Flashback (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

03 September 2019

Kami baru saja pulang fitting baju pengantin dan memutuskan untuk makan siomay karena benar-benar kelaparan. Wedding organizer murah yang berada di pinggiran Jakarta itu cukup jauh dari kosanku maupun Mas Bagas. Karena jam sudah  menunjukkan pukul dua siang dan Mas Bagas punya asam lambung yang membuatnya tidak boleh makan terlambat, kami memutuskan untuk bersantai sejenak di bawah pohon di taman teduh ini. Dengan semangkok siomay dan segelas es teh, obrolan serius yang sangat mendadak itu pun muncul.

"Syana, ada yang mau aku omongin," ujar Mas Bagas dengan wajah nyaris tanpa senyum.

Aku tahu ada yang tidak beres. Tidak biasanya Mas Bagas yang banyak tertawa mendadak jadi seperti debt colector begini. Namun, untuk mencairkan suasana, aku masih memaksakan seulas senyum. "Ngomong apa, Mas?"

Mas Bagas tidak langsung menjawab. Ia menghela napas cukup panjang dan seolah kebingungan menyusun kata. "Sebelumnya aku mau minta maaf karena baru bisa ngomong sekarang, Syan."

Firasatku makin tidak enak. Urusan sepenting apa sampai-sampai Mas Bagas minta maaf sebegini seriusnya, bahkan di momen menjelang pernikahan kami. Kami sudah bertahun berpacaran dan tidak ada masalah yang disembunyikan satu sama lain. Pikiran negatif memenuhi isi kepalaku. Jangan-jangan Mas Bagas mau membatalkan pernikahan?

Aku menggeleng, mencoba untuk tidak berprasangka buruk. "Maaf soal apa, Mas?"

Mas Bagas menggamit tanganku lalu menatap mataku dalam-dalam. Aku jadi semakin tidak karuan. Apa jangan-jangan Mas Bagas sudah berkeluarga? Apa Mas Bagas berniat membatalkan pernikahan kami yang tinggal lima hari lagi karena diam-diam sudah punya anak dan istri? Apa Mas Bagas mendadak dapat beasiswa kuliah ke luar negeri sehingga harus meninggalkanku di Indonesia?

"Mas jangan bikin aku khawatir," ucapku semakin tidak nyaman.

"Mas baru sadar sekarang ...." Mas Bagas tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menunduk, terlihat menyesal dan merasa bersalah.

"Sadar apa, Mas?"

Feeling aku sudah semakin negatif. Kalau memang ini hal yang buruk, lebih baik cepat dikatakan agar aku tidak kian emosi. Jantungku berdebar semakin tidak menentu. Seperti menunggu pengumuman hasil wawancara kerja, seperti itu yang aku rasakan sekarang. Mas Bagas menahan kata-katanya sedangkan aku yang gemas setengah mati.

"Aku baru sadar kalau aku ...."

Lagi-lagi ia menggantung kalimatnya, membuatku kesal dan nyaris menarik tangan yang sedari tadi ia genggam. "Apa sih, Mas? Butuh minum biar lancar? Keselek?" Aku masih mencoba melucu walaupun sebenarnya sangat ingin berteriak.

"Kamu cantik banget, Syan."

Entah kesambet setan dari mana, tidak biasanya Mas Bagas menggombal sampai segitunya. Bukannya tersenyum senang, aku justru marah. Kesal karena merasa dipermainkan. "Apa sih, Mas, enggak lucu."

"Serius, Syan, serius. Kamu cantik."

"Jadi kalau aku udah enggak cantik, udah nggak mau nikah sama aku? Minta cerai?" tanyaku sok mengambek.

"Yo enggak, no, Syan. Nek kamu udah tua, aku udah bangkotan juga."

"Terus kenapa mendadak ngomong gini?"

"Tadi, pas kamu fitting, mbak-mbak wedding organizer-nya bilang kamu cantik. Aku beruntung bisa nikah sama kamu."

Jika ini bagian dari gombalannya, harus kuakui bahwa ia sukses besar. Kemarahan yang tadi sudah disusun nyatanya luluh juga begitu mendengar Mas Bagas memujiku. Astaga. Apa aku benar-benar secantik itu?

"Tapi sebenarnya, dari dulu aku tu enggak nyadar kamu cantik, Syan," ujarnya lagi.

"Maksudnya aku jelek?" Aku memanyunkan bibir. Pura-pura marah.

(TBC)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro