pasar VS Swalayan (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika ada hal yang lebih kubenci dari antrean panjang di loket kereta api, desak-desakan orang di Trans Jakarta, dan kerumunan orang-orang yang berebut masuk ke dalam bioskop, itu adalah pasar tradisional. Sudah lama sekali rasanya semenjak terakhir aku dan Bagas ke pasar. Dua tahun lalu, mungkin? Awal pernikahan, aku dan Bagas hampir sekali sepekan ke pasar untuk belanja kebutuhan mingguan. Tapi, itu dulu. Saat belum letih mengurusi pekerjaan yang nyaris menjerat leher kami. Menjadi budak korporat.

Kian berjalannya waktu, aku menyadari bahwa berada di keramaian benar-benar menguras energi. Pergi pagi pulang siang dan mengahadapi ratusan manusia yang berjejalan di pasar yang sempit dan kunuh membuatku teramat sangat lelah.   Bayangkan, hanya untuk mendapatkan beberapa buah jeruk saja, harus rebutan dengan puluhan emak-emak yang ocehannya tidak pernah putus. Belum lagi tawar menawar harga yang mengalahkan keseruan komentator bola. Semua kericuhan itu membuatku memutuskan untuk lebih baik belanja ke swalayan. Alasan sederhana yang nyatanya membuatku lebih nyaman beraktivitas.

Sialnya, ketentraman itu harus tercerabut gara-gara ibu mertua tercintaku.

Setelah memilah isi kulkas, notabene membuang hampir semua isi kulkas, Ibu menyeretku ke pasar. Bermodal motor matic pinjam tetangga sebelah, Ibu memintaku ngebut dan melewati jalan yang penuh debu dan asap, hanya demi memuaskan hasratnya untuk berbelanja ke pasar. Aku tidak bercanda. Ibu memang begitu bernafsunya pergi ke keramaian itu siang panas begini dengan dalih harus menyediakan makanan yang gizi dan sehat untuk kami sekeluarga.

Aku memaklumi niat Ibu yang ingin mengubah gaya hidup kami jadi lebih positif. Namun, berbelanja tidak harus ke pasar, kan?

'Ngapain pakai masker?" tanya Ibu saat aku memasang masker medis menutupi hidung dan mulut.

Ibu penuh percaya diri hanya mengenakan tunik batik dan celana longgar warna senada. Sebuah tas anyaman, yang aku yakin dipinjamnya dari Mbak Titin tetangga sebelah rumah yang kebetulan juga motornya kami pakai ini, telah tercangklong di lengannya. Dompetnya yang tebal juga sudah terselip di ketiak, siap menghamburkan isinya.

"Biar aman, Bu," jawabku ringkas. Aku tidak mau berdebat dengan Ibu perihal bau amis ikan di pasar. Lebih baik diam daripada membuat keributan.

"Memangnya ada ancaman apa? Flu burung?" tanya Ibu lagi.

"Enggak, Bu. Uhuk." Aku pura-pura batuk. "Syana mendadak sakit tenggorokan."
"Lha, tadi sehat?"
"Iya, kan mendadak. Kalau dikasih tahu, namanya janjian, Bu."
"Ah, ngapain pakai masker. Jadi nggak bisa mencium aroma segar buah-buahan, lho."

Dalam hati aku hanya bisa menggerutu. Apa Ibu tidak tahu, aroma apa saja yang bisa ditemukan di dalam sana?

Ikan asin, ikan segar, telur busuk, buah busuk, keringat, keringat orang yang tidak mandi tiga hari, selokan, WC, sampah dan semua yang tidak pernah terpikirkan oleh Ibu. Pohon tauge saja bisa mendadak layu, kutu rambut bisa mendadak mati, jika mencium deretan aroma yang bercampur aduk ini. 

Aku menggeleng. "Daripada mati, Bu."
Ibu membelalakkaget. "Kok sampai mati?"

"I-iya, soalnya, batuk kan mematikan."

Ibu lantas berpaling, mengabaikan alasanku yang tidak masuk akal itu. Biar saja. Biar Ibu menikmati keseruan berbelanja di pasar tradisional.

(Bersambung)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro