🌟18. Karma?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengoreksi kesalahan orang lain itu memang mudah, namun terkadang kita—sebagai orang yang dikatakan baik—malah ikut terjerumus dalam kesalahan yang ingin kita ubah dari mereka.

-Nebula Merichie-

"Siapa suruh lo buat nggak sopan gitu ngomongnya?" Suara bariton milik lelaki yang sudah mencengkram kuat pergelangan tangan Nebula secara tiba-tiba itu berhasil membuat langkah sang gadis terhenti.

Iya ... Nebula yang baru saja mau menyusuli kedua sahabatnya itu terpaksa melakukan marathon jantung dan naasnya ia tak pernah menemukan cara untuk lepas dari hal horror ini.

Pita suara yang semula bisa berfungsi dengan baik di dalam ruang guru pun mendasak resign karena tak mampu mengikuti kemauan sang pemilik. Bayangkan saja, ia terus dipaksa oleh otak untuk bersuara, namun nyalinya menciut mulai dari detik pertama.

Belum lagi kalau si organ hati justru mengomel karena kebodohannya, apalagi otak juga mulai ikut-ikutan ber-overthinking seolah ingin memojokkan pita suara.

"Kenapa? Lo minta gue ajarin, gue bantu. Lo nggak paham, gue jelasin. Terus sekarang maunya apa?"

Ya ampun, woi, siapa pun yang sedang membaca narasi ini, tolong Nebula untuk bisa lolos dari halaman sekolah. Sedari tadi ia berjalan sembari menikmati angin sepoy, berusaha memikirkan soal keindahan hidup, eh sang perusak datang.

Gadis itu seketika menoleh. Mengerjapkan mata beberapa kali dan berkata, "Oh, iya ... dal—"

"Mau niruin gue?" tanya Arcas sambil menarik sudut bibir kanannya. Enggak lucu, sumpah.

"Apaan? Dalam pembuatan proposal, biasanya ada anggaran dana. Tapi di sini, gue juga punya anggaran janji. Iya, lo janji mau bantuin gue buat ngurusin barang endorse kalau udah minta maaf." Hahahaha ... Arcas pikir, dirinya ini bodoh? Ya tentu saja tidak. Bukan Nebula namanya kalau tak bisa mengalihkan pembicaraan dan membalikkan keadaan. Siapa yang mulai? Arcas, 'kan?

"Hah? Sejak kapan gue ngomong kayak gitu?" Bentar, selama ia mengenal Nebula, rasanya tak pernah satu kalimat pun ia dengar soal ajakan untuk melakukan endorsement.

Kini, giliran Nebula yang berbalik dan menarik pergelangan tangan Arcas menuju halaman sekolah yang segera disusul oleh Halona dan Asya.

"Apaan, sih? Ngapain narik tangan gue? Mau ngapain? Lo mau teriak-teriak di  atas pohon dan ngebeberin semua pikiran negatif lo?" Lelaki itu sontak melipat kedua tangannya di depan dada sembari mendongak ke arah pohon tinggi yang dikelilingi oleh kursi kayu cokelat.

"Ih, sekarang siapa yang overthinking, Kak?" tanya Nebula dengan dagu yang sedikit terangkat.

Arcas terdiam, bahkan untuk menatap Nebula saja rasanya tak perlu ia lakukan demi menyelamatkan separuh wajahnya yang memerah bagai tomat.

"Sekarang gue kan dipaksa endorse peci, ya kali gue pake. Ayah nggak mau. Katanya takut dapet banyak fan, jadi lo aja."

"Hah? Terus gue jadi tumbal gitu?"

"Bawel lo, Kak!" teriak Nebula sembari memukul lengan tangan Arcas, lantas mengeluarkan sebuah peci hitam dari dalam tasnya, kemudian melemparkannya ke tubuh cowok itu.

Sudut bibirnya kini terangkat, sesekali melirik ke arah Halona dan Asya yang sibuk menahan tawa dari samping.

"Gih, pake."

"Loh, kok jadi lo yang ngatur? Lo waras apa enggak sih mau endorse di tengah lapangan?"

"Bodo, orang sepi. Nggak akan ada yang liat. Cepet, ah, biar viral."

Sambil mengembuskan napasnya kasar, Arcas mengangguk dan mendaratkan bokongnya di atas kursi. Menaruh kain hitam berbentuk topi itu ke atas kepalanya, lantas menoleh ke kiri dan kanan sembari memastikan bahwa halaman sekolah benar-benar aman.

"Selebnya aneh, ya pantes yang endorse juga aneh."

"Heh, lo pikir cuman gue? Banyak anjir, bahkan yang agamanya kristen pun di-endorse mukenah. Mau apa lo?"

Lagi dan lagi Arcas hanya bisa berdecak. Sedikit memicingkan mata sembari mengawasi Nebula yang mulai berputar di sekitar tubuhnya—entah apa yang akan dilakukan gadis itu.

"Sya take video-nya, ya ... one, two, three, camera, roll and action!"

Entah kekuatan apa yang ada dalam gadis itu, tapi dalam sekejap, Nebula sudah ikut terduduk di sebelahnya sembari menatap ke arah kamera yang dipegang oleh Asya.

"Sya, foto bukan video!"

"Oh, oke-oke."

Usai menggeser ke opsi kamera, gadis itu kembali memberikan aba-aba. Hingga kedua manusia itu sontak tersenyum dan saling menatap satu sama lain walau jujur ini terpaksa

"Done!" teriak Asya yang langsung membawa Nebula dan Arcas berdiri di sebelahnya.

"Hahahaha ... ya ampun, ngakak banget!" sahut Halona yang tiba-tiba saja tertawa sambil melempar tatap ke arah Arcas yang masih terdiam di tempat.

"Ona? Are you sehat?" tanya Nebula sambil meletakkan telapak tangannya di depan kening gadis berkucir satu itu.

Kedua sudut bibir Halona seketika kembali berangsur normal. Sedikit menggeleng, kemudian membuang tatap ke lain arah.

"Udah, gue mau balik. Terserah lo."

"Gih, dadah ...," ucap Nebula sembari melambaikan tangannya pada Arcas yang masih menggunakan peci.

"Kak, lo segitu sukanya, ya, sama si peci sampe dipake gitu? Mau dibawa pulang?"

Tak ada jawaban, lelaki itu masih fokus menatap lurus ke depan sampai tak sadar jika beberapa pasang mata sudah melirik ke arahnya.

"Mau sholat, Arcas?" tanya seorang pria berkemeja biru yang baru saja keluar dari ruang Tata Usaha.

Hai, hari ini cukup sampai di 700 kata dulu, ya. Soalnya jujur kalau nulis ini tuh dikit-dikit karena kesibukkan duta🙈

By the way, denger-denger kalian lagi mau PAS?
Semangat!!

Ada yang belum keterima kuliah? Semangat jugaaa!!! You can do it, Girl!💜

Kalau mau gap year dulu juga gapapa, siapa tau menemukan cara lain untuk belajar soal passion kamu yang emang nggak harus dipelajarin di kampus.

Ilmu itu banyak sebenernya, cuman memang tergantung dari kitanya aja, mau dicari atau enggak😝

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro