Steak VS Semur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Iki opo?"

Syana mengkeret. Tatapan Bu Ningsih menyiratkan ketidaksukaan yang luar biasa. Di hadapan mereka padahal sudah tersedia beragam sajian nikmat yang khusus Syana pesan dari restoran favorit suami. Ada sirloin steak, salad kale, dan pudding susu yang tidak satu manusia pun bisa menolak kelezatannya.

Seantero Jakarta pun sudah tahu, steak restoran yang terletak di sebelah gedung paling tinggi di Jakarta Pusat ini paling enak, walaupun harus merogoh kocek agak dalam dan mengantri berjam-jam. Salad kale-nya juga selalu menggunakan sayuran segar dengan siraman mayones yang gurihnya tepat tanpa membuat eneg. Apalagi puding susu karamel yang lembut dan manisnya yang berpadu jadi satu saat lumer di mulut. Syana dan Bagas bisa menghabiskan tiga porsi sekali duduk.

Namun, Bu Ningsih, sang mertua tercinta itu tidak terkagum sedikit pun. Ia bahkan tidak menyentuh sendok atau garpu. Hanya menaikkan dagu lalu melempar tatapan menjengkelkan karena seleranya tidak sesuai dengan kesukaan menantunya itu.

"Ini steak, Bu," jawab Syana berusaha terdengar ramah.

Syana melirik Bagas, suami tercintanya yang juga menunduk ketakutan pada sang nyonya besar Ningsih Pujiati. Kaki Bagas bergerak gelisah. Kedua tangannya sudah gemas menggenggam sendok dan garpu, ingin segera makan, tapi pantang baginya mengambil makanan duluan. Setidaknya, tidak sampai Bu Ningsih mengambil potongan pertama.

Syana menghela napas sambil mengutuki diri. Sebagai seorang menantu, bagaimana ia harus bersikap jika anak kandungnya sendiri saja takut pada Bu Ningsih. Ia juga belum ada bayangan, bagaimana kehidupannya nanti ke depan jika setiap makan malam harus diwarnai drama 'ngambek' seperti saat ini.

"Maksud Ibu, gimana cara makannya kalau sebesar ini? Enggak dipotong-potong?" cecar Bu Ningsih lagi.

Syana yang paham dengan maksud Bu Ningsih lantas mengambil piringnya dan dengan sigap mengiris daging panggang selebar telapak tangan itu dengan pisau dan garpu. Kedua tangannya bergerak  cekatan sembari bibirnya tersenyum simpul. Dalam hati, Syana mencoba memaklumi sang ibu mertua yang memang tidak paham bagaimana konsep makan steak atau mungkin tidak pernah makan steak sebelumnya. Pindah jauh dari Sragen ke Jakarta pasti tidak mudah. Ada banyak culture shock yang mungkin membuatnya agak kebingungan dan kaget. Syana mengulum senyum lagi.

"Steak biasanya memang ukurannya sebesar ini, Bu. Kalau dipotong kecil-kecil biasanya dibikin sate." Syana berusaha mencarikan suasana saat menyadari Bu Ningsih belum juga tersenyum.

"Sama-sama dipanggang kok, Bu. Dagingnya juga tanpa lemak. Iya kan, Sayang?" Bagas menimpali seraya mengiris steak miliknya sendiri. Senang karena itu artinya ia sudah boleh mulai makan.

Bagas menyuapkan potongan pertama ke mulut lalu berdecak keenakan. Daging yang masih segar ketika dipanggang memang rasanya beda dengan daging yang sudah berhari-hari. Apalagi black pepper dan saus madu yang sengaja ditambahkan untuk menciptakan rasa pedas manis, kian membuat

"Ini makanan favoritnya Mas Bagas, Bu. Tadi pulang kerja Syana mampir. Ngantrinya juga lumayan panjang, saking terken--"

"Bagas itu dari kecil sukanya semur, bukan steak," bantah Ibu.

Mendengar kata-kataku dipotong begitu saja membuatku merasa sedikit terluka. Aku berhenti memainkan pisau, menatap Bagas yang seolah tidak bereaksi. Suami yang kunikahi sejak dua tahun yang lalu itu malah cengengesan padahal aku sudah sangat ingin menerkam dan menyemburkan amarah.

"Semur itu yo kayak steak ini, tapi dipotong kecil-kecil supaya lunak. Dikasih kuah kecap sama kemiri supaya gurih. Dimakannya juga pakai nasi, bukan pakai sawi." Ibu lagi-lagi mengkritisi sajian makan malam kami.

Aku tidak protes. Ya setidaknya aku harus  maklum, ibu mertuaku ini memang baru saja meninggalkan Sragen kurang dari 48 jam yang lalu. Mungkin masih shock dengan hidangan semacam ini. Masih rindu dengan masakan khas rumahan yang lebih kaya bumbu dan rempah. Masih butuh nasi padahal sumber karbohidrat bisa didapatkan dari bahan makanan lain.

"Iya. Bagas kangen semur bikinan Ibu." Suamiku justru cengengesan mendukung Ibu.

Bukankah dia sendiri yang minta steak? Kenapa sekarang malah tidak mau makan? Sok-sokan kangen nasi juga? Aku mengiris dengan sekuat tenaga. Menyebalkan!

"Mana ada orang makan steak pakai nasi, Bu," jawabku sambil mengulum tawa. Mau ngatain kampungan, tapi tidak tega. Kuteruskan memotong daging steak Ibu agar sesuai dengan keinginannya.

Mendadak kudengar wanita berusia 62 tahun itu berdecak dan menggelengkan kepala. Aku mendongak. Wajahnya kesal bukan main. Apa dia bisa membaca pikiranku barusan?

"Nasi itu wajib ada di setiap rumah," bantah Ibu. "Masa' ada orang kaya tapi enggak punya nasi."

Aku tidak menghentikan aktivitas mengiris daging. Aku justru mencincang steak itu menjadi ukuran sangat kecil. Meluapkan emosi karena sindirannya yang tidak boleh kubalas. Bagas tidak berkata apa-apa. Ia hanya menikmati sepotong demi sepotong kale, mengunyah tenang seolah ini obrolan biasa antara ibu dan anak. Apa Bagas tidak tahu, kalau bukan karena wanita di hadapan ini ibunya, aku pasti sudah kembali ke kamar dan melupakan makan malam istimewa pertama kami.

"Syana belum sempat beli rice cooker, Bu. Selain itu, kami juga jarang masak di rumah." Aku menjawab jujur.

Buat apa beli rice cooker kalau dari pukul enam pagi sampai pukul delapan malam kami sama-sama sibuk bekerja di luar? Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk istirahat justru harus terpakai untuk mengolah makanan yang bisa dikerjakan orang lain. Sangat tidak efisien, menurutku.

"Istri macam apa yang jarang masak di rumah?" Ibu lagi-lagi memberondongku dengan pertanyaan nyelekit. "Pergi pagi pulang malam. Memangnya gaji Bagas enggak cukup buat kebutuhan kalian? Oh, iya. Sudah dua tahun menikah, belum punya anak. Kamu itu mbok yo berhenti kerja. Biar bisa jadi Ibu. Ngapain gaji gede tapi enggak punya momongan? Lihat itu, Mas Didit dan Mbak Sekar, lima tahun menikah anaknya udah tiga. Siva malah udah mau masuk TK nol kecil. Duh, kalian kok malah belum. Ibu enggak ngerti, apa yang--"

Aku yang muak dengan celotehan Ibu lantas berdiri. Kucoba sekuat hati untuk tidak memuntahkan amarah yang kupendam. Bagas berhenti makan dan Ibu menatapku dengan mata bulatnya. Aku mengatur napas. Mengingat semua materi saat kelas Yoga agar tidak ngamuk di depan mertua.

"Syana ... mendadak keinget ada tugas kantor."

Kutinggalkan mereka berdua dengan mata pedih menuju kamar mandi. Siap menangis atas perlakuan Ibu yang menyakitkan. Apa gunanya membandingkan aku dengan Mbak Sekar? Hanya karena Mbak Sekar sudah punya tiga anak, lantas Ibu merasa berhak menghakimi aku yang memang belum berkeinginan punya keturunan? Ini enggak adil. Ibu yang terlalu penuntut atau aku yang terlalu sensitif?

♡♡♡

Hai, chapter pertama Syana dan Bu Ningsih sudah dimulai. Kalau kamu suka, tolong kasih vote dan comment, ya. Terima kasih.

#30dwcday1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro