Anak Kandung VS Anak Menantu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pikiranku kacau. Sepuluh menit lebih aku memandang layar laptop tanpa satu kata pun yang kutulis, padahal ada setumpuk artikel yang seharusnya kukejar malam ini. Belum lagi riset berbagai jenis model pakaian yang sekiranya bakal hits bulan ini. Pekerjaanku tidak sulit, sesuai dengan passion dan kesukaanku di bidang fashion. Hanya saja, siapa yang bisa berpikir jernih dan bahagia kalau baru saja diomeli mertua? Jangan harap bisa menentukan ide mix and match kekinian. Melihat berbagai warna pakaian saja, rasanya sudah mau kusobek-sobek.

Bagas memasuki kamar dengan perlahan. Aku tidak menoleh. Mendengar suara langkah kakinya yang pelan saja, aku sudah tahu bahwa dia bingung harus bersikap bagaimana. Kevin Bagaskara. Laki-laki pemberani yang sanggup melawan puluhan cowok yang mengantre demi mendapatkanku nyatanya tetap takluk di kaki ibunya sendiri di saat aku paling butuh dukungan. Aku mengacuhkan Bagas. Biar saja dia menikmati malam malam dengan Ibu, toh aku juga sedang bersenang-senang dengan pekerjaan.

Bagas berdehem, meminta perhatian. Aku tidak mengacuhkannya. Sengaja kukeraskan lagu agar ia tahu bahwa aku sedang tidak mood ngobrol dengannya. Alih-alih pergi, dia justru berjalan mendekatiku dan mengusap pundakku. Memijit dan menepuknya dengan pelan.

"Maafin Ibu tadi, ya," ucapnya lirih. Aku bisa mendengar ketulusan saat Bagas mengatakan itu.

Meskipun begitu, aku masih sakit hati. Walaupun sebenarnya aku tahu, Bagas sungguh-sungguh dengan permintaan maafnya tadi, aku tidak bisa memaafkan kejadian di meja makan tadi dengan mudah. Apalagi aku sudah berniat baik membelikan makanan yang Bagas suka. Masa iya masih harus dibandingkan dengan masakan ibunya. Ya jelas berbeda lah!

"Kamu kan tahu, Ibu memang belum pernah makan steak. Jadi, maklum kalau Ibu enggak tahu gimana cara makannya. Gimana rasanya. Ibu kan cuma tahu daging dimasaknya semur." Bagas lagi-lagi membela ibunya.

Aku menoleh. Menatap Bagas rapat-rapat agar ia paham apa duduk perkara yang aku permasalahkan. "Aku enggak masalah dengan Ibu yang belum pernah makan steak. Ini semua kan masalah selera aja."

"Jadi kamu enggak marah lagi, kan?" tanyanya.

"Aku kecewa. Aku cuma pengen ngasih makanan enak buat Ibu karena aku enggak sempat masak. Enggak mungkin juga kan, aku pulang ke rumah tangan kosong, ngebiarin Ibu kelaparan," jawabku lirih.

Aku mendongak, berusaha kuat menahan amarah yang sejatinya sangat ingin kutumpahkan. Aku sakit hati pada sikap Ibu yang meremehkanku. Bagas mungkin tidak akan mengerti itu karena dia tidak berada di posisiku sebagai sang menantu. Di mata Ibu, Bagas adalah anak paling kecil yang paling disayanginya. Semua tentang Bagas nyaris tanpa cela. Sejak hari pertama kami menikah pun, Ibu memang tidak pernah menunjukkan kesukaan padaku. Tentu saja, karena di matanya, tidak ada satu orang pun yang layak untuk menjadi istri putra kesayangannya.

"Aku cuma pengen jadi menantu yang baik, Bagas. Tapi semua yang aku lakukan selalu salah di mata Ibu." Aku tidak bisa menyembunyikan air mata. Pelupuk mataku kini sudah sangat panas dan penuh dengan genangan air. Menunduk sedikit saja, pasti air mataku sudah bergulir.

Bagas memelukku. Mendekapku dalam tubuhnya yang terasa hangat. Sesak. Bukan karena dekapannya yang terlalu erat melainkan tekanan batin menjadi menantu seorang Bu Ningsih yang terlalu mengikat.

"Aku tahu aku enggak sama kayak Ibu yang jago masak. Makanya aku beli aja, supaya Ibu enggak perlu makan masakan gosong. Aku juga tahu aku enggak sehebat Mbak Sekar. Tapi, aku ... Aku--"

Bagas berdesis pelan, menenangkanku. "Iya. Aku ngerti."

"Tapi kenapa Ibu enggak ngerti?"

Bagas tidak menjawab. Aku memukuli dadanya. Apa sulit sekali baginya untuk mengatakan bahwa aku tidak salah melainkan ibunya?

~~~

Hai hai. Episode kedua sudah meluncur. Sangat singkat sekali karena aku sangat buru-buru. Semoga sukaaaa~ selamat berproses menjadi menantu ideal :) with love, Lulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro