takut?"

"Silakan."

"Jangan kayak gitulah, malu. Seumur-umur belom pernah gue berurusan sama guru lain, kecuali nggak ngerjain tugas."

"Iya, terserah. Pokoknya lo harus minta maaf. Ini konsekuensi."

"Nggak mau."

"Gue gendong atau mau gue tendang masuk?"

Astagfirullah, sepertinya memang salah kalau ia sudah berurusan dengan seorang Arcas. Masalahnya dengan siapa, yang hukum siapa. Najis emang!

"Temenin."

Astaga baiklah, demi attitude Nebula yang lebih baik, lelaki itu mengangguk walau sambil mengembuskan napasnya kasar.

Baru saja satu langkah ia lahap, tapi kepalanya sontak menoleh—mengawasi Arcas yang benar-benar ikut masuk atau sekedar mengangguk. Sampai tak sadar jika tangannya sudah menggenggam jari telunjuk Arcas agar lelaki itu tetap bersamanya.

Lagi pula, ini kan ide busuk Arcas demi mencari nama baik sebagai Ketua OSIS. Lalu, kenapa Nebula harus dilibatkan? Untung saja tutor, kalau tidak, bisa ia suruh Karma belajar ilmu persantetan dan mengirimkannya pada Arcas!

Nebula yang baru saja meletakkan telapak tangannya di atas gagang pintu ruang guru, kini terpaksa menoleh saat suara membosankan yang sudah sering menggema di dalam telinganya itu kembali berbunyi. "Bilang permisi dulu, biar sopan."

Tentu saja bukan Nebula jika gadis itu mengangguk. Ia tendang saja bagian bawah pintu yang sudah terbuka sampai mencium tembok bercat putih dengan kasar.

#bruk!

Semua pasang mata seketika terbelalak sampai membuat Nebula yang tak sadar menjadi ikut terkejut dan menoleh ke arah Arcas.

Tepat, lelaki itu juga sama. Membulatkan mata sembari mengembuskan napas sambil memamerkan sederet gigi putih rapi yang ia pikir bisa membuat Nebula sadar jika keadaan sudah tidak baik-baik saja.

Mau tak mau, Arcas memimpin. Dengan gagah cowok itu memasuki ruang guru sembari berganti menarik pergelangan tangan Nebula agar ia tak lari dari tanggung jawab. Dasar, cewek menyusahkan!

Keduanya berdiri di depan papan tulis kaca yang ditempel di bagian depan ruangan.

Jujur banget, nih, ya, Nebula enggak berani menatap ke arah guru-guru yang pasti sudah darah tinggi, apalagi kalau sampai ada kepala sekolah paling rese yang hobinya marah-marah apabila memimpin upacara bendera.

"Selamat siang kepada Bapak dan Ibu guru, sebelumnya saya mohon maaf atas kegaduhan yang sudah dibuat oleh ...."

"Maaf, saya nggak sengaja tadi. Dari sepatunya keluar angin topan," ucap Nebula yang masih tak berani mendongakkan kepala. Jam pulang sekolah, sudah pasti ruang guru dipenuhi oleh manusia berseragam yang mau melepas penat usai mengajar di kelas.

"Minta maaf yang bener, Nebula Merichie Karmayanti," bisik Arcas.

"Maafin saya, ya, tadi khilaf soalnya kebawa emosi."

"Lain kali hati-hati, dong! Tau nggak saya lagi fokus periksa soal? Jadi cewek kok nggak punya tata kerama. Dasar anak IPS," cibir salah seorang wanita berkacamata bulat dari sudut ruangan. Iya, itu si guru paling rese yang mengajar pelajaran Matematika Minat.

"Iya, maafin saya."

"Bapak dan Ibu guru yang saya hormati, sekali lagi saya mau mohon maaf. Tapi di sini, adik saya mau meminta maaf pada Miss. Sunshine atas perilaku tidak senonohnya kemarin yang sudah menyinggung."

"Loh, kenapa kamu yang bicara, Arcas?" sahut salah seorang guru yang sibuk mengunyah permen karet.

"Berani berbuat harus bisa bertanggung jawab, toh. Jangan malu-maluin kakaknya yang udah mengharumkan nama sekolah. Adik sama Kakak kok beda sih kelakuannya?" Seorang pria yang dikenal sebagai guru Biologi itu bersuara.

Sementara Miss. Sunshine yang masih sibuk menatap ponsel seketika mendongak. Melukiskan senyum ramah sembari menganggukkan kepala pada Nebula.

"Ajarin, Kak."

"Lo nggak ngerti caranya minta maaf? Cepet!"

Nebula menggeleng. Berharap kali ini Arcas mau menggantikan posisinya dan siap berbicara depan para guru—sebagai kakak yang baik.

"Terus kalau lagi klarifikasi masalah, lo gimana ngomongnya?"

Nebula mengangkat kedua bahunya sambil menautkan kedua jari yang ia pakai untuk meremas roknya. Pura-pura lupa karena malas harus merusak citra baiknya sebagai selebgram hanya karena perintah Arcas. Memangnya lelaki itu pikir, ia suka disuruh-suruh kayak gini?

"Anjir, lo kenapa mendadak amnesia gini?"

"Jadi, kalian mau bicara apa?" Salah seorang guru akhirnya kembali bersuara usai menyaksikan sepasang manusia yang sedari tadi terus berbisik.

"Makanya latihan dulu di depan."

"Siapa suruh maksa-maksa gue?"

Astagfirullah, berikanlah Arcas kesabaran lebih dalam menghadapi gadis aneh ini. Semoga banyak pahala yang diberikan agar lelaki itu bisa bersemangat dalam membakar emosi.

"Ikutin gue!"

Nebula mengangguk.

"Saya Nebula Merichie, siswi dari kelas X IPS 2."

Sembari memutar kedua bola matanya malas, gadis itu mengangguk dan meniru tiap kata yang terucap dari bibir Arcas.

"Memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelalain saya dalam berucap ... lagian lo nyusahin banget, sih. Kurang ajar, sih!"

Ya sudah kalau memang Arcas tak ikhlas dalam mengajarkan etika, akan ia gunakan bahasa paling apa adanya yang mungkin bisa mempercepat waktu.

Sembari berdecak, akhirnya Nebula membuka suara. "Ya udah, saya Nebula Merichie Karmayanti mau memohon maaf karena sudah membuat keributan di parkiran kemarin sore dan menuduh Miss. Sunshine yang enggak-enggak. By the way, saya bukan adik kandungnya Arcas, jadi jangan suka dibanding-bandingin karena saya nggak suka. Terima kasih."

"Anak IPS emang nggak punya sopan santun, ya." Si guru rese—pengajar matematika minat itu kembali bersuara.

"Ya, saya maafkan," balas Miss. Sunshine yang langsung bangkit dan berjalan ke arah Nebula.

Ini Nebula enggak salah lihat, 'kan? Ngapain coba guru bahasa Inggris aneh ini justru menggenggam erat telapak tangan milik sang gadis sembari tersenyum.  "Saya juga minta maaf karena sudah berlaku kasar."

"Udah beres tugas saya, Miss. Kasian Ona sama Sya nunggu di samudra hindia. Dadah ...." Usai berucap, gadis itu sontak melepaskan genggamannya secara sepihak dan  berlari tanpa mempedulikan bagaimana reaksi dari para guru di dalam sana.

"Maafin anak kelas saya, ya, Miss." Entah, tapi memang ini sudah menjadi kebiasaan sang wali kelas X IPS  2. Telat. Iya, bicaranya telat.

"Adikmu beneran apa pacarmu itu?" tanya seorang pria berkaos biru muda dengan celana sport-nya.

Gais, tapi jujur dari bab 1 sampe sekarang rasanya gemoy semua. Sip, jadi cerita dia.

Gimana kabar kalian hari ini?

Suka relate nggak sih—kalian—anak IPS—selalu dianggep rendah sama guru-guru di sekolah? Suka diremehin gitu nggak sih kalo di sekolah kalian? Dikatain sampah, nggak punya masa depan, teroris.

Sabar ya, kayanya kita harus gandengan hati🤣. Tenang aja, ya ditahan-tahanin aja, soalnya orang kan cuman bisa nilai dari luar, mereka yang menganggap kita nggak punya masa depan rasanya mau melebihi Tuhan, Guis.

Enggak, bukan curhat, aku udah semester 4 guis. Cuman sebagai anak ips, rasanya relate hahahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro