Merawat Luka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sengaja menjauhkan ponsel dan menghabiskan waktu di luar ruangan. Ikut Mama ke sawah, berkunjung ke kolam patin Pak Etek, bahkan melakukan hal yang paling tidak kusukai, ikut Mama ke pasar Aur Kuning untuk memilih baju di grosir. Kata Mama, semakin lama aku mengurung diri di kamar, kesedihan itu tidak akan hilang. Aku akan terus terjebak ketakutan dan kekalutan yang sama, memikirkan Mas Bagas tanpa henti, dan ujung-ujungnya menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal.

Mama bilang, ini bukan salahku. Bukan salah Mas Bagas. Bukan juga salah Tuhan. Ini hanya masalah waktu dan orang yang tidak tepat.

Maka, aku tidak sepatutnya mengutuki diri. Tidak sepatutnya aku terus bersedih. Jika memang kami tidak berjodoh, ya sudah.

Sayangnya, tidak semudah itu merawat luka. Mama pun tahu, kesedihan karena ditinggal Papa pasti tidak semudah itu sembuh. Ada proses panjang yang harus kujalani. Ada upaya yang harus kulakukan untuk merawat luka ini, menjahit setiap keping hati yang dulu telah bersatu dengan hatinya, tapi harus ditarik dan berdarah. Ada waktu yang harus ditempuh agar kelak aku bisa berkata bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak ingin melupakan Mas Bagas. Bagaimana pun juga, kebersamaan kami adalah alasan mengapa aku bisa sampai di sini hingga titik ini. Untuk semua yang telah Mas Bagas beri dan bagi, aku sungguh berterima kasih. Namun, aku hanya ingin mengingatnya dan tersenyum karena pernah mengenalnya.

"Mak tak menyangka, bekas luka di lututmu waktu main bola dulu masih ada," ujar Mama saat kami duduk di tepian sawah. Celana selututku sedikit tertarik, memamerkan kulit putih yang kini sudah dihiasi beberapa bercak lumpur.

Aku melirik ke telunjuk Mama yang kini berada di jaringan parut berukuran cukup besar di lutut. Biasanya aku selalu menggunakan rok atau celana 2/4 guna menutupinya. Malu. Siapa laki-laki yang mau pada perempuan yang punya koreng di kaki?

"Iya, Ma. Alah lamo ndak, lima belas tahun ya," jawabku.

Mama tersenyum. Ia menghela napas berat lalu menatap wajahku. Mama mengelap keringat di kening lalu menyemangatiku. "Meskipun sudah lima belas tahun, bekasnya masih ada, ya."

Aku mengangguk. Ah, sudah kucoba menggunakan salep tapi memang tidak mau hilang. Biar saja jadi kenang-kenangan bahwa aku pernah jadi anak nakal.

"Sama seperti di sini." Mama meletakkan tangannya di dada kiriku. "Lukanya memang tidak akan hilang tapi sakitnya sudah tidak terasa kan sekarang?"

Lagi-lagi aku mengangguk. Mama benar. Aku tidak lagi menangis jejeritan seperti waktu SD dulu. "Sudah sembuh, Mak."

Aku mengingat masa lalu. Demi mencetak gol, kuterobos dua orang teman laki-laki yang berbadan besar. Nekat memang. Apalagi aku kesandung dan gagal menendang bola ke gawang. Pedihnya saat itu luar biasa. Pedih karena gagal, karena terluka, karena malu. Namun, jika diingat lagi, aku sudah membuktikan bahwa aku kuat dan pemberani. Almarhum Papa saja begitu bangga walaupun timku kalah. Kata Papa, Syana anak perempuan paling keren karena tidak takut menghadapi dua pemain belakang yang badannya nyaris dua kali lipat badanku.

Aku tertawa kecil lalu memeluk Mama. Aku akan baik-baik saja, nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro