Jujur (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bu, kalau Bagas kasih tahu kondisi Bagas ke perempuan lain, belum tentu mereka mau menikah sama Bagas. Bagas sayang sama Syana karena dia enggak membatalkan pernikahan padahal dia tahu dia punya pilihan untuk mundur, Bu."

Suara Mas Bagas terdengar lirih. Hatiku mencelos. Pedih. Mas Bagas mengungkit masa lalu. Suatu hal yang bahkan sampai sekarang tidak sedetik pun aku sesali. Tidak sekali pun aku berniat meninggalkan Mas Bagas hanya karena masalah finansial. Aku tidak pernah mempermasalahkan ini apalagi berniat menceritakan ini pada orang lain karena tidak mau Mas Bagas diremehkan keluargaku ataupun keluarganya. Namun, haruskah Ibu mendengar ini? Haruskah Mas Bagas merendahkan dirinya sendiri?

"Maksudmu apa, le?"

"Bu. Apa ada perempuan yang mau dikasih nafkah cuma tujuh ratus ribu sebulan?"

Ibu mengerutkan kening. Bisa kulihat dengan jelas, garis samar di keningnya semakin jelas dan tegas. Ibu tercekat, tidak mengerti dengan maksud Mas Bagas. Bola matanya membulat, penuh tanda tanya.

"Gajimu cuma tujuh ratus? Bukannya koe arsitek? Paling enggak ...."

"Gaji Bagas cuma sisa tujuh ratus, Bu. Selebihnya udah habis buat bayar cicilan hutang."

"Hutang? Hutang apa?" Ibu bertanya kian penasaran.

"Hutang usaha tekstil Mas Didit dulu. Hutang modal nikah. Bu, Syana kerja bukan karena dia egois, tapi memang Bagas yang enggak bisa menafkahi dia. Kalau Syana enggak kerja, kami enggak bisa makan."

Alih-alih bangga, hatiku justru makin ngenes mendengar pernyataan Mas Bagas. Apa kami sebegini berantakannya? Apa kami keluarga abnormal hanya karena yang memberi nafkah justru si perempuan?

Memang apa salahnya? Bukankah menikah bukan soal siapa yang cari uang, siapa yang mengurus rumah. Apa salahnya jika peran itu dibalik? Bukankah yang penting semua peran dan fungsi keluarga tetap terpenuhi?

Aku gemas. Kesal. Heran. Benci. Pendapat macam apa yang sebegitu seksisnya, menilai segala hal cuma dari gender.

"Bu, kalau bukan Syana yang ada di posisi ini saat ini, mungkin pernikahan itu enggak pernah ada," sambung Mas Bagas. "Tolong jangan membenci dia, Bu."

Air mataku meleleh. Ini yang ingin kudengar sejak kemarin. Aku hanya ingin Mas Bagas membelaku. Itu saja. Tidak lebih. Kusandarkan kepalaku ke pintu. Tubuhku lemas. Bukan karena luka kian parah tapi lega. Aku tahu, Mas Bagas masih mencintaiku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro