Tiga Puluh Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU melupakan kotak bekalku di rumah sehingga ikut makan siang bersama Wika, Mbak Sri, sekretaris direktur dan Mbak Mega, manajer HRD. Ini pertama kalinya aku makan siang bersama orang yang tidak satu divisi denganku. Sepertinya mereka akrab dengan Wika.

"Wah, jagoan gue udah mulai aktif bergerak nih." Mbak Mega meletakkan tangannya di perutnya yang sedikit membuncit. Dia memang sedang hamil. "Hamil anak perempuan dan laki-laki kayak gini rasanya agak beda sih."

"Mayazza kan baru setahun, Ga. Apa nggak repot banget punya anak yang umurnya deketan banget kayak gitu?" tanya Mbak Sri. "Harus punya dua pengasuh biar yang ngurusin nggak keteteran, kan? Umur kayak gitu anak masih sangat demanding. Kerjaan lo kan bagus, sayang kalau harus resign ngurus anak. Emang sengaja punya anak beruntun biar nggak ada gap umur?"

Mbak Mega terkekeh. "Gue malah penginnya jarak anak gue tuh lima tahun, biar ngatur keuangannya juga bagus. Punya anak zaman sekarang kan biayanya mahal, apalagi kalau harus pakai pengasuh kayak gue. Tapi kalau kebobolan, masa harus dikuret? Dosa lho. Anak kan rezeki."

"Kok bisa kebobolan? Emang lo nggak KB? Suntik, pil, kondom, atau sekalian IUD biar nggak repot."

Mbak Mega meringis. "Gue pikir, karena gue ngasih ASI eksklusif dan ASI gue luber sampai sekulkas-kulkas, gue aman. Teorinya, ASI eksklusif kan bisa jadi alkon alami. Tapi ternyata teori itu nggak mempan sama gue."

"Kalau keluarnya di dalam, ya kemungkinan hamilnya tetap ada sih, Ga." Mbak Sri mengedipkan sebelah mata. "Tapi kalau udah keenakan, mana ingat mau dikeluarin di luar, kan?"

Mereka tertawa, tapi aku malah tersedak.

"Duh, yang perawan mah masih malu-malu," ledek Mbak Mega. "Tapi itu pengalaman yang harus lo semua ingat, biar nanti nggak kebobolan kayak gue kalau memang mau ngatur jarak umur anak."

Dalam perjalanan pulang, aku masih terbayang percakapan yang terjadi saat makan siang tadi. Mungkin aku terlalu naif sehingga tidak memikirkan kemungkinan hamil sebelum hari ini. Aku aktif secara seksual. Nawasena hanya menggunakan pengaman di awal-awal kami berhubungan. Setelah itu tidak pernah lagi. Mungkin karena dia sudah yakin jika aku tidak punya penyakit yang bisa menularinya sebagai konsekuensi berhubungan intim denganku.

Aku yakin Nawasena juga tidak berpikir jauh. Aku bukanlah istri yang dia pilih dengan alasan cinta, jadi mustahil mengharapkan aku mengandung dan melahirkan anaknya. Tugas mulia itu seharusnya diemban istri keduanya, bukan aku.

Aku juga tidak boleh hamil karena aku tidak yakin sanggup mengurus anak lain sementara harus tetap fokus mengawasi Asya. Tidak akan adil bagi calon anakku dan Asya jika perhatianku harus terbagi. Tidak... aku tidak bisa mengemban tanggung jawab sebesar itu. Aku tidak mau berakhir menjadi orangtua seperti ibuku yang akhirnya memilih lalai dari kewajiban karena merasa terlalu berat untuk dijalani.

Pikiran itu membuatku akhirnya mampir di salah satu apotek. Aku menekan rasa malu saat membeli sekotak kondom. Cukup satu. Aku akan mengingatkan Nawasena tentang risiko berhubungan tanpa pengaman yang dilewatkan oleh otaknya yang katanya besar itu. Selanjutnya, dialah yang harus menyediakannya.

Bukan masalah harga kondom itu, tapi perasaan risi ketika membelinya. Petugas apoteknya memang tidak mengatakan apa-apa, tapi aku tetap malu. Rasanya seperti membuat pengumuman kalau aku menyiapkan pengaman karena takut hamil. Itu sama saja dengan mengakui jika laki-laki yang tidur denganku tidak menginginkan hal yang sama. Orang bisa berpikiran jika aku belum menikah, tapi aktif secara seksual. Seharusnya aku tidak perlu memikirkan hal itu, toh petugas apotek itu orang asing, dan apa pun yang dia pikirkan tidak penting. Tapi aku tetap saja malu.

**

Nawasena sedang duduk bersandar di kepala ranjang sambil menekuri iPad di pangkuannya saat aku keluar dari kamar mandi. Dia selalu pulang ke rumah sejak kami dari Puncak. Dia sepertinya mulai menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi hanya pulang untuk menuntut haknya sebagai suami jadi-jadian, karena kami tidak pernah berhubungan lagi setelah yang terakhir kali di Puncak. Dia tidur di kamarnya, sedangkan aku juga tidur di sini, di kamarku sendiri.

Dua hari lalu kami sempat berdebat, dan untuk pertama kalinya aku memenangkan perdebatan dengannya. Dia menyuruhkuku mengambil cuti beberapa hari untuk pemulihan, sementara aku berkeras hanya izin sehari saja. Hari Selasa aku sudah masuk kantor seperti biasa karena sudah merasa bugar.

Nawasena tentu saja tidak menerima kekalahannya dengan baik. Wajahnya masam sepanjang perjalanan mengantarku ke kantor karena tidak mengizinkan aku membawa mobil sendiri. Aku pikir dia marah dan tidak akan pulang ke rumah, tapi ternyata dia pulang meskipun sudah hampir tengah malam. Rasta yang menjemputku dari kantor memang mengatakan jika Nawasena ada pertemuan dengan klien. Hal itu juga yang membuatku berpikir kalau dia lebih memilih menginap di apartemen supaya tidak terjebak perjalanan panjang karena jaraknya lebih dekat dari tempatnya meeting.

Kemarin, aku juga berhasil membujuknya mengizinkan aku membawa mobil sendiri. Dia masih merengut, tapi tidak separah sebelumnya. Aku mulai bisa membaca cara membuatnya mengikuti keinginanku. Aku hanya perlu sedikit ngotot karena dia ternyata tidak sekeras yang selama ini aku pikir. Nawasena memang tidak suka mengalah, tapi dia juga malas berdebat terlalu panjang. Kalau tahu sejak awal, aku tidak akan setakut itu padanya karena dia tidak semenyeramkan yang aku kira. Atau mungkin karena komunikasi di antara kami juga membaik.

Nawasena masih menyebalkan dan kami tentu saja tidak pernah ngobrol layaknya teman atau sahabat, tapi hubungan kami membaik. Aku kesulitan menjelaskan bagaimana persisnya perbaikan itu, tapi bisa merasakannya dengan jelas.

Nawasena mengangkat kepala saat mendengarku mendekat.

"Ada apa, Mas?" tanyaku. Pasti ada yang penting sampai dia menyambangiku di sini. Biasanya dia menyuruh aku yang ke kamarnya kalau butuh sesuatu. "Mas menelepon? Maaf, saya lama di kamar mandi." Bathtub adalah kemewahan yang tidak pernah kurasakan sebelum tinggal di rumah ini. Jadi aku suka berendam berlama-lama dalam air hangat. Aku belum berhasil melewati fase norak menjadi orang kaya baru, padahal status OKB itu hanya sementara. Tapi karena sementara itulah, maka aku harus memanfaatkan fasilitas yang ada di rumah ini semaksimal mungkin. Bye-bye gayung, sampai bertemu lagi nanti di lain waktu, di masa depan yang semoga masih lama.

"Memangnya aku nggak boleh ke sini kalau nggak ada perlu?" gerutu Nawasena.

Biasanya kan memang begitu. Tapi karena tidak mau memancing perdebatan untuk masalah sepele, aku tidak menjawab. Aku duduk di depan meja rias dan meraih tas kantor untuk mengambil ponsel yang belum sempat kukeluarkan karena langsung menemui Asya. Setelah itu, aku langsung mandi.

"Apa ini?" Nawasena meraih kotak kondom yang tadi kubeli di apotek, yang ikut kukeluarkan dari tas tanpa sengaja. Dari nadanya, aku tahu dia bertanya bukan karena tidak tahu. Dia membolak-balik kotak kecil itu.

Aku tidak langsung menjawab. Wajahku terasa memanas. Rasanya tidak pantas saja aku yang memulai obrolan tentang hal itu dengannya.

"Kenapa kamu bawa-bawa kondom di tas kamu?" tanyanya lagi. Nawasena menurunkan kakinya dari atas ranjang. Kami duduk berhadapan. Dia di tepi tempat tidur, dan aku di kursi.

Aku berdeham sebelum menjawab, "Itu baru saya beli saat pulang kantor tadi, Mas."

'Untuk apa?"

Aku menatapnya gusar. Memangnya apa guna kondom kalau bukan untuk mencegah kehamilan yang sama-sama kami tidak inginkan? Aku belum gila sampai harus menyumbang kondom untuk orang lain. "Ya untuk Mas-lah. Masa untuk orang lain?"

"Apa aku pernah bilang kalau aku butuh kondom?" Nadanya naik dua oktaf. Nawasena mulai mengeluarkan taring seperti biasa saat sedang sebal. Untung saja aku bukan lagi Ebi beberapa bulan lalu yang langsung mengerut ketika diberi suara tinggi. Aku mulai kebal dari penyakit jantung karena perubahan warna dan nada suaranya.

"Mas memang nggak bilang butuh kondom," kataku pelan. Jangan menghadapi orang emosi dengan emosi juga. Hasilnya tidak pernah bagus. "Tapi saya tahu Mas perlu kondom supaya saya nggak hamil." Wajahku pasti sudah merah padam. "Mas sepertinya lupa konsekuensi berhubungan tanpa pengaman."

"Tentu saja aku tahu konsekuensi bercinta tanpa pengaman. Aku nggak lupa. Memangnya kenapa kalau kamu hamil? Kamu toh punya suami dan tidak hamil di luar nikah."

Aku menganga menatapnya. Aku selalu tergoda untuk memukul kepalanya saat dia menyebalkan seperti ini.

"Saya nggak bisa hamil karena tahu alasan pernikahan kita, meskipun saya tahu Mas pasti akan memberikan tunjangan yang besar untuk biaya perawatan anak itu setelah kita berpisah. Saya memang suka uang, tapi saya nggak akan menukar kebahagiaan anak yang saya lahirkan dengan uang kalau tahu saya nggak akan bisa mengasuhnya dengan baik. Saya berasal dari keluarga yang kacau, dan saya nggak mau anak saya dibesarkan seperti saya. Anak tidak hanya butuh uang karena yang penting adalah kasih sayang orangtuanya."

"Kamu bicara apa sih?"

"Saya juga nggak bisa jadi ibu karena tanggung jawab itu terlalu besar untuk saya, Mas," ucapku sedih. Mengakui hal itu secara terbuka dengan hanya memikirkannya ternyata menimbulkan perasaan berbeda. "Saya harus mengurus Asya. Itu sudah cukup berat. Saya nggak yakin bisa mengasuh seorang anak yang lain."

"Asya sebenarnya tidak serapuh yang kamu pikir. Dia memang nggak bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri, tapi dia tidak butuh bantuan orang lain untuk melakukan hal-hal dasar seperti makan, memakai baju, dan lain-lain. Dia hanya butuh diawasi. Dan semakin lama, kemandiriannya akan semakin bertambah. Dia juga butuh dipercaya. Aku tahu kamu sangat menyayangi dia dan bersedia melakukan apa pun untuknya, tapi cara kamu memperlakukannya sebenarnya malah menghambat kemandiriannya."

"Mas jangan mengajari saya cara mengasuh Asya." Aku langsung meledak. Nawasena mengangkat topik yang sangat sensitif untukku. Aku merasakan tubuhku bergetar menahan emosi. "Saya sudah melakukannya sejak Asya lahir. Apa yang Mas tahu tentang Asya? Mas hanya melihatnya sesekali. Mas bahkan nggak pernah berinteraksi dengan dia!"

"Jangan marah dulu." Nawasena mengangkat tangan untuk menenangkanku. "Aku menilainya secara objektif. Lagi pula, yang sedang kita bicarakan sekarang bukan tentang Asya. Kita sedang membahas kondom yang kamu beli." Dia melemparkan kotak pengaman itu di atas meja rias, di depanku. "Aku nggak butuh butuh itu. Kalau kamu belum siap punya anak, kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku nggak akan memaksa kamu untuk hamil. Itu tubuh kamu, jadi kamu yang memutuskan kapan kamu siap. Tapi kamu nggak bisa mengambil keputusan sepihak kayak gini, tiba-tiba membeli kondom karena menganggap aku lupa. Aku nggak lupa. Aku hanya menganggap itu nggak perlu karena kamu toh nggak pernah membicarakan ketidaksiapan kamu untuk hamil sebelumnya."

Itu percakapan yang sifatnya sangat pribadi, sedangkan kami tidak pernah membahas sesuatu yang intim seperti itu. Sejujurnya, kami tidak pernah membahas apa pun tentang hubungan kami. Kebersamaan kami seringnya terjadi di atas tempat tidur. Saat itu, yang ada hanya seks. Tidak ada percakapan tentang diri Nawasena dan keluarganya. Dia juga tidak tertarik untuk tahu tentang aku. Apa masuk akal jika aku tiba-tiba membuka percakapan tentang anak?

Aku tidak ingin menangis. Ini bukan percakapan yang ingin aku campur dengan air mata, tapi asin di sudut bibirku menandakan jika bendungan tangisku sudah pecah tanpa kusadari.

"Saya nggak mau punya anak dari hubungan yang nggak jelas seperti ini, Mas. Itu egois. Seorang anak seharusnya dilahirkan dari orangtua yang saling menyayangi dan bersedia membesarkannya berdua. Kita nggak punya rasa itu. Mas hanya menjadikan saya sebagai alat pembalasan dendam, dan saya tinggal di sini karena menginginkan uang Mas. Hubungan kita hanya seperti itu. Tidak lebih."

"Jangan menangis," kata Nawasena. Dia berdiri. "Aku nggak bisa dan nggak suka berurusan dengan air mata. Kita bicarakan lagi setelah kamu tenang. Aku keluar supaya kamu bisa istirahat."

Mana mungkin aku bisa beristirahat dengan tenang setelah percakapan barusan?

**

Untuk yang mau baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro