Bisa Dibilang, Aku Bodoh (2/3)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayahku itu ibaratnya dehidrasi cinta--sudah bukan lagi haus akan cinta, padahal cinta dari ibunya sudah sebesar itu. Aku tidak mengerti. Bocor ke mana wadahnya menerima cinta itu, sampai masih sehaus itu?

***

Ayahku yang kutahu adalah pria yang jarang menceritakan dirinya, apa kesukaannya, apa warna kesukaanya, apa yang ia benci. Aku atau barangkali kakak-kakakku mungkin juga tidak tahu.

Terlahir darinya juga, fitur dan sifat sepertinya tidak membuat aku dapat memahami sepenuhnya tentang dirinya. Hanya secara kasar dan jauh, seolah sebenarnya kami asing. Kebetulan saja kami mirip dan berada di satu rumah pertanggung jawaban yang sama. Aku anaknya, dia ayahku.

Pernah suatu ketika Ayah dan Ibuku bertengkar hebat. Saat itu mungkin aku masih SMP. Ibuku mengunci diri di kamar, dan ayahku dengan wajah merah padam pergi ke ruang tamu.

"Kenapa ayah gitu?"

Aku bertanya dengan polos sembari menahan tangis tak mengerti. Aku tidak tahu bagaimana pertengkaran ini dimulai karena saat itu aku baru saja pulang dari les, dan sepuh A meneriakiku untuk segera kemari begitu aku datang.

"Teman-temanku juga begitu, apa salahnya?"

Aku hanya terlalu polos dan tak mengerti saat itu, aku hanya mampu terdiam. Baru setelah dewasa aku sadar. Otaknya sudah pincang, dari sudut mana perselingkuhan bisa dibenarkan?

Setelah dengan polosnya aku menanyai ayahku seperti itu, aku ke ibuku. Kulihat sepuh A, hanya terdiam di kursi luar kamar Ibuku. Ia hanya meminta ibuku membukakan pintu. Saat itu aku juga belum mengerti kalau Sepuh A sama pincangnya otaknya dengan anaknya. Walau si Sepuh A lebih ke arah terbutakan cintanya pada anaknya.

Aku menghancurkan pintu kamar mandi Ibuku yang dari plastik itu dengan mudah, kebetulan, pintu kamar mandinya sangat unik atau mungkin karena orang desa ingin arsitektur kebaratan dengan bodohnya membangun kamar mandi dalam kamar dengan dua pintu yang satu mengarah keluar kamar yang satu mengarah ke dalam kamar.

"Bu, jangan seperti ini. Lampiaskan saja padaku,"kataku pelan sembari menyusulnya di atas kasur.

Ibuku hanya diam saja, dia meringkuk di sampingku. Aku menemaninya sampai ia tenang sembari ikut menangis dalam diam.

Saat itu aku terlalu bodoh untuk mengerti situasi.

Bahkan yang paling bodohnya dengan sifat polosku, entah saat itu umur berapa aku tidak ingat, aku menyaksikan sesuatu.

Ibuku sedang mengambek di dalam kamar dan aku membiarkannya bersama ayahku di depan tv ruang keluarga.

Aku melihat ayahku keasyikan dengan handphonenya. Handphone jadul yang zaman itu sudah cukup canggih untuk mengirim pesan, memfoto ataupun merekam video.

Saat itu ia tidak menyadari aku di belakangnya, dan ayahku tengah mengirim pesan.

"Ibu lagi apa?"

Aku tersenyum senang melihat romantisnya ayahku mencoba mengembalikan mood ibuku yang mengambek di dalam kamar. Namun, sampai pagi aku tidak mendengar dering sms apapun dari handphone Ibuku yang keras. Dan kejadian Ibuku mengambek hanya salah satu angin lalu.

***

"Ayah, dia sekolah di mana?"

Saat itu aku sedang diantar ayahku ke stasiun dan ya, aku sudah cukup besar saat itu. Karena aku akan kembali ke perantauan. Pembicaraan "dia" ini merujuk padanya. Anak bungsu selain aku. Tidak banyak yang tahu persoalan anak ini selain aku dan kakak laki-lakiku.

Ayah menjawab dengan nada memendam suara, "Swasta," katanya singkat. Aku sempat bertanya-tanya tidakkah ayah ingin tahu aku bisa tahu hal ini dari mana? Namun, dia hanya diam tidak menanyaiku balik.

"Lho bukannya malah habis banyak biaya?" tanyaku dengan nada sok polos padanya. Mengingat aku saja selama ini menjadi anak negeri. Iya, aku anak yang sangat berbakti pada negeri.

"Ya kan ada ibunya," katanya seolah tidak bertanggung jawab.

Aku teringat perkataan seseorang kalau aku tidak boleh membenci anak yang tidak bersalah.

Jadi, aku dengan berbelas hati mengatakan hal yang menurutku konyol juga.

"Gimana pun juga, ayah harus memberikan dia sesuatu. Tapi ayah juga harus ingat. Aku yang sah!"

Setelah itu aku keluar dari mobil dan masuk untuk pengecekan tiket. Ayah tidak mengejarku karena aku memintanya untuk hanya menurunkanku saja.

Dan kini penyesalan atas perkataan itu sungguh terasa. Andai aku tidak mengucapkan kepedulianku padanya. Memangnya apa aku dipedulikan? Tentu tidak.

~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro