Flashback (3)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bukan, Syan, bukan itu," tawa Mas Bagas. Ia mengatur napas untuk kemudian menjelaskan duduk perkara kesalahpahaman kami. Kesalahpahaman yang justru membuat semua jadi terdengar lucu?

"Terus apa? Emangnya ketidakmampuan apa yang sebegitu bikin Mas Bagas risau?" tanyaku makin penasaran.

Aku menundukkan kepala. Malu. Sehabis ini, Mas Bagas mungkin akan langsung berpikir yang tidak-tidak tentangku. Ah, masa perempuan pikirannya jorok. Aku mengutuk diri sendiri. Sikap sok tahuku justru jadi kekonyolan. Aku melirik orang-orang di sekitar. Taman ini cukup ramai. Apalagi beberapa pasang muda mudi duduk si sekitar kami. Walau hanya berjarak beberapa meter, apa yang kami obrolkan pasti tetap terdengar. Bodoh sekali aku yang menganggap Mas Bagas akan membahas masalah itu di sini. Aku menggelengkan kepala, mencoba berpikir positif dan siap mendengar penjelasannya.

"Kamu tahu kan, aku dan Mas Didit pernah coba bangun usaha tekstil bareng?" Mas Bagas membuka topik.

Aku sudah mengenal anggota keluarga Mas Bagas dengan cukup baik. Mas Bagas anak bungsu dan punya satu orang kakak laki-laki bernama Aditya alias Mas Didit yang baru saja menikah tiga tahun lalu dengan Mbak Sekar. Mereka baru saja dikaruniai dua anak perempuan lucu-lucu. Saat pernikahan dan persalinan, aku juga ikut datang ke acaranya. Mas Didit yang memang memutuskan berwirausaha untungnya didukung Mas Bagas. Yang kutahu, usaha tekstil itu pada awalnya cukup baik, tapi tidak berlanjut sampai saat ini.

Aku mengangguk. "Iya. Kamu pernah cerita."

"Usaha itu udah enggak berlanjut, tapi ...."

"Tapi?"

"Statusnya masih defisit. Kita masih minus banyak banget buat nyicil hutang."

"Hutang apa?"

"Hutang modal awal, Syan. Ada kesalahan perhitungan yang mengakibatkan harga jualnya enggak sesuai dengan modal. Alhasil, kita masih punya hutang ke pabrik."

"Oookeee?"

"Dan hutang itu dipotong dari gaji bulanan aku."

Sepertinya aku paham apa maksud Mas Bagas. Dia bakal enggak bisa menafkahi aku karena harus membayar hutang kakaknya, begitu kan? Aku menarik napas panjang dan menganggap itu bukan masalah besar. Tentu saja. "Memang berapa persen gaji yang disetor ke bank?"

"Cuma sisa sembilan ratus ribu," jawab Mas Bagas dengan lemah.

Tujuh ratus ribu untuk satu bulan. Kalau kami tinggal di pedesaan dan punya sawah serta kolam ikan sendiri, tidak harus mengeluarkan biaya sedikit pun untuk bayar cicilan rumah, listrik, dan air, uang segini lebih dari cukup. Tapi, hidup di Jakarta dengan biaya yang sedemikian wah-nya, aku enggak yakin ini bakal cukup.

Otakku berpikir cepat. Sembilan ratus ribu artinya tiga puluh ribu sehari. Aku harus masak apa jika mengandalkan penghasilan suami? Tidak! Kalau begini caranya, aku juga tidak boleh menutup mata. Gajiku mungkin tidak banyak tapi setidaknya bisa membantu menalangi kondisi ekonomi kami yang pasti bakal kurang.

"Sampai kapan, Mas?" tanyaku cepat.

"Masih empat tahun lagi, Syan. Aku minta maaf karena enggak jujur ke kamu. Karena itu aku sampaikan ke kamu sekarang. Apa pun keputusan kamu, aku terima. Kalau kamu mau menunda pernikahan kita sampai empat tahun lagi juga--"

"Mas, aku udah bilang tadi, kan? Kita akan hadapi semua ini sama-sama. Setidaknya aku masih kerja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro