Memeluk Luka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada yang lebih hangat daripada pelukan Mama. Setelah pertikaian melelahkan yang pada akhirnya menyakiti hatiku, hati Ibu, dan hati Mas Bagas, aku memutuskan untuk pulang ke Padang Panjang. Kembali ke rumah teduh di mana aku boleh menangis dan meraung sepuasnya. Begitu kami bertukar pandang, tak ayal tubuhku pun ambruk di dekapan wanita berjilbab biru tua yang masih saja menganggapku bayi kecilnya.

"Ndak baa, Syan." Mama mengusap pundakku dengan lembut. Jemarinya bahkan lebih hangat daripada selimut tebal yang selalu diandalkan setiap musim penghujan.

Kuserap hangat itu agar beku yang membungkus hati ini meleleh. Tiga jam yang lalu, kutahan kuat bulir bening ini agar tidak tumpah dari pelupuknya. Sekalipun kedua netraku rasanya sudah sedemikian pedih, pantang bagi seorang Syana menangis di depan umum. Mama tidak melahirkan perempuan lemah! Namun, semua benteng itu runtuh di pelukan Mama.

Aku hanya ingin bilang bahwa aku tidak baik-baik saja. Ada kekosongan di hatiku yang terus menerus menjerit mempertanyakan kegagalan apa yang sudah kuperbuat sampai harus mengalami masalah pelik ini. Ada teriakan di kepalaku yang terus menerus menuntut jawab atas apa yang harusnya kulakukan. Diam atau melawan?

Diam membuatku kian terluka, tapi melawan membuat semakin banyak hati yang tersakiti. Ini tidak adil.

"Kenapa Allah sejahat ini sama Syana, Ma? Kenapa semuanya hancur hanya dalam hitungan hari?" Di antara derai air mata yang bersimbah darah, kutanyakan lagi pada Mama, apa yang salah dengan keluargaku? Apakah ini kutukan? Apakah aku yang gagal? Apa Tuhan membenciku sehingga menakdirkan aku dan Mas Bagas harus berpisah.

Yang kusesali, bukan keberadaan orang ketiga, melainkan orang yang tidak akan pernah bisa menang jika kulawan. Ibu mertua. Bahkan hingga koper itu kuseret ke bagasi taksi, hingga roda ban membawaku menghilang jauh ke bandara, dan sang burung besi menyalakan mesin turbinnya, tidak sekalipun Mas Bagas menelepon menanyakan keberadaanku. Aku masih istrinya, tapi jika ia tidak sedetik pun memedulikan, mungkin aku bukan siapa-siapa lagi baginya.

"Apa salah Syana? Syana ngasih semua yang Syana bisa ke Mas Bagas, tapi hanya karena Syana belum bisa ngasih keturunan, Syana dijelekkan Ibu dan Mas Bagas. Ini enggak adil, Ma. Bukan Syana yang menginginkan ini." Kumuntahkan semua uneg-uneg yang mengganjal itu pada Ibu. Cukup lama aku mencoba diam dan memendam luka yang Ibu torehkan. Namun, kali ini sudah cukup. Jika aku sehari saja lebih lama berada di rumah itu, mungkin aku akan gila.

Aku sudah terluka. Apa mereka mau aku mati saja?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro