Flashback (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cuma orang buta yang bakal bilang kamu jelek," ujar Mas Bagas.

Aku mengangkat sudut bibir. Tumben sekali Mas Bagas menggombal. Bukannya aku tidak senang, hanya saja, ini sedikit aneh dan tidak lazim. Seolah semakin mengonfirmasi bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Mas Bagas dariku. Apa pun itu, aku tidak yakin jika itu bakal mempengaruhi keputusanku untuk menikah dengannya. Asalkan bukan status bahwa sebenarnya dia sudah berkeluarga atau posisi seolah aku seorang pelakor, apa pun itu, pernikahan ini akan tetap dilangsungkan. Aku percaya sepenuhnya pada Mas Bagas.

"Mas Bagas mau ngomong apa?" tanyaku gemas. Bukan waktunya basa-basi. Mas Bagas sudah terlanjur membuatku penasaran, mana mungkin mundur sekarang.

Mas Bagas kembali tampak serius dan tidak nyaman. Ia menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat. Ia tidak lagi tersenyum apalagi bercanda. Suasana di sekitar kami mendadak beku. Napasku rasanya mendadak sesak bersamaan dengan jantung yang berhenti memompa darah. Kenapa perasaan ini semakin tidak karuan?

"Syana, kalau kamu memutuskan untuk mundur karena ketidakmampuan aku memenuhi kebutuhan kamu ke depannya, aku kembalikan keputusan itu ke kamu sepenuhnya," bisik Mas Bagas. 

Seolah belum cukup misterius, kalimat Mas Bagas membuatku semakin bertanya-tanya. Ketidakmampuan? Kebutuhan finansial? Mas Bagas kan bekerja. Kebutuhan perhatian? Walaupun tergolong jarang mengumbar kata-kata manis dan gombal, Mas Bagas juga bukan tipikal laki-laki yang super serius dan enggak punya perasaan. Bahkan, walaupun aku termasuk jarang membalas pesan, Mas Bagas tidak terganggu dan rajin mengirim pesan duluan. Kebutuhan seksual?

Nah!

Aku sebenarnya lebih memilih tertawa daripada prihatin. Maksudku, aku tidak tahu seberapa penting 'urusan ranjang' bagi kaum laki-laki, tapi setidaknya itu bukan masalah besar untuk saat ini. Entahlah kalau untuk masa depan. Yang jelas, jika Mas Bagas akan mengakui bahwa ia impoten alias lemah syahwat alias tidak bisa memenuhi kebutuhan yang satu itu, aku tidak akan mundur dari pernikahan ini.

"Enggak, Mas. Aku enggak akan mundur." Aku menjawab dengan mantap dan penuh percaya diri. "Kita bisa cari solusinya sama-sama."

Mas Bagas menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku tahu, agak sulit baginya untuk berkata jujur. Ya, walaupun kami sudah lama berpacaran, kami tidak pernah membahas masalah ini. Pasti Mas Bagas merasa sedikit awkward dan tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin aku yang harus proaktif dengan memberikan jalan keluar dan membantu menyelesaikan masalahnya?

"Masalah Mas itu masalah aku juga. Tapi, aku enggak akan mundur. Kita bisa ke dokter, cari minyak urut papua, atau minum jamu, obat kuat, magic tissue ...."

"A-apa?"

Mas Bagas menyela kalimat yang belum aku selesaikan. Aku mengangguk dan mengusap tangannya. Kutatap kedua bola matanya yang sekarang membulat sempurna.

"Iya, ada banyak cara buat menyelesaikan masalah 'itu'." Aku agak sedikit sungkan mengatakan impoten. Masalahnya, kami berada di tempat umum. Ad harga diri Mas Bagas yang harus dijaga, jangan sampai obrolan ini kedengeran oleh orang sembarangan.

"Bentar, Syan. Menurut kamu, masalah aku apa?" Mas Bagas menahan tawa, membuatku jadi kebingungan dan malu.

"Masalah itu, kan?" Aku mengerutkan kening. "Ketidakmampuan Mas memenuhi kebutuhan."

"Oookeee, terus? Kebutuhan yang mana?" tanyanya lagi.

Astaga! Masa aku harus ngomong kencang-kencang di sini? Enggak mungkin, dong. Aku udah setengah mati berusaha menjaga harkat dan martabat calon suami, dia malah pengen aku ngomong jelas-jelas gitu?

"Ya, kebutuhan di malam hari, kan?"

Tawa Mas Bagas meledak seketika. Ia melepaskan tanganku lalu mundur sejenak. Wajahnya merah, menahan malu. Bebeapa orang di sekitar kami menoleh, penasaran hal lucu apa yang aku katakan yang sukses membuat Mas Bagas terpingkal seperti habis menonton stand up comedy.

Aku menggaruk kepala. Bingung harus bereaksi bagaimana. Dilihat dari wajah Mas Bagas yang tampak sangat bahagia, sepertinya aku salah terka. Seharusnya wajahku lebih merah daripada wajahnya saat ini karena menahan malu. Aku salah menebak, sepertinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro