Duo Julid

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Insiden yang kuprediksi bakal terjadi sebelum menjejakkan kaki di rumah maghrib ini adalah Ibu duduk di kursi bambu di teras dengan wajah masam kemudian mengomeliku yang pulang terlambat dan menyeretku ke dapur untuk segera menyiapkan makan malam. Ibu akan berceramah panjang lebar perihal pentingnya seorang istri mengurus rumah sepenuh hati dilanjutkan dengan segudang kesalahan yang sengaja Ibu ungkit perkara desain rumah minimalis yang tidak cocok dengan selera Ibu. Kemudian diakhiri dengan wejangan tidak singkat saat makan malam soal semur daging buatanku yang pasti tidak seenak buatannya.

Nyatanya, semua tebakanku meleset. Ibu justru tertawa dan mengobrol ramah dengan Bu Hanum, tetangga sebelah alias majikannya Titin, ART rumah sebelah yang kemarin kami pinjam sepeda motornya. Bu Hanum terkenal dengan sikap julid dan mulut nyablak yang luar biasa. Sangat wajar jika Ibu cepat akrab dengan Bu Hanum. Orang-orang yang sekarakter kan biasanya memang lebih nyambung kalau mengobrol.

"Assalamualaikum," ucapku pelan tidak mau mengganggu keseruan dua wanita baya itu.

Dengan sangat hormat aku membungkukkan badan, tersenyum semanis mungkin dan mengusir kepenatan yang menjalari punggung hingga pinggang.

"Sore, Bu Hanum." Aku menyapa Bu Hanum dengan teramat ramah.

Alasan pertama adalah dia tetangga yang selama ini cukup 'baik' pada warga sekitar. Jika ada warga yang butuh bantuan, Bu Hanum pasti jadi orang pertama yang menyebarkan informasinya. Jika ada yang kemalangan, Bu Hanum juga yang terlebih dahulu membicarakan si korban ditambah cerita cerita sedih untuk menambah bumbu rasa kasihan. Jika ada berita bahagia, bisa dipastikan Bu Hanum juga yang paling depan mengetuk minta, minta diikutsertakan dalam syukuran yang padahal sang punya hajat tidak merencanakan membuat hajatan apa pun.

Alasan kedua, aku tidak mau Bu Hanum ikut merongrong ketenteraman hidupku yang sudah kacau balau karena Ibu. Satu sumber masalah saja sudah cukup, tidak perlulah menambah lagi.

"Ini baru pulang jam segini," ucap Ibu dengan judes. Ibu menatapku dari sudut matanya, menampakkan aura tidak suka. "Heran lho saya, Bu Hanum. Apa pasangan zaman sekarang itu lebih asyik di kantor daripada di rumah sendiri, ya?"

Tu kan, bener. Julid jilid dua-nya Ibu sudah dimulai. Siap-siap saja mendapat pertanyaan mengagetkan yang ujung-ujungnya Ibu minta aku resign.

"Nggak cuma Syana, Bu Ningsih. Anak saya juga." Bu Hanum menimpali dengan sama geregetnya.

Aku tidak protes apalagi berniat menguping. Lebih baik mandi dan menyiapkan makan malam seadanya. Indomie telur, mungkin?

"Syana masuk dulu ya, Bu," ujarku yang tidak digubris. Aku menghela napas, bersyukur karena tidak ditanyai macam-macam. Ibu kelihatannya lebih tertarik mengulik nasib anak sang tetangga daripada anak menantunya.

"Tristan, anak Bu Hanum?" tanya Ibu penasaran.

"Iya, Bu Ningsih. Tristan anak saya itu, sampai sekarang kalau disuruh nikah jawabannya banyaaak banget. Padahal usianya udah mau 40 tahun. Kadang saya sampai gemes, pengen cepat-cepat punya cucu tapi kok enggak ngeh juga keinginan ibunya," ujar Bu Hanum.

"Apa enggak dicarikan calon aja, Bu? Nanti keburu berumur makin susah lho dapat jodohnya." Ibu menimpali.

Aku tersenyum kecil. Teringat dengan pertanyaan sama yang disodorkan keluarga besarku saat Mas Bagas datang ke rumah di Padang Panjang. Aku dan Mas Bagas saat itu masih berstatus pacaran. Kami baru mulai mengenal satu sama lain. Masih ingin mengejar impian dan cita-cita di Jakarta. Masih ingin menjadi orang sukses dan mandiri secara finansial. Menikah dan menjadi orang tua butuh banyak biaya, sehingga kami memutuskan untuk mencapai kestabilan hidup sebelum melangkah lebih jauh.

Sayangnya, keluargaku yang sedikit tradisional menginginkan pernikahan segera digelar. Buat apa menunda jika calonnya sudah ada. Buat apa menanti kalau 100% biaya resepsi bakal Mama dan Papa tanggung. Sebagai anak perempuan pertama, tentu saja keluarga besarku antuasias. Namun, jika aku dan Mas Bagas belum merasa siap untuk menjajaki tahapan selanjutnya, kenapa harus melangkah karena desakan orang lain.

Sedikit banyak, aku mengerti kondisi anak Bu Hanum. Walaupun dia laki-laki yang lebih fleksibel masalah usia menikah, didesak terus menerus juga tidak nyaman.

"Mau dijodohkan sama siapa ya, Bu? Gemes saya tu, kadang-kadang. Dikenalin ke perempuan cantik mana pun, dia kayak enggak tertarik."

"Sama orang Jawa pokoknya, Bu Hanum. Saya kapok punya menantu orang Sumatera." Ibu menurunkan volume suara, walaupun sejujurnya aku masih bisa mendengar dengan jelas. Aku masih ada di balik pintu ruang tamu. "Benar-benar pemalas! Lihat saja itu Syana, dari pagi sampai sore kerja terus, enggak pernah masak, enggak pernah nyuci, enggak pernah beres-beres rumah."

Tanpa sadar darahku mendidih. Hatiku sakit diomongin di belakang, apalagi diomongin oleh mertua sendiri. Memangnya aku seburuk itu, cuma gara-gara tidak bisa masak sampai dikasih label menantu tidak ideal? Dengan kesal aku membanting pintu agak keras. Biar saja. Biar Ibu tahu kalau aku bisa mendengar semuanya!

~~~

Haaai~ siapa yang pernah diledekin cuma gara-gara enggak bisa masak? Sering banget kan kejadian kayak gini. Uhukk. Author salah satunya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro