Terancam Terusir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menggigit jari. Mbak Anne memang terlihat seolah bercanda saat mengatakan ia masih punya setumpuk pekerjaan yang menjauhkan dirinya dari status pengangguran. Menjadi ibu untuk Mimi, istri untuk suaminya, sekaligus pembantu untuk rumahnya sendiri. Semua pekerjaan yang dilakoni Mbak Anne dahulu seolah lenyap, menguap begitu saja saat Mbak Anne menjadi ibu rumah tangga. Memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, mengasuh anak, membereskan rumah, ah, memikirkannya saja aku pusing. Langkahku gontai menyusuri jalan kecil beraspal yang menghubungkan rumah Mbak Anne dengan rumahku. Hanya berjarak tiga blok, tapi waktu yang lebih dari cukup untuk kembali merenungi hidup, apa yang sebenarnya kuinginkan dalam rumah tanggaku saat ini.

Semua berjalan sebagaimana biasanya sebelum Ibu datang. Aku dan Mas Bagas yang sudah terlanjur sibuk dengan dunia masing-masing, juga tidak pernah protes dengan ini dan itu. Namun, semua rongrongan Ibu perihal kekuranganku membuatku berpikir dua kali. Mungkinkah aku sebenarnya belum pantas menyandang label seorang menantu? Mungkinkah aku dan Mas Bagas bukan sepasang suami istri sejati, melainkan dua orang berbeda tujuan yang disatukan dalam ikatan bernama pernikahan?

"Aaargh. Kenapa semuanya jadi rumit!" Aku merengek dan menghentakkan kaki berulang kali. Kekesalan itu kulampiaskan pada aspal tidak bersalah yang kini menerima omelan selanjutnya. "Aku kurang apa, sih? Kenapa menikah itu ribet banget?"

Aku memilih duduk di pinggiran trotoar. Beberapa duri tanaman hias, rumput lembab, dan gigitan nyamuk di belakang punggung tidak kuhiraukan. Sudah hampir Maghrib, sedangkan aku masih belum bisa berdamai dengan masalah kemarin sore untuk kembali ke rumah. Aku pernah baca artikel. Menumpuk kekesalan di masa mendatang dan tidak diselesaikan sesegera mungkin itu sama artinya dengan menyimpan bom waktu yang bakal meledak kapan saja. Sama seperti perasaanku pada Ibu. Mungkin aku bisa pura-pura tidak terganggu, tapi jika aku terus menerus begini, bukan tidak mungkin aku akan membencinya. Aku memang sudah membencinya, tapi tidak pada level di mana aku sangat amat membencinya sampai-sampai tidak ada niatan untuk berbaikan.

Sebuah pesan Whatsapp tiba-tiba masuk ke ponsel. Nama Mas Bagas tertulis di bagian atasnya. Tidak biasanya Mas Bagas mengirim pesan, kecuali atas perintah Ibu. Dengan enggan aku membuka layar dan membacanya. 

Bagas: Syan, kamu udah di mana? Ibu nungguin kamu.

Tu kan bener tebakanku! Panjang umur sekali ibu mertuaku ini. Baru saja tadi diomongin, eh mendadak sudah muncul.

Bagas: Kata Ibu, kalau kamu enggak cepat pulang, rumah mau dikunci.

Aku melengos. Yang beli siapa, yang bersikap layaknya tuan rumah siapa. Dengan cepat aku membalas pesan Mas Bagas.

Syana: Baru dari tempat Mbak Anne. Ini udah otw pulang.

Dengan malas aku mematikan layar lalu mengambil napas panjang, berusaha berdamai dengan hatiku yang kacau balau. Mood-ku memang sedang kacau balau, tapi bukan berati aku harus memperlihatkan di depan Ibu. Tidak. Untuk sore ini, aku harus kuat dan menghadapi Ibu dengan lebih sabar. Masalah kekurangan di rumah tangga, bisa dipikirkan nanti.

Iya, nanti. Semoga saja akan ada jalan keluar untukku dan Ibu agar bisa berdamai. Setidaknya, sebelum aku terpaksa tidur di teras atau mengungsi ke rumah tetangga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro