Tiga Puluh Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKAD nikah Pak Cipto, ayah Arsa yang dilangsungkan di rumah mempelai wanita berjalan khidmat. Beliau menikah dengan teman lamanya. Mereka belum lama bertemu kembali setelah puluhan tahun kehilangan kontak.

Jodoh memang misteri. Setelah menduda selama bertahun-tahun setelah istrinya meninggal, akhirnya keinginan Pak Cipto untuk menikah terbuka lagi.

Meskipun pemberitahuan tentang pernikahan itu mendadak, Ibu Nawasena tetap sempat menyiapkan seragam untuk kami bertiga. Aku, Asya, dan dirinya sendiri. Aku tidak sempat mengukur badan karena tidak bisa meninggalkan kantor sehingga beliau membawa desainernya ke rumah. Benar-benar berdedikasi padahal beliau tahu jika aku bukanlah pilihan hati anaknya. Tapi hal itu tampaknya tidak mengganggu ibu Nawasena. Beliau tetap menyamakan kebaya yang dia pakai denganku dan Asya. Dia bahkan mengirim sopir untuk menjemputku dan Asya supaya kami bisa pergi ke acara itu bersama-sama.

Untuk pertama kalinya, aku akhirnya bertemu langsung dan berinteraksi dengan ayah Nawasena, bukan lagi hanya memandangnya dari bingkai foto yang tergantung di rumah mereka. Dilihat dari perawakan dan pembawaan, Nawasena benar-benar mirip dengan ayahnya. Tidak banyak bicara pada orang yang baru ditemuinya sehingga menimbulkan perasaan sungkan.

Nawasena sendiri sudah hampir dua minggu berada di Kalimantan. Dia pergi sehari setelah perdebatan kami tentang kehamilan. Dia memberi tahuku tentang kepergiannya melalui pesan WA. Menurut pesan itu juga, dia akan pulang hari ini, tepat di hari akad nikah pamannya. Aku tidak menanyakan waktu tepatnya karena kami toh tidak akan pergi ke acara itu bersama. Aku telanjur mengiakan ajakan ibunya yang memintaku ikut bersamanya.

Aku mengikuti akad nikah Om Cipto dengan saksama. Menurut Ibu Nawasena, ini adalah pernikahan kedua kali untuk kedua mempelai. Di samping Arsa dan Vierra, ada tiga orang lain yang tampak asing bagiku. Aku menduga jika mereka adalah anak-anak dari calon istri Pak Cipto.

Meskipun acaranya hanya dihadiri oleh keluarga, kesan mewah tetap saja terlihat. Bagaimanapun, ini adalah pernikahan ketua dewan komisaris salah satu perusahaan batu bara terbesar di tanah air. Silsilah itu aku pelajari dari internet karena Nawasena tidak tertarik menceritakan urusan kantor atau pohon leluhurnya. Ibunya juga tidak pernah membahasnya. Beliau fokus membangun hubungan emosional denganku, bukan memamerkan kekayaan keluarga mereka.

Ayah Nawasena dan ayah Arsa bersaudara, tetapi umur mereka terpaut cukup jauh. Selain mereka, masih ada dua orang bibi Nawasena yang lain. Sebagai anak tertua, ayah Arsa-lah yang ditunjuk menjalankan perusahaan. Setelah perusahaan mereka semakin besar dan akhirnya go public, jabatan direktur utama diserahkan pada ayah Nawasena, sedangkan ayah Arsa menjadi ketua dewan komisaris yang tetap memantau jalannya usaha keluarga itu. Walaupun kepemilikan sudah dibuka untuk umum, perusahaan mereka tetap saja bisa disebut sebagai usaha keluarga karena merekalah yang memegang potongan kue saham paling besar.

Peran Arsa, Nawasena, dan sepupu-sepupu mereka yang lain tidak disebut-sebut dalam artikel bisnis yang kubaca itu. Penulis artikelnya fokus pada ayah mereka sebagai pemimpin tertinggi.

Rasanya mengenaskan karena aku mempelajari silsilah keluarga suamiku dari tulisan orang lain yang belum tentu benar padahal aku memiliki hak untuk bertanya. Tidak, aku meralat pikiran itu. Sejatinya, aku tidak punya hak itu karena status pernikahan kami yang legal di mata hukum dan agama sebenarnya sama-sama kami sangkal dalam hati.

"Sena kok belum sampai-sampai juga sih?" Ibu Nawasena menggerutu karena anak sulungnya tetap tidak tampak batang hidungnya sampai ayah Arsa duduk di depan penghulu, bersiap untuk mengucapkan ijab kabul.

Aku diam saja karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Nawasena tidak mengirim pesan lain selain pesan yang mengabarkan perjalanannya ke tambang. Dia memang bekerja di kantor pusat di Jakarta, tetapi karena pusat aktivitas usaha dilakukan di Kalimantan, dia cukup sering ke sana.

Pandanganku terpaku pada Pak Cipto yang mengucapkan ijab kabul dengan mantap. Sikap dan pembawaan tampak sesuai dengan umurnya. Walaupun rambutnya sebagian besar sudah memutih, dia tetap tampak gagah.

Acara itu terkesan sakral, jauh dari acara ijab kabul sekadarnya di KUA yang aku dan Nawasena lakukan. Bukti pernikahan kami hanyalah akta nikah karena tidak ada dokumentasi lain. Tidak ada fotografer yang mondar-mandir mencari sudut pengambilan gambar paling bagus. Tidak ada helaan napas kagum, lega, dan haru dari keluarga setelah penghulu mengesahkan pernikahan.

Tapi aku tentu saja tidak bisa membandingkan pernikahan yang dilakukan karena cinta dan dipersiapkan sebaik mungkin dengan pernikahan bermotif pembalasan dendam dan uang.

Nawasena baru muncul setengah jam kemudian. Aku melihatnya ngobrol bersama Arsa dan Vierra. Jarak di antara kami tidak terlalu jauh, sehingga aku bisa melihat ekspresinya dengan baik. Tidak ada tanda-tanda kalau dia sakit hati dan merencanakan pembalasan dendam untuk membuat mantan pacarnya itu cemburu. Kalau tidak pernah mendengarkan perdebatannya dengan Vierra, aku tidak akan menyangka jika mereka pernah terlibat hubungan asmara.

Nawasena bahkan tidak tampak terganggu saat melihat Arsa memeluk pinggang Vierra yang sedang hamil. Kehamilannya pasti masih baru karena aku tidak menangkap baby bump itu saat berkunjung ke rumah ini beberapa bulan lalu, padahal dia memakai gaun yang ketat di pinggang.

Nawasena benar-benar aktor yang baik karena bisa menyembunyikan kecemburuan. Dari percakapannya dengan Vierra yang kutangkap waktu itu, aku yakin dia masih mencintai mantannya itu. Kalau tidak, untuk apa membalas orang tidak dia cintai, kan? Orang yang sudah move on akan fokus pada hidup dan kebahagiaannya sendiri, bukan pada masa lalu. Itu teori yang kubaca dalam kutipan yang lewat di beranda media sosialku karena aku belum pernah mengalaminya sendiri. Hubunganku dengan laki-laki hanya sebatas gebet-menggebet yang jauh dari level serius.

Aku memahami konsep dan definisi dari kalimat "dekat tapi jauh" setelah berhubungan dengan Nawasena. Meskipun kami berada di atas tempat tidur yang sama beberapa kali seminggu, secara emosi kami tidak terikat. Fisik kami terpaut, tapi sejatinya, kami hanyalah orang asing.

"Ebi... Ebi... makan dong!" Asya menarik tanganku dan menunjuk meja makan.

"Oke, yuk kita ambil makan." Seandainya bisa memilih, sebenarnya aku tidak ingin mengajak Asya ke acara ini. Sayangnya aku tidak bisa memilih karena ajakan itu datang dari ibu Nawasena yang sudah bersusah payah membuat seragam untuk kami bertiga.

Memang tidak ada yang mengatakan hal-hal buruk tentang Asya, tapi aku tidak suka tatapan prihatin orang-orang setiap kali melihat Asya. Mungkin itu hanya perasaanku saja, tapi aku memang selalu defensif kalau itu tentang Asya.

Aku mengisi piring untuk Asya lalu mengajaknya mencari tempat duduk. Aku menjaga supaya Asya makan dengan rapi sehingga tidak mengotori pakaiannya. Aku berusaha tidak melirik ke arah Nawasena, tapi sulit. Salahkan saja rasa penasaranku karena aku tidak bisa menahan diri. Dengan mengawasi interaksi Nawasena dan Vierra, aku berharap bisa membaca ekspresi dan bahasa tubuh Nawasena dengan lebih saksama daripada tadi. Bagaimanapun juga, perasaan Nawasena pada Vierra ikut mempengaruhi hubungan kami. Semakin cepat Nawsena move on, akan semakin cepat pula aku disingkirkan. Itu berarti semakin cepat pula aku kehilangan sumber uang.

Perasaan bersalah membuncah saat menyadari jika aku mendapatkan'keinginanku dari penderitaan dari Nawasena yang belum mengatasi sakit hatinya. Aku mencoba menghibur diri dengan meyakinkan diri bahwa aku tidak melakukannya dengan gratis. Ada timbal balik untuk Nawasena. Mungkin tidak seimbang menukar tubuhku dengan kenyamanan hidup karena Nawasena terkesan membayar terlalu mahal, tapi itu adalah konsekuensi yang juga diterimanya dengan sadar untuk barter kami.

"Mbak Vierra udah hamil tuh," celutuk salah seorang sepupu Nawasena yang tiba-tiba saja sudah berada di sebelahku. Dia sepertinya tahu aku melirik ke arah para sepupunya. "Mbak Febi belum hamil juga?"

Pertanyaan itu membuat kepalaku bagai disiram air es. Aku tahu jika pertanyaan itu hanya perwujudan dari rasa penasaran yang sangat normal, tapi aku spontan memikirkan hal lain.

Apakah Nawasena tidak keberatan atau malah terkesan ingin membuatku hamil karena menyingkirkan pengamannya, adalah bentuk pernyataan perang pada Vierra? Bahwa dia juga bisa menghamili perempuan lain di saat Vierra sedang hamil?

Entah mengapa, pikiran itu membuatku sebal. Seharusnya pembalasan dendam yang direncanakan Nawasena tidak perlu sejauh itu. Menghadirkan seorang anak di dunia karena pembalasan dendam bukanlah keputusan bijak.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro