Bisa Dibilang Dia Awal Mulanya, Tetapi Bukan (1/3)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia sudah mengkaku di atas kasur kapuk, padahal beberapa hari yang lalu aku masih mendengar permintaan maafnya yang berulangkali dan tidak pernah kusahuti itu.

****

Kehidupan perkuliahan di tengah covid itu barangkali bisa disebut melelahkan secara mental sekali.
Ditambah harus merawat seseorang yang tak kusukai. Sebut saja dia sepuh A. Dia sudah sakit setahunan ini, sebelum covid terdengar pertama kali di Wuhan, China.

Awalnya hanya gejala gatal biasa, tetapi lama kelamaan dia mudah lelah dan tentunya kami sekeluarga menyuruhnya hanya beristirahat saja mengingat dia terlalu rajin sekali. Tidak bisa diam maksudnya.

Kami tidak berpikir aneh aneh. Dia juga mudah pingsan karena emosi, tersulut emosinya sampai menodongkan pisau, atau pun juga tersulut emosinya karena membela anaknya yang kelewatan itu. Aku bisa sebut dia agak gila.

Dia juga semakin rumit permintaanya, sulit makan, dan berbagai hal lainnya yang seringkali tidak cocok dengan hatinya. Namun, yang jelas ketika hari-hari kulewati saat merawatnya ada satu hal yang kusadari.

Ia menyadari aku tidak menyukainya, dan ia meminta maaf atas apa yang ia lakukan.

Apa yang ia lakukan, memangnya?

Tidak ada. Hanya sesuatu yang bisa kau sebut cinta.

"Maaf .... maaf ... maaf yaa...," katanya pelan padaku saat aku usai membantunya mandi.

Aku tidak menyahutnya, hanya memakaikan baju dan menyuruhnya untuk tidur karena nanti pukul enam sore aku akan menyuapinya makan malam.

Semua itu biasa saja, dan ia juga tidak banyak melakukan hal aneh. Tahu tahu, anaknya mengide untuk mengajak makan di luar suatu hari. Kami sekeluarga pun makan di luar. Covid saat itu mulai merebak dan jujur kami was-was. Jadi, kami makan lalapan di pinggir jalan. Sebuah tempat di ruangan terbuka. Yang menurutku ini adalah kesalahan besar.

Dan itu di mulai. Usai dari sana saat itu ...

Ia mulai sakit lebih parah lagi. Ia pun masuk ke rumah sakit menggunakan asuransi lokal kelas bawah, karena saat itu kami mengalami kondisi keuangan agak buruk. Bukan kami sih, bisa dibilang itu Ayahku karena aku belum bekerja.

Tiga hari kemudian ia keluar rumah sakit, semua awalnya juga baik baik saja. Sampai sebulan kemudian, kami pergi makan di luar lagi.

Hari itu adalah hari selasa. Kali ini adalah karena acara ulang tahun cicitnya. Kami dengan keluarga besar makan di tempat agak mewah. Sebuah restoran steik. Di sana dia sangat senang. Aku membantu mengiriskan dagingnya dan dia makan cukup lahap meskipun tidak habis.

Hari itu berlanjut seperti biasa, jadwalku memandikannya, menjemurnya, memberinya makan, membiarkannya melamun melihat burung-burung di halaman, ditambah kebiasannya untuk meminta maaf yang seakan itu mudah sekali dikatakan masih berlanjut.

Dan saat itu Covid juga mulai menakutkan, bersamaan itu ia kemudian masuk ke rumah sakit lagi pada hari kamis, dua hari usai makan steik bersama. Ada penumpukan cairan di paru-paru, katanya, itu yang membuat saturasi oksigennya sekitar 80-an. Aku tidak bisa membayangkan sejujurnya seberapa sesak saat itu. Ia juga menolak makan. Ayahku panik, ia tidak bisa berpikir jernih. Aku yang memaksakan membawanya ke unit gawat darurat ketika ia dengan gila mau membawanya ke praktek dokter dulu.

Aku tahu kau tidak punya uang. Tapi, tolonglah, dia ibumu. Ini situasi yang sudah cukup genting.

Tentu saja, dia mendapatkan perawatan. Entah mungkin karena kami mengurus menggunakan asuransi lokal kelas bawah atau perasaan saja, kami agak ditelantarkan saat itu.

Hari itu hari jumat, aku akan berangkat ke kota tempatku kuliah untuk mengemasi barang di kamar indekosku. Alasannya untuk menghemat biaya. Apalagi covid meliburkan kegiatan offline sampai waktu yang tidak diketahui. Jadi hari kamis sebelumnya, aku menunggui dia bersama ibu. Sudah kubujuk dia makan tetapi dia enggan.

Ibuku entah sudah muak, atau mungkin membencinya. Tidak terlihat banyak membujuknya untuk makan. Di depan ibuku dan aku, kami hanya diam ketika ia mengeluh ia sudah muak dengan semua ini. Katanya itu sesak, tetapi kami tidak dapat melakukan apapun. Sampai aku kemudian pulang dan bersiap untuk berangkat ke kota tempatku kuliah.

Awalnya aku berangkat dengan perasaan tidak enak, tetapi aku mengabaikannya.

Sekitar pukul 11 malam, aku mendapatkan informasi, aku harus pulang.

Aku jadi batal mengambil barangku dan pulang lagi ditemani saudara ibuku.

Ketika aku datang, dia sudah mengkaku di atas kasur kapuk khas pedesaan.

Aku tidak tahu mengapa aku tidak bisa menangis. Padahal aku tidak membencinya, meski aku juga tidak menyukainya. Jika aku membencinya tentu aku tidak sudi merawatnya, membersihkan kotorannya, dan berbagai hal lainnya.

Aku hanya tidak menyukainya.

Namun, hari itu sudah kuputuskan untuk memaafkannya.

Dan kuharap dengan kepergiannya, lingkaran setan permasalahan ini memiliki sudut. Sebuah sudut yang ingin kutemukan dan kuselesaikan.

Walau nyatanya tidak, dan makin menjadi. Makin rumit. Dan aku jadi makin mengerti mengapa dia sengaja memilih pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro