Roti VS Nasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

pagi ini aku harus menghadapi kekonyolan Ibu. Minggu pagi yang biasanya kuisi dengan duduk santai di rumah, menonton drama Korea di serial streaming berbayar, sambil sesekali bercanda dengan Bagas perihal hobi asbtraknya memelihara ikan cupang, harus diwarnai kehebohan Ibu masalah ketiadaan nasi di rumah. Ibu tidak cocok makan roti dan baru bisa dianggap sarapan kalau sudah ketemu nasi. Padahal, sejak jam enam pagi, sudah kusajikan setangkup roti tawar dengan selai Nutella serta dua gelas susu dan segelas kopi di atas meja. Dan ibu masih saja bertanya, di mana sarapan paginya.

Ibu berkacak pinggang di depan kulkas. Merutuki isinya yang hanya dipenuhi sayur, buah, dan beberapa camilan yang menurut Ibu tidak sehat.

"Ini apa? Chiki-chiki kayak gini? Buat apa koe beli jajanan dapatnya angin tok?" omel Ibu seraya mengangkat tiga bungkus keripik kentang aneka rasa yang biasanya aku dan Bagas makan di sela-sela begadang mengerjakan tugas.

Pekerjaan yang serba tidak menentu, membuat kami harus siap kurang tidur mendadak demi menyelesaikan pesanan customer. Bagas seorang arsitek dan aku fashion editor. Kalau tidak dikejar deadline, tidak seru.

"Ini apa? Agar-agar telor kayak kemarin lagi?" Kali ini Ibu mengangkat dua mangkuk kecil pudding susu istimewa yang jadi asupanku di kala bad mood.

"Jangan, Bu. Itu enak," pintaku lirih. Jangan sampai puding itu mendarat di tempat sampah, sama seperti tiga kantong keripik yang harus bernasib malang itu.

Denhan cepat aku meraih satu-satunya harta berharga yang mungkin akan menyelamatkanku selama beberapa hari ke depan. Puding semalam saja tidak Ibu makan, malah dibuang karena katanya amis.

"Mbok yo kamu tu bikin agar-agar pake santan sama gula Jawa itu lho. Bagas suka itu. Dari kecil Bagas favoritnya itu."

Duh, Bagas lagi Bagas lagi. Kalau kubilang Bagas juga suka puding susu ini, bagaimana? Tidak semua masakan Ibu itu favorit Bagas!

Aku memeluk dua mangkuk mungil itu, mendekapnya erat agar tidak dirampas lagi. Ibu masih terus membongkar isi kulkas. Menelisik sampai ke ujung. Membaca satu per satu botol minuman yang masih tersimpan di dalamnya lalu memutuskan mana yang layak minum dan mana yang tidak.

Aku meringis dalam hati. Uang-uangku musnah.

"Bu, itu enak lho," ujarku saat Ibu menggenggam sekaleng minuman berwarna kekuningan. Sebuah tulisan tertera di labelnya. Bintang.

Aku deg-degan bukan main. Kalau sampai Ibu membaca minuman macam apa itu, mampuslah aku dan Bagas.

"Ini apa? Jus jeruk?" tebak Ibu.

Mertua kesayanganku itu sedikit menjauhkan kaleng dan mencoba membaca tulisan label yang kecil-kecil. Aku menahan napas. Dengan sangat sopan, kucoba mengambil kaleng minuman itu dari Ibu.

"Iya, Bu. Minuman rasa jeruk," jawabku.
"Apa ini merk-nya? Bintang?" tanyanya lagi.

Darahku berdesir. Jangan sampai Ibu bertanya minuman macam apa Bintang ini. Walaupun 0% alkohol, Ibu tipe orang tua yang memegang erat agama. Ibu bisa murka kalau tahu Bintang Raddler ini tidak punya sertifikat halal MUI.

"Iya, Bu. Itu favoritnya Bagas. Jangan di--"

Terlambat. Ibu justru melempat kaleng itu ke kantong kresek hitam. Tidak cuma satu kaleng melainkan satu pak yang masih tersegel di belakangnya sudah berpindah tempat ke plastik sampah. Bergabung dengan kripik kentang yang belum sempat juga kujamah.

"Nggak baik minum kayak ginian. Banyak pemanis buatannya! Mbok yo kamu itu bikinin jus jeruk pake jeruk asli aja lho," omel Ibu.

Aku hanya bisa mengangguk. Tidak mau protes lagi. Semalam, Bagas berjanji akan membujuk Ibu untuk menurunkan sedikit egonya. Nyatanya, pagi ini, Bagas malah asyik menonton dua ekor cupang peliharaannya ngobrol di akuarium. Aku yang harus menghadapi celotehan Ibu lagi.

Dalam hati aku bertekad akan mengambil lagi semua makanan di dalam kantong itu dan menyembunyikan di mobil, aatu-satunya tempat di mana Ibu tidak bisa mengacak-acak privasiku.

"Berarti kita beli juicer juga, Bu?" tanyaku sambil bersiap mencatat belanjaan.

Tadi Ibu sudah menyuruhku membeli beras sekarung dan rice cooker untuk memasaknya. Ibu juga memintaku agar membeli tomat yang banyak untuk asupan nutrisi kulitnya agar tidak cepat keriput. Sekarang Ibu minta juicer. Nggak sekalian aja beli oven, blender, dan mixer, lalu buka toko roti!

"Iya! Bagas barusan gajian to?" tanya Ibu.

Bagas, suamiku itu mendadak terbatuk. Aku melirik padanya yang tiba-tiba cengengesan dan menggaruk kepala. Aku melotot dan menaikkan alis. Jangan bilang kalau beli ini semua pakai uangku?!

~~~~~~

Syalala. Bab 3 sudah selesai. Selamat membaca dan tahan napas, para menantu! Mertua adalah ujian. Harap bersabar :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro